Tinta Media: menyelesaikan
Tampilkan postingan dengan label menyelesaikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label menyelesaikan. Tampilkan semua postingan

Kamis, 17 Oktober 2024

Kabinet “Obesitas”, Akankah Menyelesaikan Masalah Rakyat?


Tinta Media - Pada akhir masa jabatannya, pemerintah masih saja membuat aturan baru terkait jumlah menteri untuk periode berikutnya. Seharusnya pemerintahan Jokowi sudah memasuki lame duck period, yaitu masa ketika DPR dan pemerintah tidak boleh mengambil kebijakan di sisa masa jabatan yang penggantinya sudah ada.  Akan tetapi, DPR tetap saja mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang perubahan atas UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menjadi undang-undang. Pengesahan dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR ke-7 pada Kamis (19/9). 

Setidaknya, terdapat enam poin penting dalam perubahan tersebut. Satu di antaranya mengenai jumlah kementerian yang kini ditetapkan sesuai dengan kebutuhan presiden. Jumlah kementerian akan bertambah menjadi 44 kementerian pada era kepemimpinan Prabowo. 

Pengajar Hukum Tata Negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah 'Castro' menyatakan bahwa penambahan pos kementerian merupakan upaya politik hukum untuk mengakomodasi kepentingan pemerintahan Prabowo Subianto. Jadi, ada semacam over coalition yang butuh diakomodasi sehingga satu-satunya pilihan adalah menambah jumlah kementerian (CNN Indonesia, 20-9-2024).

Jika kita amati, jumlah kementerian era Jokowi sebenarnya sudah cukup gemuk sehingga menjadikan kinerja kementerian tidak efektif, bahkan tumpang-tindih. Kabinet obesitas hanya akan membuka peluang korupsi dan tentu menjadi ajang bagi-bagi kekuasaan balas jasa.

Selain itu, banyaknya kementerian jelas membutuhkan tambahan dana untuk menggaji para menteri. Risiko defisit APBN akan makin lebar dan utang makin bertambah. Lagi-lagi hal ini bisa menjadi alasan pemerintah menaikkan pajak. Belum lagi dengan makin banyak kementerian, makin besar pula peluang untuk korupsi karena masing-masing menteri dapat membuat kebijakan dan negosiasi untuk kepentingan masing-masing. Belum jelas keuntungan yang didapat oleh rakyat, justru rakyat sudah harus siap dengan dampak negatif dengan kebijakan ini. 

Realitas ini menunjukkan kepada kita bahwa sistem kapitalisme  menyebabkan lahirnya aturan-aturan yang menguntungkan pemilik modal. Pemilik modal yang memberikan modal untuk pemilu akan mendapatkan hasilnya setelah calon pemimpin dilantik. Bahkan, sebelum dilantik pun, mereka sudah mendapat keuntungan. 

Sudah menjadi rahasia umum bahwa tidak ada makan siang gratis. Wajar apabila peraturan yang ada akan mudah diubah sesuai kepentingan yang diinginkan. Misalnya, jumlah kursi menteri dirasa kurang untuk mengakomodasi semua yang berkoalisi, maka dibuat saja aturan yang dapat mengakomodasi semuanya, tanpa melihat apakah itu berdampak baik atau buruk untuk masyarakat. Meskipun slogan demokrasi adalah dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat, kenyataannya tidak demikian. 

Sementara itu, jika kita bandingkan dengan sistem kekhilafahan, kepemimpinan dalam khilafah akan terpusat (sentralistis) pada khalifah (kepala negara). Hal ini akan memperkecil celah korupsi. Khalifah diperbolehkan mengangkat pembantu/pejabat untuk membantu tugasnya. Khalifah akan memilih pejabat dengan efektif dan efisien dengan jobdesk dan tanggung jawab yang jelas, baik dalam urusan kekuasaan maupun selain kekuasaan (administrasi). 

Standar aturan yang menjadi rujukan khalifah adalah hukum syara' sehingga khalifah tidak akan mudah mengubah aturan yang ada sesuai kepentingannya, apalagi bertentangan dengan syariat. Itulah perbedaan yang menonjol antara sistem kapitalisme dengan sistem Islam (khilafah).



Oleh: Desi Kurniasih 
(Aktivis Muslimah Sidoarjo)

Minggu, 25 Februari 2024

Sistem Islam Mampu Menyelesaikan Sampah



Tinta Media - Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) sekaligus Hari Sampah Sedunia  bertepatan di 21 Februari 2024. Di tahun ini, tema yang diangkat adalah tentang sampah plastik. Persoalan sampah ini masih terus menjadi masalah serius, baik nasional maupun internasional. Pencemaran sampah plastik saat ini telah menjadi isu global, karena sifatnya melewati batas negara.

Indonesia menyumbang 12,87 juta ton sampah plastik pada 2023.  Darurat sampah masih terjadi di sejumlah daerah, salah satunya Bandung. Volume sampah yang awalnya sekitar 1.300 ton menjadi sekitar 900 ton. Meskipun ada penurunan volume sampah, tetapi penanganannya tetap saja kurang maksimal. 

Sementara itu, truk kontainer yang telah diangkut dari TPS Kota Bandung ke TPA Sarimukti sering berfluktuasi. Rosa Vivien, Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengatakan bahwa Indonesia punya target pengurangan sampah plastik ke laut, yaitu 70% pada 2025.
Sampah plastik yang sulit diurai merupakan produk turunan bahan bakar fosil telah mencemari setiap bagian lautan di permukaan hingga dasar, dari kutub hingga area khatulistiwa. 

Sampah ini ternyata membahayakan kesehatan dan keselamatan hewan laut.
Kelomang, hewan kecil yang berlindung di dalam cangkang siput, kini mulai beralih ke sampah plastik sebagai cangkang pengganti. Sebuah laporan dalam journal Scince of the Total Environment, menebarkan 386 individu kelomang, 10 dari 16 spesies kelomang darat menggunakan cangkang buatan, terutama tutup botol plastik. Hal ini karena kekurangan cangkang alami yang tentu saja dampak polusi plastik terhadap kehidupan laut.

Hal yang cukup misterius, hasil penelitian dari tim ilmuwan internasional yang bekerja di kapal penelitian di Pantai Panama Amerika Tengah memperlihatkan bahwa mikroplastik mencemari lautan. Mikroplastik adalah sampah plastik yang masuk ke lautan yang akhirnya terurai menjadi fragmen-fragmen kecil yang berukuran kurang dari 5 milimeter. Mikroplastik ini bisa tertelan ikan konsumsi, yang akhirnya berpengaruh ke kesehatan tubuh manusia. Mikroplastik ternyata juga mengganggu kemampuan laut untuk mendinginkan bumi. 

Akar permasalahan kerusakan lingkungan terletak pada sistem kapitalistik yang mengadidaya. Hal ini menjadikan masyarakat konsumtif dan pragmatis. Tentunya, gaya hidup ini menghasilkan sampah, tanpa mempertimbangkan kebutuhan dan dampak negatif ke lingkungan. 

Perusahaan memanfaatkan peluang  masyarakat yang konsumtif itu demi mengejar keuntungan materi, tetapi kurang peduli pada dampak limbah yang merusak lingkungan udara, tanah, bahkan laut dikarenakan melebihi batas normal. 

Islam adalah din (agama) dan sistem yang memiliki perspektif tertentu mengenai manusia dan lingkungan. Manusia, sebagaimana tersurat dalam beberapa ayat al-Qur'an (Q.S At-Tin:4, Q.S Al-Mu'minun:12--14, Q.S Al-Insan:4) dan hadis adalah makhluk yang paling sempurna. Padanya diatributkan sebagaimana hamba Allah dan khalifah, termasuk yang dipercayakan untuk merawat alam semesta.

Sistem Islam mampu mengatasi permasalahan semua jenis sampah dengan melibatkan individu, masyarakat, sampai negara. 

Pertama, negara akan mengedukasi individu dan masyarakat untuk hidup hemat, bersih, dan menjaga lingkungan, termasuk lingkungan laut. Hidup yang telah diedukasi ini didasarkan pada keimanan. 

Kedua, negara menerapkan politik ekonomi Islam yang bertujuan menjamin kebutuhan pokok masyarakat, yakni kesehatan yang langsung diurusi oleh negara. Negara memberi sarana pembuangan sampah yang memadai dan pengangkutan yang cukup. Negara juga mendorong para ahli untuk menciptakan teknologi canggih dalam pengelolaan sampah. 

Ketiga, negara menetapkan sanksi tegas yang mampu memberikan efek jera bagi pelaku pengrusakan lingkungan, baik individu maupun masyarakat, misalnya membuang sampah di daratan atau lautan secara sembarangan.

Dengan penerapan sistem Islam,  maka permasalahan darurat sampah dapat terselesaikan dengan tuntas.


Oleh: Lulu Sajiah, S.Pi
Pemerhati Agro Maritim
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab