Tinta Media: menyuburkan
Tampilkan postingan dengan label menyuburkan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label menyuburkan. Tampilkan semua postingan

Selasa, 02 April 2024

Sekularisme Menyuburkan KDRT


Tinta Media - Seorang Istri mantan Perwira Brimob berinisial MRF, RFB mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) berulang kali oleh suaminya. Kejadian terakhir pada 3 Juli 2023 adalah yang paling berat. Kasus KDRT ini sudah dilaporkan melalui kuasa hukum korban, Renna A Zulhasril ke Kepolisian Resort (Polres) Metro Depok. Adapun terkait status terduga pelaku, saat ini MRF sudah berstatus pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) dari Intelijen Kejaksaan Negeri Depok, M Arief Ubaidillah, Kamis (21/03/2024) 

Ubaidillah juga menyampaikan korban mengalami pendarahan dan keguguran sebagai akibat dari tindakan kekerasan terdakwa. Disisi lain Renna menuturkan "Kekerasan terhadap RFB pada Juli 2023 terjadi di ruang kerja MRF. Suaminya itu tak segan menganiaya RFB di depan anaknya. Korban dipukul, ditendang, diinjak-injak gitu. Jadi ada semua buktinya ada luka yang cukup berat sampai korban keguguran. Dan janin keguguran usia 4 bulan," ungkap Renna. 

Atas perbuatannya MRF dituntut hukuman pidana selama 6 tahun penjara. Salah satu pertimbangan Jaksa Penuntut Umum (JPU) menilai sebagai seorang Anggota Kepolisian dan Brimob, terdakwa seharusnya melindungi dan menyayangi istrinya. Namun ironisnya, terdakwa justru melakukan kekerasan fisik terhadap istrinya sendiri. Hal tersebut sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a. Yang diatur dan diancam pidana dalam pasal UU ayat (22) jo pasal 5 huruf a Undang-undang nomor 23 tahun 2024 tentang penghapusan KDRT. Sampai diucapkan tuntutan perdamaian antara pihak korban dan terdakwa belum mencapai kesepakatan," tambah Ubaidillah (kompas.com, 22/03/2024, 16.20 WIB) 

Sungguh begitu sangat mengerikan melihat kasus KDRT yang saat ini terus meningkat. Bukan saja terjadinya di dalam rumah tangga namun di luar lingkungan rumah pun banyak sekali terjadi kekerasan. Mulai dari pelecehan, pembullyan,  dan banyak lagi kasus yang lainnya. Yang seharusnya rumah adalah tempat berlindung namun nyatanya saat ini rumah pun sudah tidak bisa memberikan rasa aman untuk keluarga. Semua itu terjadi dikarenakan begitu banyak faktor yang mempengaruhi antara lain dari sistem ekonomi, pendidikan, serta aspek sosial. Karena sangat jelas pada sistem sekuler saat ini memisahkan agama dari kehidupan. Agama hanya berlaku ketika dalam hal beribadah saja namun untuk masalah-masalah lain agama tidak boleh dibawa-bawa. 

Sistem ekonomi sekuler begitu banyak ketimpangan. Dalam sistem ini, mempunyai paradigma siapa yang kuat dalam hal memiliki modal maka dia yang menang. Maka negara dalam sistem ini hanya menjadi regulator bagi sang pemilik modal. Negara membiarkan sumber daya alam yang ada dikelola oleh pihak asing, ini akan membuat rakyat jauh dari kata sejahtera. Seharusnya seorang kepala rumah tangga bisa memberikan penghidupan yang layak namun dengan sistem ekonomi seperti ini yang sangat sulit mendapatkan pekerjaan. Ketika pun bekerja tidak akan mendapat upah yang sesuai, inilah salah satu faktor banyak terjadinya kasus kekerasan dalam rumah tangga. Betapa tidak, dengan beban hidup yang begitu mengimpit sedangkan kebutuhan hidup pun terus meningkat, bisa membuat seseorang menjadi sulit untuk bisa berpikir jernih. 

Belum lagi dalam aspek pendidikan, dalam sistem sekuler tidak ada pendidikan yang berbasis akidah. Ilmu hanya disampaikan saja sebagai transfer pengetahuan saja untuk mengejar target kurikulum. Tanpa cek dan ricek bagaimana pemahamannya, pengamalannya oleh peserta didik serta tidak ada penjagaan dari negara terkait kepastian mengamalkan ilmu dan pelanggarannya. Ini membuat masyarakat menjadi rapuh, minimnya tingkat keimanan dan ketakwaan kepada Allah sehingga ilmu tidak bisa dijadikan untuk mengendalikan hawa nafsu. Maka ketika menghadapi suatu permasalahan dilampiaskan dengan kemarahan dan kekerasaan dan tidak lagi memikirkan dampak apakah itu benar dan salah. 

Begitu pun sistem sosialnya, pada sistem sekuler ini negara memberikan kebebasan untuk berperilaku dan negara melindungi hak-hak tersebut. Maka mau tidak mau kasus-kasus seperti kekerasan dalam rumah tangga yang berawal dari perselingkuhan misalnya, kasus kekerasan seksual ataupun bullying akan terus terjadi karena tidak adanya peraturan sosial. 

Faktor selanjutnya adalah tidak adanya peran negara dalam memberikan perlindungan keamanan  serta kesejahteraan bagi rakyatnya. Negara dalam sistem ini abai dan gagal untuk menjadi pelindung rakyatnya. Dan negara pun tidak bisa mencari apa akar dari permasalahan ini. Solusi yang diberikan negara saat ini tidak efektif untuk bisa mengurangi kasus-kasus kekerasan yang terjadi. Diperburuk dengan sangsi yang tidak bisa memberikan efek jera kepada si pelaku semakin menambah banyak daftar kasus-kasus kekerasan yang terus semakin meningkat. 

Dalam sistem Islam tentunya akan dicari apa akar dari masalah kekerasan yang terjadi. Faktor apa saja yang  mempengaruhinya baik dari sistem ekonominya, atau pun yang lainnya. Dalam sistem Islam seorang kepala rumah tangga diwajibkan untuk bekerja. Dan tentunya dengan membuka lapangan kerja sebanyak-banyaknya dengan cara mengelola sumber daya alam yang ada dan hasilnya diberikan untuk kesejahteraan rakyat dan pastinya akan memberikan upah yang sesuai sehingga terwujud kesejahteraan untuk rakyat. Tidak ada lagi rakyat yang sulit untuk mencari pekerjaan beban hidup pun tidak akan berat karena negara memberikan jaminan kesejahteraan untuk rakyatnya. 

Begitu juga dalam sistem pendidikan Islam, negara akan memberikan pendidikan yang berbasis akidah yang tentunya akan melahirkan generasi yang berkepribadian Islam, mempunyai keimanan serta ketakwaan yang kuat kepada Allah SWT. Sehingga tidak akan mudah rapuh ketika pun dihadapkan kepada suatu masalah. Mereka akan mengetahui mana yang benar dan mana yang salah dan lebih bisa untuk mengatasi hawa nafsunya. 

Dalam sistem sosial Islam juga mengatur segala bentuk pergaulan. Sehingga tidak akan terjadi hal-hal seperti perselingkuhan juga pergaulan bebas yang bisa mengakibatkan kemaksiatan. Di sinilah peran negara begitu sangat penting untuk melindungi seluruh rakyatnya dari hal-hal kemaksiatan dengan membatasi tayangan- tayangan yang berbau pornografi. Perjudian  dan lain sebagainya guna untuk dapat mencegah terjadinya kasus-kasus kekerasan di masyarakat. Sistem Islam mempunyai mekanisme dalam segala aspek kehidupan untuk bisa memberikan perlindungan kesejahteraan dan  keamanan bagi rakyatnya. Karena dalam sistem Islam negara menjadi pelayan bagi rakyatnya. Dalam sistem Islam rakyat menjadi aman tenteram. Serta terlindungi dan sejahtera. 

Wallahu a'lam bish shawwab.


Oleh. : Iske
Sahabat Tinta Media 

Rabu, 28 Februari 2024

Demokrasi Menyuburkan L68T



Tinta Media - Hasil survei CIA yang dilakukan pada tahun 2015, menyebutkan bahwa populasi L68T di Indonesia berada pada urutan ke-5 setelah Cina, India, Eropa dan Amerika. Tak hanya itu, survei independen pun menyatakan bahwa 3% atau 7,5 juta dari 250 juta penduduk Indonesia merupakan orang yang berperilaku L68T. (Topikmalaysia.com)

Ketika penulis membaca tulisan tersebut, timbul rasa penasaran bercampur tidak percaya dan ngeri. Bagaimana mungkin, Indonesia yang pada tahun 1970, penduduk muslimnya 95% dan kini (2020) masih 87.1%, bisa menjadi negara dengan urutan ke-5 dalam jumlah orang berperilaku L68T.

Kini 9 tahun setelah survei itu, kira-kira Indonesia di urutan berapa, naik atau turun, berapa % yang terinfeksi (berperilaku) LGBT dari jumlah penduduk Indonesia. L68T adalah bencana kemanusian dan sekaligus kemaksiatan yang amat besar, apalagi jika pelakunya adalah umat Islam, karena perbuatan ini dilaknat Allah. Atas dorongan rasa penasaran, sedih dan takut penulis kemudian melakukan penelusuran datanya.

Mengutip dari laman Statista, Rabu (24/5/2023), sebuah lembaga survei melakukan survei pada tahun 2021 di 27 negara, dari hasil survei terungkap, ada 70 persen responden yang tertarik secara seksual kepada lawan jenis, sekitar 3 persen menyatakan diri dengan tegas sebagai homoseksual ( gay atau lesbian), 4 persen mengaku biseksual, dan 1 persen mengaku omniseksual. Belanda, Belgia, Inggris Raya dan Australia responden homoseksual terbesar. Rusia dan Hongaria responden heteroseksual terbanyak.

Bagaimana dengan perkembangan L68T di Indonesia? Jurnal Kewarganegaraan Volume 18, Nomor 2 (2021), menerbitkan sebuah studi berjudul “Eksistensi L68T di Indonesia dalam Kajian Perspektif HAM, Agama, dan Pancasila”. Studi dilakukan oleh tim yang beranggotakan Toba Sastrawan Manik, Dwi Riyanti, Mukhamad Murdiono, dan Danang Prasetyo dari lintas universitas. Mereka memaparkan bahwa ada peningkatan kelompok L68T di Indonesia. Peningkatan tersebut khususnya terjadi di kalangan gay di daerah perkotaan seperti Bali, Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta. Toba Sastrawan Manik dan timnya menulis bahwa kelompok LGBT memiliki organisasi bernama Gaya Nusantara dengan sebaran di 11 kota di Indonesia.

Dari data dan informasi tersebut penulis mencoba melihat dan membuktikan apakah benar L68T ini terus menyebar ke kota-kota di Indonesia. Maka penulis mencoba mencari informasi dari laman-laman media sosial terutama facebook di kota penulis sendiri. 

Dan sungguh mengejutkan penulis, bahwa di kota Tenggarong (Ibu Kota Kabupaten Kutai Kartanegara, dengan penduduk 128.211 orang). Terdapat 3 group facebook, yaitu : Gay Tenggarong-Kaltim dengan anggota 744, Gay Kaltim Samarinda Tenggarong Sebulu Muarakaman dengan anggota 1,2 ribu anggota dan Gay Tenggarong dengan 126 anggota. Dan ada yang bersifat facebook pribadi seperti Gay Tenggarong dengan 427 teman dan Gay Aldi dengan 121 teman. Dari 5 laman facebook total anggota berjumlahkan 2.618 orang, dan jika dibandingkan dengan jumlah penduduk kota Tenggarong yang berjumlah 128.211 orang, maka prosentasenya adalah 2%. Data ini menunjukkan bahwa L68T tumbuh dan berkembang dari kota-kota besar (metropolitan) sampai ke kota-kota kecil (Kabupaten/ Kecamatan).

Hal penting yang perlu segera diketahui adalah, apa yang membuat L68T tumbuh dan terus menjalar ke kota-kota kecil di Indonesia? Adakah ini sebuah pertumbuhan yang alami atau ada yang memfasilitasi? Kalau ada yang memfasilitasi bagaimana mungkin sebuah kemaksiatan difasilitasi? untuk tujuan apa? Dan mungkin masih banyak lagi pertanyaan yang berkecamuk di kepala dan hati kita sebagai seorang muslim.

Pada satu titik akhirnya penulis, melihat ada benang merah antara tumbuh dan berkembangnya L68T dengan seiring tumbuh dan berkembangnya sistem demokrasi di Indonesia. Memang tidak mudah atau bahkan sangat sulit untuk “mengaitkannya”. Maka untuk memberikan gambaran singkat, lugas dan masuk akal. Mari kita menelisik, dimulai dari pertanyaan pokok yaitu apa tujuan diterapkannya demokrasi?. Secara umum minimal ada 5 tujuan, yaitu : 1. Memberi kebebasan dalam berpendapat dan berekspresi, 2. Mencegah perselisihan antar kelompok, 3. Menciptakan keamanan dan ketertiban bersama, 4. Mendorong masyarakat aktif dalam pemerintahan, dan 5. Membatasi kekuasaan pemerintah.

Mari kita fokus pada tujuan nomor 1, yaitu memberi kebebasan dalam berpendapat dan berekspresi. Secara singkat kemudian tujuan ini kemudian dilegalkan dengan UUD 1945 dalam Pasal 27 ayat (1) : “Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Dari pasal 27 ayat (1) ini kemudian lahir UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). HAM adalah hak dasar manusia yang harus dilindungi negara dan pemerintah.

Selanjutnya dari UU HAM inilah kemudian menjadi wadah berlindung, tumbuh dan berkembangnya LGBT di Indonesia. Bagaimana korelasinya?, mari lihat fakta lapangannya. Bukankah orang-orang yang hidupnya menyimpang dari kenormalan kemudian berdalih, ini kan kodrat, ini kan dilindungi HAM. Sehingga kemudian mereka berani muncul di tengah-tengah masyarakat dengan berbagai cara dan di berbagai acara. Ada dalam acara-acara seni yang memerankan “bencong”, ada laki-laki yang berpakaian wanita, ada seminar-seminar yang membahas tentang kelainan gender, dll. Dan puncaknya di beberapa negara yang menerapkan sistem demokrasi telah mengesahkan UU yang memperbolehkan perkawinan sejenis, dan hari ini sudah ada di 33 negara. Ini semua jika ditarik benang merahnya adalah hasil diterapkannya sistem demokrasi diterapkan oleh suatu negara.

Bagaimana logika sederhananya?, UU dibuat Wakil Rakyat, Wakil Rakyat dipilih oleh Rakyat, sistem pemilihan yang menghasilkan Wakil Rakyat adalah sistem demokrasi, jelas!.

Lalu bagaimana Islam menilai dan menghukumi pelaku L68T. Islam sangat jelas melarang (mengharamkan) zina apalagi L68T. Al-Qur’an  sangat tegas menetapkan hukumannya, terdapat dalam surah An-Nur ayat (2), yang artinya “Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali …”.  Sedangkan pelaku LGBT (liwath) Rasulullah saw sangat tegas memberlakukan hukuman mati, hal dapat kita temukan dalilnya dari  hadits : “Diriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa ia berkata : Rasulullah Saw telah bersabda “Barang siapa yang kalian ketahui telah berbuat liwath (perbuatan kaum luth), maka bunuhlah kedua pelakunya, baik pelaku itu sendiri maupun partnernya” (HR. Al-Khamsah kecuali Nasa’i).

Jika Al-Qur’an  dan Hadits telah dengan tegas menetapkan hukuman terhadap pelaku zina dan liwath (LGBT). Lalu mengapa hukuman itu tidak bisa dilakukan oleh umat Islam di Indonesia. Bukankah hari ini umat Islam di Indonesia ini berjumlah 87,1% (mayoritas). Jawabannya, tidak lain dan tidak bukan, karena umat Islam tidak memiliki kepemimpinan yang berdasarkan syariat Islam. Karena hanya kepemimpinan Islamlah yang mau dan berhak melaksanakan hukuman syariat Islam. Maka jika tidak ingin, LGBT terus berkembang di Indonesia khususnya dan di negara-negara muslim lainnya maka tidak ada pilihan lain kecuali umat Islam harus kembali kepada penerapan Islam kaffah dengan sistem khilafah. Karena hanya sistem khilafahlah yang bisa menerapkan seluruh syariat Islam ditengah-tengah umat.

Wallahu a’lam bishawab
Kota Raja, 18.02.2024


Oleh : A. Darlan bin Juhri
Sahabat Tinta Media
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab