Tinta Media: otoriter
Tampilkan postingan dengan label otoriter. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label otoriter. Tampilkan semua postingan

Senin, 23 September 2024

Mendulang Prestasi, Cara Jitu Populis Otoriter



Tinta Media - Prestasi seorang pemimpin adalah ketika rakyatnya merasakan kesejahteraan. Oleh karena itu, baik buruknya seorang pemimpin dapat dilihat dari kondisi rakyatnya, bukan dari banyaknya prestasi atau penghargaan yang diraih.

Menyoal 'prestasi', baru-baru ini Bupati Bandung Dadang Supriatna kembali mendulang prestasi tingkat nasional sebagai Tokoh Inspiratif Transformasi Digital Pedesaan. Penghargaan ke-353 ini diberikan oleh redaksi Liputan6.com pada acara Cita dan Cipta 2024 di Hotel Shangrilla, Jakarta.

Penghargaan tersebut diberikan berkat implementasi layanan internet gratis di 270 desa dan 10 kelurahan di Kabupaten Bandung, melalui program Bedas WiFi Sarerea Digital Service (Bewara DS). Program ini menghadirkan layanan internet melalui wifi gratis bagi masyarakat, yang ditempatkan seperti di taman, kantor posyandu, pasar, dan area publik lainnya. Program ini diluncurkan dengan harapan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, pendidikan, meningkatkan SDM dan inovasi di tiap desa.

Prestasi yang didapatkan oleh seorang pemimpin dalam bentuk penghargaan boleh-boleh saja, selama penghargaan tersebut dalam hal positif dan betul-betul karena kerja keras mengurus rakyat. Akan tetapi, jangan sampai banyaknya penghargaan dijadikan alat untuk meraih simpati masyarakat demi kemaslahatan pribadi.

Inilah fakta yang terjadi dalam sistem demokrasi yang lahir dari kapitalisme. Sistem ini melahirkan pemimpin yang berorientasi pada manfaat duniawi. Sehingga, program atau kebijakan yang dibuat hanya untuk meraih apresiasi dan materi, tidak sepenuhnya demi kepentingan masyarakat.

Program-program yang dibuat, sarat akan kepentingan diri dan kelompoknya. Dalam hal ini, walaupun program internet gratis seolah-olah untuk rakyat, tetapi yang sangat diuntungkan adalah para pemilik modal (pengusaha provider). 

Dalam sistem kapitalisme, sesungguhnya yang berkuasa adalah para pemilik modal (kapitalis). Maka, penguasa pun menggandeng mereka demi melancarkan misi meraih kekuasaan. Segala cara dihalalkan untuk meraih simpati demi mempertahankan posisi. 

Padahal, tugas utama seorang pemimpin adalah melindungi, memenuhi, dan menjamin segala kebutuhan vital rakyat, seperti fasilitas pendidikan, kesehatan,  keamanan, dan sebagainya, bukan malah sibuk mengerjakan hal yang belum tentu memberi kemaslahatan bagi rakyat.

Dalam sistem demokrasi kapitalisme, untuk melanggengkan kekuasaan, segudang penghargaan pun dijadikan bukti atas kemampuan menjadi pemimpin. Walaupun kenyataannya, rakyat tidak sepenuhnya merasakan langsung manfaat dari program-program tersebut. 

Seperti program internet gratis yang bertujuan untuk mendorong  pertumbuhan ekonomi, pendidikan, dan meningkatkan SDM dan inovasi di tiap desa, kemungkinan berisiko disalahgunakan, seperti digunakan untuk judi online, pinjol, game online, prostitusi online, dan banyak lagi kemungkinan-kemungkinan lainnya yang bisa menjerumuskan masyarakat kepada aktivitas keharaman. Apakah hal ini tidak dipikirkan oleh penguasa?

Inilah bukti abainya penguasa dalam sistem demokrasi kapitalisme yang gila prestasi, tidak sempat memikirkan dampak buruk yang akan terjadi atas program yang dibuatnya. 

Sementara, negara lepas tangan, membiarkan rakyat berjuang sendiri menghadapai era digitalisasi yang tanpa pengawasan dan kontrol dari negara. Hal ini justru menjadikan perekonomian rakyat semakin terpuruk. Tidakkah membuat kita sadar, dengan prestasi yang memalukan sebagai 'juara judi online'?

Seharusnya, negara hadir menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai dengan upah yang layak bagi laki-laki (kepala keluarga). Inilah yang dibutuhkan rakyat. Manfaatnya bisa dirasakan oleh seluruh masyarakat. Pertumbuhan ekonomi pasti akan tercapai karena setiap kepala keluarga  mampu mencukupi segala kebutuhan keluarganya. 

Otomatis, SDM pun akan meningkat, seiring dengan stabilnya perekonomian masyarakat. Lagipula, ada atau tidaknya sebuah penghargaan, mengharuskan pemimpin tetap bertanggung jawab dengan amanahnya. Tidak menjadikan penghargaan menjadi tujuannya, akan tetapi fokus menyejahterakan rakyat. 

Ini sangat berbeda dengan sistem Islam. Dalam Islam, seorang pemimpin akan menjadikan syariat sebagai dasar dalam mengambil keputusan, termasuk membuat kebijakan-kebijakan atau program. Kemudaratan dan kemaslahatannya akan benar-benar dipertimbangkan sebelum diluncurkan ke tengah-tengah masyarakat.

Maka dari itu, Islam mempunyai beberapa syarat bagi seorang pemimpin. Di antaranya, muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka, dan mampu melaksanakan tugas sebagai pemimpin negara.  Kepemimpinan dipandang sebagai amanah untuk meraih rida Allah Swt., bukan sarana meraih penghargaan di mata manusia.

Seorang pemimpin harus memastikan program-program yang dibuat bermanfaat dan merata untuk seluruh rakyat, tidak memanfaatkan program demi keuntungan pribadi dan kelompoknya. Program yang dibuat pun harus mampu menambah keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. sehingga masyarakat pun terhindar dari segala aktivitas yang melanggar hukum syara. 

Inilah bukti bahwa pemimpin dalam Islam tidak sekadar mendudukkan seorang muslim di kursi kekuasaan. Akan tetapi, yang lebih penting bagaimana kekuasaan itu digunakan untuk menjaga, menerapkan, dan mendakwahkan Islam, juga bertanggung jawab di dunia dan akhirat mengurus rakyat dengan hukum Islam.

Rasulullah saw. bersabda, "Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya." (HR. Bukhari)

Oleh sebab itu, kekuasaan dalam Islam berorientasi pada akhirat. Artinya, halal haram menjadi standarisasi. Lain halnya dengan demokrasi kapitalisme, kekuasaan hanya berorientasi pada manfaat duniawi. Maka, yang dicari adalah apresiasi dan materi dari manusia. Halal haram tak jadi soal. 

Sudah saatnya kita campakkan sistem rusak yang merusak ini, yaitu sistem kapitalisme dan menggantinya dengan sistem sahih yang memberi keberkahan pada setiap makhluk, yaitu sistem Islam. Wallah0u'alam bishawab.



Oleh: Neng Mae 
Sahabat Tinta Media 

Kamis, 14 September 2023

DEMOKRASI, WATAK ANTI KRITIK DAN OTORITER


Tinta Media - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Rycko Amelza ingin tempat ibadah dikontrol pemerintah. Rycko menjelaskan pandangan utuh terkait usulan tersebut demi mencegah radikalisme.

 

"Terhadap penggunaan tempat-tempat ibadah untuk menyebarkan rasa kebencian, kekerasan, mekanisme kontrol itu artinya bukan pemerintah yang mengontrol. Mekanisme kontrol itu bisa tumbuh dari pemerintah beserta masyarakat," kata Rycko, dalam keterangan tertulis seperti dilansir Antara, Rabu (6/9/2023).

 

Serta berharap Masyarakat dan tokoh sekitar untuk ikut berperan dalam menanggulangi paham radikalisme. Dari pembicaraan kritik terhadap pemerintah, anti moderasi agama.

Bentuk usulan itu disampaikan Rycko dalam merespons pernyataan anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Safaruddin dalam rapat bersama Komisi III DPR, Senin (4/9). Safaruddin menyampaikan informasi ada masjid di wilayah Kalimantan Timur yang kerap digunakan untuk menyampaikan kritik kepada pemerintah.

 

"Kami di Kalimantan Timur Pak, ada masjid di Balikpapan, tapi tiap hari mengkritik pemerintah di situ Pak, di dekat lapangan Merdeka itu," kata Safaruddin.

