Tunjangan Melimpah, Pelayanan Tak Memuaskan
Tinta Media - DPR, DPD, dan MPR RI untuk masa jabatan tahun 2024-2029 resmi dilantik dalam sidang paripurna pada 1 Oktober 2024 CNBC Indonesia (4/10/2024). Belum juga bekerja, setelah para wakil rakyat ini dilantik, timbulah polemik baru mengenai rumah dinas DPR.
Menurut informasi, rumah dinas DPR periode tahun 2004-2009 tidak bisa lagi ditempati dikarenakan rusak parah, sedikit yang menghuni sehingga ada rencana pemberian tunjangan perumahan baru. Ini tentu mengusik kenyamanan netizen Indonesia, bahkan lembaga pengawas parlemen. Kebijakan ini dinilai tidak ada urgensi dan akan berefek pada bertambahnya beban negara. (BBC News Indonesia, 5/10/2024).
Managing Editor CNBC Indonesia menyebutkan bahwa 50% lebih profil hingga komposisi anggota DPR, DPD, dan MPRI RI adalah anggota dewan lama sehingga diharapkan dapat lebih cepat menyelesaikan sederet undang-undang yang belum disahkan pada periode sebelumnya.
Alhasil, dalam periode tahun 2024-2029 anggota DPR rencananya tidak akan mendapatkan fasilitas rumah dinas untuk 580 anggota. Namun, sebagai penggantinya, para anggota dewan akan diberikan tunjangan perumahan. Riset awal hunian di sekitar Kompleks Parlemen dengan kisarannya Rp30 juta-Rp50 juta per bulan.
Nantinya, hunian ini akan dikembalikan kepada negara setelah purna tugas. Bahkan anggota DPR periode 2024-2029, Habiburokhman mengatakan bahwa untuk mengganti rumah dinas dengan tunjangan perumahan saja tidak cukup.
Sebenarnya, rumah dinas untuk DPR telah disediakan di kompleks perumahan Kalibata, Jakarta Selatan yang berjumlah lebih dari 500 unit dengan luas 22 hektare. Fasilitas rumah berlantai dua yang dibangun sejak pada 1988 disediakan negara sebagai tempat tinggal para anggota DPR, termasuk yang berasal dari area Jakarta untuk menghemat anggaran.
Namun, penampakannya hari ini makin tampak sepi seperti tak berpenghuni karena sudah lebih dari 50% rusak parah dan butuh perawatan yang tidak murah. Kerusakannya beda-beda, mulai dari struktur rumah yang turun, retakan di dinding, atapnya juga ketarik karena struktur di bawah amblas.
Kebijakan ini dinilai terburu-buru, apalagi lembaga terkait belum melakukan audit pada kerusakan rumah dinas DPR sebelum akhirnya memutuskan memberikan tunjangan perumahan karena prosesnya lama dan merepotkan.
Peneliti dari Indonesian Parliamentary Center, Arif Adiputro menilai bahwa kondisi kerusakan hunian dianggap masih bisa diperbaiki. Maka, akan lebih efisien untuk diperbaiki. Apalagi jika membuat perumahan baru, tentu akan menghabis-habiskan APBN mengingat semua harus diseragamkan sebanyak 580 anggota, mengingat keputusan yang dibuat akan terasa sensitif di tengah kondisi masyarakat yang sulit secara ekonomi karena banyak yang diberhentikan dari lapangan pekerjaan dan lemahnya daya beli masyarakat saat ini.
Apalagi jika melihat dari besaran gaji DPR yang ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2000 yang meliputi tunjangan jabatan, tunjangan istri, tunjangan anak, tunjangan beras, uang sidang, fasilitas kredit, tunjangan rumah jabatan.
Jika komponen di atas dijumlahkan semua, maka seorang anggota DPR dapat membawa pulang uang setidaknya sebesar Rp54.051.903 setiap bulan (belum termasuk uang perjalanan dinas).
Bahkan, para wakil rakyat juga akan menerima pensiun nantinya sebesar 60% dari gaji anggota DPR.
Rakyat adalah penggaji para wakil rakyat. Untuk rakyatlah mereka bekerja.
Rasanya, slogan di atas sudah tidak jarang terdengar di telinga. Rasa-rasanya memang rakyat Indonesia adalah rakyak yang kaya, sejahtera hingga mampu menggaji para wakil dengan gaji yang begitu fantastis.
Anggota DPR adalah wakil rakyat dalam menyampaikan aspirasi rakyat yang juga sekaligus membuat aturan atau undang-undang di negeri tercinta Indonesia. Namun, realita hari ini memperlihatkan bahwa ada banyak hubungan antara satu dengan yang lain, sehingga rawan konflik kepentingannya sendiri.
Adanya undang-undang yang dibuat bukan untuk menyejahterakan kepentingan rakyat, tetapi hanya untuk segelintir rakyat yang punya uang banyak. Seperti misalnya undang-undang omnibuslaw, undang-undang legalnya kontrasepsi bagi pelajar, dll.
Mengingat hari ini tidak ada oposisi dan semua menjadi koalisi demi kepentingan meraup pundi-pundi materi. Alhasil, tidak ada pelayanan terhadap rakyat secara benar. Rakyat terabaikan dan akhirnya kembali tak mampu melawan. Rakyat tertindas oleh para pegawai yang digajinya sendiri, sebagai tempat bergantungnya harapan dan masa depan.
Lantas apa yang sebenarnya kurang? Dalam sistem kapitalisme, wakil rakyat dipilih bukan karena kemampuannya, tetapi karena kekayaan atau jabatan. Dalam mekanisme politik transaksional semua mudah berkuasa apabila punya modal.
Sitem kehidupan kapitalisme memang membentuk siapa pun di dalamnya yang hanya berfokus untuk mendapatkan materi sebanyak-banyaknya hingga menghalalkan segala cara, mengorbankan rasa kemanusiaan, mengorbankan rasa kepedulian, kejujuran, keadilan, bahkan tanggung jawab sebenarnya.
Jelas hal tersebut berbeda dengan sistem bernegara Islam “khilafah”.
Dalam sistem kehidupan Islam, tidak ada lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Pembuat aturan dan undang-undang tidak berkongsi karena hanya Allah. Alhasil, segala aturan bernegara dan berkehidupan sehari-hari masyarakat adalah sebagaimana yang ada dalam syariat Islam.
Dalam sistem kehidupan Islam terdapat majelis ummah yang menjadi wakil rakyat. Mereka dipilih oleh rakyat karena merupakan representaasi dari masyarakat. Majelis umat merupakan struktur pemerintahan, tetapi tidak termasuk bagian dari pemerintahan itu sendiri. Adapun tugasnya hanya penyampai aspirasi, dilibatkan hanya pada persoalan teknis rakyat, dan tidak memiliki wewenang untuk membuat aturan apa pun untuk mengatur kehidupan.
Adapun musyawarah atau syura’, tetap dipakai hanya pada porsi untuk menjadi pertimbangan, bukan penentu kebijakan. Wallahualam bisawab.
Oleh: Wilda Nusva Lilasari S.M,
Sahabat Tinta Media