Palestina Yes, Rohingya No?
Tinta Media - Kemeriahan pesta Tahun Baru 2024 baru saja berlalu. Masyarakat telah berbondong-bondong menyaksikan aksi kembang api yang diledakkan di udara. Diberitakan bahwa saat itu terjadi kemacetan di beberapa titik perkumpulan masyarakat di berbagai wilayah Indonesia yang menunjukkan antusiasme masyarakat dalam merayakan tahun baru.
Namun, di saat yang sama justru terjadi kepiluan pada kaum muslimin yang lain, seperti di Palestina dan Rohingya. Mereka melewati pergantian tahun baru dengan penuh penderitaan dan ancaman kematian. Bagaimana tidak, di Palestina pergantian tahun pun harus menghadapi dentuman bom dari penjajahan Zionis. Banyak yang mengalami syahid menjelang pergantian tahun.
Seperti yang dilaporkan oleh Reuters, otoritas Hamas mengatakan bahwa para Zionis membombardir dan menewaskan 165 orang di Gaza selama 24 jam terakhir, Ahad (31/12/2023). Selain itu, 250 orang mengalami luka parah. Sementara, jumlah korban meninggal sejak 7 Oktober telah mencapai 21.672, dan lebih dari 56.000 warga yang mengalami luka. Ribuan lainnya kemungkinan sudah meninggal di bawah reruntuhan, tetapi tidak bisa terdeteksi karena keterbatasan sumber daya.
Begitu pun yang dirasakan oleh muslim Rohingya. Beberapa waktu lalu, mereka tiba di Aceh setelah sebelumnya terlunta-lunta di lautan. Namun, banyak berita miring yang menggambarkan karakter kaum muslimin Rohingya telah menjadi provokasi di tengah masyarakat. Akhirnya, hal itu pula yang menggerakkan massa dari kalangan mahasiswa untuk memindahkan secara paksa pengungsi Rohingya dari Gedung Balee Meuseraya Aceh (BMA) ke kantor Kementerian Hukum dan HAM Aceh.
Trauma yang dirasakan oleh para pengungsi Rohingya saat kejadian tersebut, hingga kalimat yang mengiris hati terucap dari salah satu pengungsi Rohingya.
"Kalau dikembalikan ke sana [Bangladesh], bunuh saja kami di sini.”
Padahal, apa yang terjadi dengan Rohingya juga hampir sama seperti yang terjadi di Palestina, yakni genosida. Bahkan, diakui dunia bahwa Rohingya adalah kaum yang paling tertindas. Sebab, pemerintah Myanmar tidak mengakui mereka sebagai warga negara.
Hingga kini, Rohingya telah mengalami stateless. Mereka bahkan tidak memiliki kehidupan sebagaimana manusia layaknya. Mereka tidak memiliki akses pendidikan, kesehatan, bekerja untuk menafkahi keluarga bagi laki-laki, dan sebagainya. Semua itu justru terhalang, bahkan terlarang bagi mereka.
Paradoks Kaum Muslimin Bersikap
Kemeriahan pesta kembang api yang berlangsung menunjukkan paradoks kaum muslimin dalam bersikap. Sebab, semua itu berlangsung di tengah berkecamuknya serangan penjajahan Zionis Yahudi di Gaza. Jumlah korban perang pun meningkat tajam. Belum lagi mulai melonggarnya aksi pemboikotan dan kendurnya suara pembelaan terhadap Palestina.
Pada satu sisi, terjadi pembungkaman yang dilakukan oleh Meta terhadap akun yang membela Palestina. Hal ini semakin menambah 'sepi'nya suara pembelaan tersebut.
Paradoks kaum muslimin juga terlihat dari sikap mereka menghadapi pengungsi Rohingya. Jika terhadap Palestina mereka mendukung begitu besar, tetapi berbeda dengan Rohingya. Banyak di antara umat Islam (khususnya Indonesia) yang menentang keberadaan mereka di Indonesia. Sehingga hal ini pun menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat.
Mirisnya, banyak kalangan masyarakat yang termakan provokasi tanpa melakukan validasi terhadap pemberitaan yang disampaikan. Akhirnya, banyak masyarakat yang menolak begitu saja kehadiran Rohingya di Indonesia akibat menerima berita bohong yang tersebar di media sosial. Padahal, penderitaan yang dialami oleh Rohingya menggambarkan salah satu bentuk abainya kaum muslimin terhadap urusan umat.
Apa yang terjadi di Gaza dan Rohingya adalah urusan kaum muslimin. Semua itu berkaitan dengan keimanan kita sebagai seorang muslim. Sebab, kaum muslimin adalah bersaudara. Tidak ada yang menghalangi mereka sekalipun berbeda bangsa, warna kulit dan bahasa. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.,
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ، مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam cinta-mencintai, sayang-menyayangi dan bahu-membahu, ibarat satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuhnya sakit, maka seluruh anggota tubuhnya yang lain ikut merasakan sakit, dengan tidak bisa tidur dan demam." HR. Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad.
Rasulullah saw. yang lainnya:
“Janganlah kalian saling mendengki, janganlah saling menyakiti dalam jual beli, janganlah saling benci, janganlah saling berpaling (mendiamkan), dan janganlah menjual di atas jualan saudaranya. Jadilah hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara untuk muslim lainnya. Karenanya, ia tidak boleh berbuat zalim, menelantarkan, berdusta, dan menghina yang lain. Takwa itu di sini [beliau memberi isyarat ke dadanya sebanyak tiga kali]. Cukuplah seseorang berdosa jika ia menghina saudaranya yang muslim. Setiap muslim atas muslim lainnya itu haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya." (HR. Muslim)
Begitu jelas hadis tersebut menyatakan bahwa muslim dengan muslim lainnya adalah bersaudara. Bahkan, berdosa jika ia menghina saudara muslimnya yang lain. Namun, apa yang terjadi di tengah masyarakat kini justru berbeda. Banyak hujatan, cacian, dan fitnah yang diarahkan kepada muslim Rohingya. Hingga ada pernyataan yang diucapkan "Palestina Yes, Rohingya No." Sungguh miris, apa yang terlontar dari lisan ataupun ketikan jarinya tersebut.
Nasionalisme Memupus Ukhuwah
Sikap kaum muslimin yang terjadi hari ini terlahir dari adanya semangat nasionalisme. Nasionalisme adalah produk pemikiran yang berasal dari Barat dan ditancapkan di negeri-negeri kaum muslimin. Akibatnya, kaum muslimin mencukupkan diri hanya mencintai negeri dan masyarakatnya sendiri, merasa terancam ketika ada serangan, tetapi merasa aman ketika tidak ada gangguan.
Sikap itulah yang muncul saat membela Palestina. Pembelaan kaum muslimin lahir dari rasa "kasihan" sehingga hanya bersifat temporer. Ketika pemberitaan tentang Palestina menyurut, maka pembelaan pun terhenti.
Harusnya, pembelaan terhadap saudara sesama muslim dilakukan karena ikatan akidah Islam, sehingga tidak hanya muncul ketika ada perkara yang membangkitkan rasa marah dan iba semata. Namun, perasaan itu akan tetap ada karena lahir dari ikatan ukhuwah islamiah. Itulah yang hilang akibat ikatan nasionalisme ini.
Umat Islam Satu Tubuh
Seorang muslim dengan muslim lainnya ibarat satu tubuh. Itulah yang digambarkan oleh Rasulullah saw. Tidak sewajarnya kaum muslimin saling membenci, saling menghina, dan bersikap tidak peduli. Sebab, wajib bagi seluruh muslim mewujudkan persaudaraan karena keimanan. Jika ada seorang muslim yang mengalami "sakit", maka yang lain pun akan merasakan sakitnya.
Islam datang untuk menjaga darah, harta, dan kehormatan manusia. Maka, tidak dibolehkan bagi kaum muslimin untuk menjatuhkan kehormatan saudara muslim yang lain atau menelantarkannya. Maka, wajib bagi kita menolong saudara yang terzalimi, baik di Palestina ataupun Rohingya.
Kita diperintahkan untuk menolong saudara kita yang tertindas dan dizalimi. Pertolongan ini bisa dilakukan secara perorangan dengan berbagai upaya untuk menghentikan kezaliman tersebut, seperti memberi bantuan makanan, minuman, obat-obatan, dan lainnya. Namun, pertolongan secara individu tidak mampu menghentikan tindak kezaliman tersebut secara tuntas. Sebab, yang terjadi bukanlah bencana kemanusiaan, melainkan penjajahan. Maka diperlukan peran negara untuk menghentikannya.
Maka, perlu adanya upaya yang serius dan sungguh-sungguh untuk mewujudkan sebuah negara yang siap melawan penjajahan tersebut. Negara itu adalah negara dengan institusi Islam, yakni khilafah.
Negara yang dipimpin oleh seorang khalifah akan mampu menghadapi penjajahan Zionis Yahudi dan rezim Myanmar untuk mengembalikan tanah kaum muslimin yang dirampas dan memenuhi hak-hak mereka. Khilafah akan mengirimkan tentara untuk memerangi musuh-musuh Islam tersebut.
Selain itu, wajib bagi kaum muslim untuk berjihad melawan mereka.
Rasulullah saw. bersabda,
“Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung), dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya. Jika dia (imam) memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan adil, maka dengannya, dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan selain itu, maka dia juga akan mendapatkan dosa/azab karenanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari hadis tersebut, Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa: “Untuk seorang imam [kepala negara], boleh disebut dengan menggunakan istilah: Khalîfah, Imâm dan Amîru al-Mu’minîn."
Makna imam/khalifah itu laksana perisai dijelaskan oleh beliau bahwa:
“Maksudnya, ibarat tameng. Karena dia mencegah musuh menyerang [menyakiti] kaum muslimin, mencegah masyarakat satu dengan yang lainnya dari serangan, melindungi keutuhan Islam. Dia disegani masyarakat, dan mereka pun takut terhadap kekuatannya.”
Untuk itulah khalifah satu-satunya yang akan bertanggung jawab sebagai perisai umat Islam khususnya, dan rakyat pada umumnya. Hal ini meniscayakan seorang imam harus kuat, berani, dan terdepan, bukan sebagai orang yang pengecut dan lemah.
Kekuatan ini bukan hanya pada pribadinya saja, tetapi juga pada institusi negaranya. Kekuatan ini dibangun karena pondasi yang sahih, yaitu akidah Islam.
Oleh sebab itu, sudah seharusnya umat Islam untuk bersatu dan menegakkan kembali hukum Islam dalam naungan khilafah. Sebab, hanya khilafah yang akan membebaskan penderitaan kaum muslimin di Palestina, Rohingya, dan muslim lainnya di seluruh dunia. Sehingga, hal ini mengharuskan adanya pembelaan yang satu terhadap saudara muslim lainnya.[]
Oleh: Harne Tsabbita
(Aktivis Muslimah)