 

Jelas sekali dengan fakta terjadi, membuat opini sinis terhadap ikon masjid. Seolah-olah sarang penyebaran radikalisme adalah masjid. Membuktikan framing di khalayak tentang makna radikalisme adalah sebuah perbuatan negatif atau sebuah kejahatan yang menjadi sumber utama membuat negeri ini penuh dengan masalah. seperti, Angka kemiskinan terus melonjak, pengangguran yang terus meningkat cepat, korupsi yang meraja lela serta kerusakan yang mengarah kepada kehancuran negeri yang katanya barusan memperingati kemerdekaan yang ke-78.

 

Dan radikalisme yang dimaksud hari ini mengarah pada Islam saja. Mengapa bisa begitu? Karena disimpulkan pernyataan tentang masjid di Kalimantan Timur yang setiap harinya mengkritik pemerintah. Menjadi sorotan publik terkait hal itu. Padahal, mengkritik itu hal biasa yang bila mana pemerintah salah dalam memberi periayahan terhadap umat. Namun, di sini malah dicap radikalisme. Bahkan BNPT berdalih telah melaksanakan study banding seperti Singapura, Malaysia, Oman, Qatar, Arab Saudi, dan Maroko yang menerapkan kendali langsung oleh pemerintah terhadap tempat ibadah seperti mengontrol para khatibnya yang memberi taushiyah.

 

Lantas, pantaskah negeri ini meniru, padahal yang ditiru adalah negara pembenci Islam serta otoriter? Jelas sudah negeri ini akan dibawa menuju otoriter yang terus menyudutkan Islam selamanya. Hingga berdampak akan agama yang menjadi yang ditakutkan oleh Masyarakat.

 

Beginilah watak sistem demokrasi, yang terus menjauhkan agama dari kehidupan demi kenikmatan segelintir pemodal yang takut hilang harta kekayaan. Karena kebangkitan umat Islam nantinya. Padahal hari ini, di tengah krisis moral membutuhkan sebuah pembinaan sebagaimana para sahabat di tengah kesyirikan penduduk jahiliyah, yang berhasil membentuk insan yang berpengaruh dalam membangun sebuah negara. Serta menjadikan tolak ukur hanya dari Allah

 

Berbeda dengan zaman khilafah yang menjadikan standar hukum adalah syara’, terus menjaga hak-hak rakyatnya tanpa ada kedzaliman, namun jika terjadi kedzaliman akan ada terus pengoreksian sebagaimana amar ma’ruf nahi mungkar yang hidup di tengah Masyarakat. Seperti halnya dimasa Umar bin Khatab yang dikoreksi oleh seorang Wanita tua atas penetapan batas mahar.

 

 Dari permasalahan ini hanya Islam yang berani menuntaskan islamofobia ditengah Masyarakat. Dan terus membina Masyarakat hingga menjadi manusia terbaik dihadapan Allah dan berjuang keras dalam kontribusi membangun negara yang menjadi Rahmatal lil Alamin.

 

Oleh: Fariha Mulidatul Kamila 

Alumni IBS AL-AMRI

 

 

Sabtu, 09 September 2023

MAU AWASI RUMAH IBADAH, OTORITER SEPERTI ZAMAN KOLONIAL?




Tinta Media - Rezim Jokowi melalui Kepala BNPT Rycko Amelza Dahniel mengusulkan agar pemerintah mengontrol semua tempat ibadah di Indonesia. Tujuannya, agar tempat ibadah tidak menjadi sarang radikalisme. Selama ini disinyalir ada beberapa tempat ibadah yang mengkritik pemerintah. Hal itu disampaikan Dalam Rapat dengan Komisi III DPR RI, 

Terkait dengan keinginan pemerintah tersebut, penulis memberikan 4 (empat) catatan penting: 

PERTAMA, Usulan yang offside dan mengkhianati amanat konstistusi. Jika pemerintah mengawasi dan mengontrol rumah ibadah itu menabrak konstitusi. Mengontrol rumah ibadah jelas berpotensi menyebabkan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yang dijamin oleh konstitusi melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, khususnya Pasal 28E Ayat (1), Pasal 28I, dan Pasal 29. 

Pasal 29 UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. 

Semestinya negara justru menjamin agar semua warganya bisa memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai keyakinannya secara aman dan merdeka. Negara menjamin tak boleh ada gangguan maupun tekanan dari mana pun, termasuk negara. Pemerintah tidak boleh mencampuri masalah keyakinan warganya dan cara ibadahnya. 

KEDUA, Kembali ke zaman kolonial. Mengawasi Rumah ibadah, berarti mundur ke belakang seperti zaman kolonial. Di zaman penjajahan Belanda, pesantren dan rumah ibadah diawasi. Para tokoh agama (ulama dan Ustadz) yang tidak berpihak kepada penjajahan Belanda akan dituding ekstremis dan dikriminalisasi. Bahkan para ustadz dan para ulama juga di awasi, apalagi yang bergelar haji mendapat pengawasan yang lebih dari pemerintahan kolonial. Sampai-sampai pada 1859 muncul ordonansi, peraturan baru yang lebih 'menyusahkan' ibadah haji. 

Kini sudah 78 tahun merdeka. Para penjajah sudah pergi dari negeri ini. Lalu, kenapa pejabat pemerintahan kita malah mengusulkan ide seperti dimasa penjajahan dulu? Jika di zaman kolonial, dituding ekstremis, kini Rumah ibadah dicurigai sarang radikal. Lalu apa bedanya? 

KETIGA, Kritik pada pemerintah itu tanda cinta. Bukan dipandang sebagai tanda radikal. Justru dengan kritik itu memberikan “alarm” tanda bahaya kepada pemerintah jika kebijakannya berbahaya atau merugikan bagi rakyat dan negara. Sebaliknya yang memuja muji pemerintah meski kebijakannya tidak pro rakyat maka itu patut diduga sebagai watak para penjilat yang akan menjerumuskan. 

Pemerintahan yang baik (good governance) tentu akan menjadikan kritik itu sebagai energi positif untuk memperbaiki kinerja dan pelayanan kepada rakyat. Jika pemerintah melayani rakyat dengan baik dan rakyat merasakan kebaikannya maka yang akan keluar justru pujian. Bukan kritikan. 

Sederhananya, pemerintah cukup melayani rakyat dengan baik, mencerdaskan, menyehatkan dan menyejahterakan maka rakyat akan menikmatinya dan memujinya. Jika ada beberapa rakyat yang kurang puas dan melakukan kritik maka akan tertutupi oleh pujian dari sebagian besar masyarakat yang menikmati kehadiran pemerintahan yang baik. 

KEEMPAT, Dalam demokrasi, Mengkritik itu HAK rakyat. Mendengarkan kritik dan melayani rakyat itu KEWAJIBAN pemerintah. Hanya dalam sistem otokrasi (kerajaan), rakyat dilarang mengkritik pemerintah. Jadi kalau di rezim saat ini menuding rakyat yang mengkritik sebagai radikal maka ini indikasi bahwa praktik pemerintahan kita bergerak dari sistem demokrasi menuju otokrasi. Dari pemimpin yang demokratis menjadi pemimpin yang otoriter. 

Soal kritik ini, ada perbedaan mendasar dalam sistem demokrasi dan otokrasi. Dalam demokrasi, kritik dipandang sebagai HAK rakyat yang boleh dilakukan (MUBAH). Sedangkan dalam otokrasi kritik dipandang sebagai hal TERLARANG yang tidak boleh dilakukan (HARAM) dilakukan oleh rakyat. Sedangkan dalam sistem Islam (Khilafah) kritik dipandang sebagai KEWAJIBAN rakyat yang harus dilakukan (FARDHU). Tujuannya untuk mengoreksi (MUHASABAH) kepada penguasa agar tidak membuat kebijakan yang keliru atau menyimpang dari hukum yang berlaku. 

Semestinya para penguasa negeri ini fokus melayani rakyat dengan sebaik-baiknya sehingga tidak ada celah sedikit pun bagi rakyat untuk bisa melakukan kritik. Dengan menjalankan pemerintahan yang baik maka ini meringankan tugas rakyat untuk melakukan kritik karena tak ada yang perlu dikritik. Jika hal itu terjadi maka yang akan muncul adalah pujian bukan kritikan. 

Jika para pemimpin negeri ini fokus menjalankan kewajibannya untuk melindungi rakyat, mencerdaskan rakyat serta menyejahterakannya maka akan tercipta negeri yang adil dan makmur. Semoga negeri ini dijauhkan dari musibah dan terlimpah barakah dari langit dan bumi… aamiin. 

Oleh: Wahyudi al Maroky
(Dir. Pamong Institute)

NB: Penulis pernah Belajar Pemerintahan pada STPDN 1992 angkatan ke-04, IIP Jakarta angkatan ke-29 dan MIP-IIP Jakarta angkatan ke-8. 

Referensi:
https://pamongreaders.com/mau-awasi-rumah-ibadah-rezim-makin-otoriter-seperti-zaman-kolonial
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab