Tinta Media: moderasi beragama
Tampilkan postingan dengan label moderasi beragama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label moderasi beragama. Tampilkan semua postingan

Kamis, 12 Oktober 2023

Moderasi Beragama Kembali Bergema, Urgensinya Apa?

Tinta Media - Di tengah karut-marutnya permasalahan negeri ini, kembali Presiden Joko Widodo menggemakan moderasi beragama lewat penerbitan Perpres nomor 58 tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama pada tanggal 23 September 2023.

Perpres Nomor 58 Tahun 2023 ini mulai berlaku sejak diundangkan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno (25/09/2023). Aturan tersebut juga memuat Menag Yaqut Cholil Qoumas menjadi Ketua Pelaksana Sekretariat Bersama Moderasi Beragama. (Republika.co.id, 29/09/23) 

Tak tanggung-tanggung, untuk melaksanakan tugas penguatan moderasi beragama, Yakut sebagai ketua akan dibantu sejumlah menteri, di antaranya menteri dalam negeri, menteri luar negeri, mendikbud ristek, menkominfo, dan menkumham, hingga menteri PPPA. 

Apa Urgensinya?

Tak bisa dimungkiri lagi bahwa moderasi beragama ini adalah untuk menyasar gerakan umat Islam yang intoleran dan radikal, yaitu ditujukan kepada kaum muslimin yang memperjuangkan tegaknya IsIam kaffah atau yang bertentangan dengan pemerintah. 

Penguatan moderasi beragama seolah menjadi solusi bagi semua permasalahan negeri. Padahal, persoalan utama bangsa ini adalah tingginya utang, kemiskinan, stunting, bullying, tingginya kriminalitas, rusaknya generasi, hingga kasus agraria yang masih memanas hingga saat ini. 

pemeritah masih saja sibuk menggoreng isu intoleransi, radikalisme, fundamentalisme, hingga terorisme, padahal permasalahan horisontal antar umat beragama hanya sebagian kecil saja dan justru munculnya perselisihan dan pertikaian dampak dari adanya isu moderasi beragama. 

Bahaya Moderasi Beragama

Perlu diperhatikan secara mendalam bahwa program penguatan moderasi beragama kembali bergema bukan tanpa maksud. Bahkan, keterlibatkan banyak pihak untuk semakin tersistemnya keberlanjutan program penguatan moderasi beragama mengisyaratkan adanya _Grand Design_ untuk diarus mderaskan ke tengah masyarakat. 

Memandang semua agama sama, semua agama benar, dan semua agama baik telah mendiskreditkan IsIam sebagai agama yang tinggi dan mulia karena agama Islam sajalah yang diridai Allah Swt. 

Selain itu, dorongan untuk menjadi muslim moderat menjadi _brand_ seorang muslim yang modern dan kekinian. Hal ini ditambah dengan isu radikalisme yang ditujukan kepada muslim yang taat dan memperjuangkan IsIam kaffah. Maka, muslim yang phobia pada agamanya menjadi salah satu tujuan dari moderasi beragama. 

Bahkan menjadikan moderasi beragama itu Religiuos Calling merupakan istilah khas agama Kristen menggambarkan ketaatan dalam iman. Moderasi agama dijadikan sebagai sesuatu yang mendalam, tak sebatas program, tetapi menjadi panggilan keagamaan yang dijiwai dan diimani. Hal ini tentu bertujuan untuk merusak akidah umat IsIam. 

Sangat jelas bahwa program penguatan moderasi beragama bukan untuk menyelaraskan umat beragama, tetapi menyasar umat IsIam untuk memusuhi agamanya sendiri. Dari segala program yang dirancang, selain bertujuan untuk pendangkalan akidah, moderasi beragama menjadikan seorang muslim didisain sebagai seorang muslim ala Barat. Aktivitas. keagamaannya juga sesuai keinginan Barat.

Maka, jadilah IsIam hanya dipandang sebagai agama ruhiyah yang mengatur hubungannya dengan pencipta saja. Sedang IsIam sebagai ideologi yang mampu membangkitkan taraf berfikir hingga mampu membawa perubahan hakiki yaitu menjadikan IsIam sebagai jalan hidup dan aturan semua aspek kehidupan justru dijauhkan, bahkan didiskriminasi. 

Perpres Jurus Pamungkas

Selain itu, adanya program lanjutan penguatan moderasi beragama menunjukkan bahwa program sebelumnya tak membuahkan hasil yang signifikan, bahkan gagal.

Walaupun sudah digelontorkan dana yang besar, tetapi hasilnya masih jauh dari yang diharapkan. Maka, pengarusderasan kembali moderasi beragama menjadi jalan untuk mengalihkan, bahkan membelokkan umat IsIam pada kebangkitan Islam hakiki. 

Sebagimana hasil survei terbaru Pew Research kawasan Asia Tenggara, didapati bahwa 64% masyarakat muslim di Indonesia menyatakan kesetujuannya pada syariat Islam sebagai hukum negara.

Ditambah moment pemilu 2024 nanti, rezim makin khawatir kekuatan Islam akan menguasai perpolitikan di Indonesia. 

Maka, perpres merupakan jurus pamungkas menjadi payung hukum untuk menekan berbagai pihak mulai dari pemerintah pusat, pemeritah daerah hingga instansi-instani untuk menyukseskan proyek moderasi beragama. 

Inilah wajah kediktatoran penguasa yang sejalan dengan watak demokrasi, menjadikan perpres sebagai payung hukum untuk menggeser dan menindak pihak-pihak yang tak sejalan dengan penguasa. 

Di tengah peliknya permasalahan negeri, seharusnya penguasa lebih fokus pada penyelesaian masalah tersebut. Namun, yang tercipta justru tirani penguasa. 

Sangat terlihat jelas bahwa sistem demokrasi telah gagal dalam melindungi dan menyejahterakan rakyat. Yang nampak justru penguasa lebih peduli kepada asing dan aseng, meski mereka telah meracuni masyarakat hanya demi mendapatkan keuntungan pribadi. 

Islam Sebagai Rahmat

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ

Artinya: "Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam."

Maka, Rasulullah saw. diutus untuk menyampaikan dan mengajarkan risalah dari Allah Swt. yaitu agama IsIam yang akan menjadi rahmat bagi seluruh alam saat IsIam diterapkan secara sempurna di muka bumi ini. 

Maka permasalahan toleransi dalam Islam sangat tegas dan jelas. Islam menghargai setiap perbedaan keyakinan dan membiarkan mereka beribadah serta beraktivitas sesuai agama mereka tanpa mengganggu dan mengusiknya selama berada di lingkungan mereka. Bahkan, IsIam melindungi hak-hak agama lain yang merupakan warga negara daulah. Sekalipun yang mengganggu adalah seorang muslim, maka akan ditindak tegas. 

Khalifah sebagai pemimpin daulah Islam berperan sebagai pelindung dan pengurus urusan umat. Maka, mereka tidak akan pernah bekerja sama dengan orang kafir, terutama kafir harbi fi'lan dan tak akan membiarkan pemahaman asing tersebar dan meracuni masyarakat.

Maka, cukup IsIam saja dengan fikrah dan thariqah yang sempurna yang harus dipahami dan diamalkan oleh setiap warga daulah. Hal ini karena IsIam satu-satunya agama yang diridai Allah. Penerapannya secara kaffah mampu memberikan kehidupan yang berkah dari langit dan bumi. Wallahu A'lam.

Oleh: Heti Suhesti, Sahabat Tinta Media

Jumat, 06 Oktober 2023

PROGRAM MODERASI BERAGAMA TIDAK ADA URGENSINYA




Tinta Media - Apakah ada urgensinya di tengah berbagai problematika yang mendera negara ini pemerintah malah fokus ke moderasi beragama? Program ini terkesan mengada-ada dan tidak ada urgensitasnya sama sekali. Program sekretariat bersama moderasi beragama ini seperti tidak punya kerjaan aja, padahal masih banyak persoalan bangsa yang justru harus menjadi skala prioritas pemerintah. 

  

Program ini juga terlalu berlebihan karena harus melibatkan beberapa kementerian menteri dalam negeri, menteri luar negeri, mendikbudristek, menkominfo, menkumham, menteri perencanaan pembangunan nasional, menpora, menpan RB, menparekraf, menteri sosial, menteri pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, menteri ketenagakerjaan, menteri koperasi dan UKM, serta jaksa agung. 

  

Program ini tidak akan berjalan dengan baik, karena di negeri ini yang kurang justru fungsi koordinasi organisasi. Dua kementerian saja kadang sulit berkoordinasi, apalagi program moderasi beragama ini melibatkan begitu banyak kementerian. Program ini akan memunculkan pro kontra di tengah masyarakat. Sebab program ini tentu saja akan menyerap anggaran negara, sementara ada kebutuhan yang lebih urgen di masyarakat terkait perekonomian. 

  

Program moderasi beragam sendiri sejak awal telah menimbulkan pro kontra dan kegaduhan sosial, karena diduga narasi ini bagian dari islamophobia dan deradikalisasi yang merupakan proyek dari Barat. Terlebih program ini digagas di tahun-tahun politik, maka program ini bisa saja dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan politik praktis. Selain tidak ada urgensitasnya, program ini tidak akan memberikan manfaat signifikan bagi masyarakat, sebab narasi moderasi beragama adalah narasi yang sudah basi.   

  

Menteri agama mestinya melakukan upaya perbaikan kualitas pendidikan berbasis agama di tengah tantangan era disrupsi 4.0 sekarang ini. Menteri agama mestinya melakukan semacam revitalisasi bagaimana agama ini bisa berkontribusi bagi kemajuan peradaban negeri ini. Menteri agama juga mestinya memperbaiki karakter para siswa yang kini tengah terjebak pada disorientasi di berbagai aspek seperti : seks bebas, pergaulan bebas, LGBT, bullying, tawuran, pornograsi, pornoaksi, konten-konten negatif di sosial media, yang semua ini jelas-jelas telah meruntuhkan moral para pelajar di negeri ini. 

  

Menteri agama juga mestinya melakukan akselerasi kemampuan membaca Al Qur’an generasi muslim, sebab ternyata masih sangat banyak siswa muslim yang belum mampu membaca al Qur’an. Menteri agama juga semestinya fokus kepada penguatan kompetensi sains bagi para santri agar pesantren bisa mewarnai masa depan bangsa ini dengan menjadikan agama sebagai aspirasi dan inspirasi. 

  

Menteri agama juga semestinya membuat program penguatan pemahaman agama di tengah gempuran ideologi sekularisme ini yang telah menjauhkan umat dari agamanya sendiri. Jika umat ini jauh dari agama, maka berbagai bentuk kerusakan akan terjadi di negeri ini. 

  

Jika pemerintah menginginkan penguatan harmoni dan kerukunan umat beragama, penyelarasan relasi cara beragama dan berbudaya, peningkatan kualitas pelayanan kehidupan beragama, serta pengembangan ekonomi umat dan sumber daya keagamaan, maka bukan dengan program moderasi beragama. Sebab moderasi beragama sejak awal lahirnya telah menimbulkan berbagai kegaduhan dan kontraproduktif. 

  

Jika pemerintah hendak merawat kerukunan, merawat toleransi, sikap saling menghargai, sikap saling menolong agar bangsa menjadi bangsa yang bersatu bukan dengan program moderasi beragama, sebab program ini justru sering kali menyasar agama Islam sebagai tertuduh dan tersangka sebagai agama intoleran dan radikal. 

  

Moderasi beragama itu kan istilah politik yang sebenarnya memiliki misi anti kebangkitan Islam. Moderasi beragama bukan istilah dalam khasanah keilmuwan Islam. Jadi sebenarnya dibalik  program moderasi agama adalah upaya untuk melanggengkan ideologi kapitalisme sekuler dan menghadang kebangkitan Islam. Itulah mengapa, narasi moderasi agama selalu menjadikan Islam sebagai sasarannya. 

  

Bisa jadi presiden salah paham hakikat moderasi agama ini atau pahamnya salah. Presiden mestinya paham sebagai seorang muslim, bahwa narasi ini adalah bagian dari proyek deradikalisasi akibat islamophobia barat yang tujuan intinya adalah gerakan anti Islam. Narasi moderasi beragama adalah bagian dari perang pemikiran (ghozwul fikir) yang digencarkan oleh barat. Sebab secara normatif, justru satu-satunya agama yang paling toleran adalah Islam sebagai telah ditetapkan dalam Al Qur’an : lakun dinukum waliyadin dan la iqroha fiddin. 

Oleh: Dr. Ahmad Sastra 
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 04/10/23 : 12.00 WIB)
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab