Tinta Media: mengqadha
Tampilkan postingan dengan label mengqadha. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label mengqadha. Tampilkan semua postingan

Selasa, 05 Maret 2024

Mengqadha Puasa yang Ditinggalkan Selama Bertahun-Tahun, Wajibkah Membayar Fidyah?



Tinta Media - Bagi orang yang tidak melaksanakan puasa selama bertahun-tahun tanpa ‘udzur (halangan) padahal ada kemampuan dan kesempatan untuk melakukannya, wajibkah ia mengqadha disertai membayar fidyah? Inilah pendapat tiga madzhab fikih berkaitan dengannya. Tulisan ini adalah terjemahan bebas dari soal-jawab al ‘âlim al jalîl as-Syaikh ‘Atha Ibn Khalil Abu Rasytah di Facebook. 



Soal: 

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakatuh

Wahai syaikh, saya ingin mengetahui hukum Allah terkait mengqadha puasa agar hati saya menjadi tenang. Saya di waktu jahiliyah (belum bertaubat) tidak berpuasa di bulan Ramadhan dengan sengaja tanpa ada ‘udzur (halangan yang dibenarkan syariat). Kemudian alhamdulillah,  Allah merahmatiku hingga saya bertaubat. Bagaimana saya mengqadha puasa yang ditinggalkan. Apakah ada kewajiban membayar fidyah setiap tahunnya ataukah cukup mengqadha saja. Saya berharap Anda ,wahai Syaikh kami menjawab pertanyaan ini. 

Jawab: 

Wa ‘alaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh

Wahai saudaraku, Anda menyatakan bahwa anda tidak mengerjakan puasa secara sengaja selama waktu tertentu tanpa ada ‘udzur. Kemudian setelah sekian tahun berlalu, Allah memberi Anda hidayah pada jalan yang lurus. Lalu anda berpuasa... Atas dorongan takwa Anda ingin mengqadha puasa Ramadhan yang tidak dikerjakan sebelumnya. Sungguh, saya memuji Allah atas nikmat hidayah yang Allah berikan pada Anda yang menghantarkan  pada sebaik-baik ketaatan hingga Anda tidak mencukupkan dengan puasa yang Anda jalani setelah mendapat hidayah. Anda juga sangat bersemangat untuk mengqadha puasa bulan Ramadhan yang ditinggalkan. Semoga Allah melimpahkan berkahnya pada Anda dan bagi Anda sebaik-baik taubat. Semoga Allah menyempurnakan nikmat dan rahmatnya pada Anda. Aamiin 

Saudaraku yang mulia, kami (beliau sebagai amir Hizbut Tahrir) tidak mentabanni (adopsi) perkara ibadah. Kami persilakan perkara ini  bagi muslim untuk mengikuti pendapat dari  madzhab yang ada pada topik puasa atau shalat..... Kami disini akan paparkan sebagian pendapat fikih terkait mengqadha puasa dan hal-hal terkait yang semoga dengannya menjadikan dada Anda menjadi lapang dan hati menjadi tenang: 

1. Terdapat dalam kitab Nihâyah al-Mathlab fî Dirâyah al-Madzhab, karya ‘Abdul Malik al Juwaini yang bergelar Imam al Haramain (w. 478 H), beliau adalah ahli fikih madzhab Imam Asy Syafi’i: 

“Siapa saja yang  telah berlalu (tidak melaksanakan puasa) di bulan Ramadhan dan memungkinkan untuk mengqadhanya, tidak boleh ia melambatkan qadhanya hingga masuk bulan Ramadhan tahun selanjutnya. Apa yang kami sebutkan bukanlah sesuatu yang dianjurkan, namun sesuatu yang wajib dilakukan, seiring adanya kemampuan dan hilangnya halangan. Jika terpaksa mengundurkan qadha puasa pada tahun selanjutnya tanpa ada ‘uzdur, maka selain mengqadha, wajib pula membayar fidyah sebanyak satu mud makanan setiap harinya, jika melambatkan mengqadha selama dua tahun atau beberapa tahun, maka berkaitan mengandakan fidyah ada dua pendapat: 

Pertama, fidyahnya tidak dilipatgandakan, namun seperti hanya melambatkan satu tahun saja. Pendapat yang shahih (lebih kuat) adalah melipatgandakan fidyah. Wajib baginya membayar fidyah untuk satu tahun yang lewat satu mud setiap harinya, jika terlambat mengqadha dua tahun maka dua mud setiap harinya.  Hal ini sebagai tambahan. Inilah ketentuan tentang fidyah... 

Hal ini berarti qadha puasa Ramadhan, hendaklah dilakukan sebelum masuk Ramadhan tahun selanjutnya. Jika melambatkan hingga masuk bulan Ramadhan maka wajib atasnya mengqadha dan membayar fidyah. Dan pendapat lain bahwa jika melambatkan mengqadha hingga dua tahun maka wajib atasnya membayar dua fidyah (dari setiap hari yang ditinggalkan, pent) disertai qadha. 

2. Terdapat dalam kitab Kasysyafu al-Qina’ ‘an matni al-Iqna’, karya Manshur bin Yunus al Buhuti al Hanbaliy (w. 1051 H) 

“Siapa saja yang tidak mengerjakan puasa Ramadhan sebulan penuh atau sebagiannya. Maka hendaklah ia mengqadha sejumlah hari yang ditinggalkan. Dan boleh melambatkan pelaksanaan qadha selama belum berlalu waktunya yakni hingga nampaknya hilal bulan Ramadhan selanjutnya. Tidak boleh melambatkan qadha puasa hingga masuk bulan Ramadhan selanjutnya tanpa ‘udzur. Jika melambatnya hingga bertemu bulan Ramadhan selanjutnya maka ia wajib mengqada dan memberi makan orang miskin setiap harinya yang teranggap sebagai kafarah (penebus keterlambatan). Tidak dilipatgandakan fidyah karena beberapa kali Ramadhan terlambat mengqadha, karena banyaknya keterlambatan tidak menambah kewajiban fidyah sebagaimana jika mengakhirkan haji yang wajib beberapa tahun, tidak ada kewajiban baginya melaksanakan haji berkali-kali)...hal ini berarti bahwa siapa yang tidak melaksanakan puasa Ramadhan dan tidak mengqadhanya hingga bertemu Ramadhan selanjutnya maka wajib atasnya qadha dan fidyah. 

3. Adapun Madzhab Abu Hanifah, meski melambatkan qadha puasa hingga bertemu Ramadhan selanjutnya maka yang diwajibkan hanya mengqadha puasa, tanpa fidyah. 

Dalam kitab al-Mabsûth karya Imam Sarkhasiy, ahli fikih madzhab Hanafi (w. 483) disebutkan: 

“Orang yang ada kewajiban mengqadha puasa Ramadhan namun tidak mengqadhanya hingga bertemu bulan Ramadhan selanjutnya, maka wajib atasnya mengqadha Ramadhan yang telah lewat, menurut madzhab kami tidak ada kewajiban fidyah. Sedangkan menurut Imam Syafi’i rahimahullah wajib mengqadha serta membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin setiap harinya. Bagi kami yang zhahir (dalil yang terang) adalah firman Allah Ta’ala: “maka hendaklah mengqadhanya di hari yang lain” (QS. al Baqarah [2]: 184). Pada ayat di atas tidak ada batasan waktu tertentu, sedangkan membatasi waktu tertentu, yaitu di antara dua Ramadhan adalah sebuah tambahan, padahal puasa adalah ibadah yang terkait dengan waktu tertentu tetapi mengqadhanya tidak dibatasi waktu tertentu (pent). 

Di dalam kitab Badaî’u al-Mashani’ fi Tartîb as-Syarâ’i karya ‘Alâ’u ad-Din al Kâsâniy al Hanafi (w. 587 H) disebutkan:

“Pendapat ulama madzhab Hanafi, bahwa mewajibkan qadha tanpa batasan waktu tertentu, sebagaimana kami sebutkan bahwa perkara qadha puasa adalah mutlak, tanpa batasan sebagian waktu atas sebagian waktu yang lain. Jadi sifatnya mutlak (tanpa batasan waktu). Atas dasar ini maka ashab kami menyatakan: bahwasanya jika melambatkan qadha Ramadhan hinga masuk Ramadhan selanjutnya tidak ada kewajiban fidyah...” 

Hal ini berarti bahwa madzhab Abu Hanifah hanya mewajibkan qadha tanpa fidyah, yaitu qadha semata atas hari-hari di bulan Ramadhan Ramadhan yang tidak dilaksanakan puasa. 

Sebagaimana saya sampaikan di awal, bahwa kami tidak mentabanni perkara ibadah. Saya hanyalah memaparkan kepada Anda sebagian pendapat madzhab Abu Hanifah, asy Syafi’i dan ahli fikih madzhab Hanbali. Dan apa yang menurut Anda melapangkan dada Anda (dari pendapat-pendapat yang telah dipaparkan, pent) maka lakukannlah. Semoga Allah memberikan taufik kepada Anda terhadap apa yang Allah sukai dan ridhai. 

Saya berharap hal ini memadai. Dan Allah Maha mengetahui dan Maha Adil. 

Saudaramu, ‘Atha bin Khalil Abu ar-Rasytah
8 Ramadhan 1440 H/13 Mei 2019

Oleh: ‘Syekh Atha bin Khalil Abu ar-Rasytah
Penerjemah: Wahyudi Ibnu Yusuf 

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab