Mimpi Membasmi Korupsi di Sistem Demokrasi
Tinta Media - Korupsi merajalela, tapi pemberantasannya tidak kemana-kemana. Mungkin itulah kalimat yang tepat untuk mengkritisi merebaknya kasus korupsi di Indonesia saat ini. Sebagaimana diketahui, Indonesia telah memiliki badan khusus anti korupsi atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, kendati penangkapan terus terjadi, kasus korupsi seolah tak pernah ada habisnya bahkan terus meningkat secara signifikan.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Ketua KPK RI Firli Bahuri di sela-sela pelaksanaan kegiatan roadshow Bus KPK dan road to Hakordia 2023 di Balai Meuseuraya Aceh (BMA), di Banda Aceh. Dalam kurun 20 tahun terakhir, tepatnya 2003-2023, lembaga antirasuah tersebut telah menangkap sebanyak 1.600 orang. Dan bahkan dalam tiga tahun terakhir, KPK RI sudah menangkap dan menahan tersangka korupsi lebih kurang sebanyak 513 orang.
(antaranews.com 9/ 11/2023)
Yang pertama harus kita pahami adalah korupsi tidak terjadi dengan sendiri, namun ada banyak faktor pendukung terjadinya korupsi, baik itu kurangnya kesadaran publik bahwa korupsi adalah kejahatan sekaligus dosa besar yang memberi dampak kerugian, bukan hanya pada individu tapi juga pada umum. Serta lemahnya regulasi dan penegakan hukum, ketika hukum yang ada saat ini sangat tidak sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatan para koruptor. Misalnya, dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pidana mati hanya dapat dijatuhkan dalam keadaan tertentu, seperti tindak pidana korupsi yang dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, misalnya bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial. Namun, dalam praktiknya, jarang sekali ada kasus korupsi yang memenuhi kriteria tersebut terjadi, sehingga hukuman mati jarang diberlakukan.
Sementara itu, hukuman penjara dan denda yang diberikan juga sama sekali tidak memberikan efek jera, karena ketika terpidana koruptor 'memiliki dana', mereka bebas menikmati fasilitas dan kemewahan di dalam penjara, serta masih memiliki aset dan kekayaan yang tidak disita oleh negara. Itu sebabnya, korupsi seolah menjadi peluang bisnis yang menjanjikan.
Selanjutnya adalah adanya politisasi, baik oleh pelaku politik maupun oleh badan hukum itu sendiri. Intervensi politik dan kepentingan dari berbagai pihak kerap menghambat proses penegakan hukum; misalnya dengan adanya praktik suap, gratifikasi, kolusi, dan nepotisme di antara aparat penegak hukum dan para koruptor. Sehingga kebenaran tidak dapat diungkap secara transparan dan jujur. Semua adalah akibat hukum saat ini adalah hukum buatan manusia. Terdapat banyak celah hukum dan inkonsistensi dalam penerapan peraturan perundang-undangannya.
Dengan demikian, terjadinya korupsi tidak berdiri sendiri, dan menjamurnya praktik korupsi saat ini membuat perlu adanya penanganan serius dari pemerintah. Karena korupsi adalah kejahatan luar biasa, yang memerlukan penanganan luar biasa. Oleh karenanya, dalam pandangan Islam, korupsi adalah tindak kejahatan yang muncul dari sistem, contohnya sistem yang menjadi landasan bagi Indonesia saat ini yaitu sistem kapitalisme dan politik demokrasi.
Sistem ekonomi kapitalisme lebih mengutamakan keuntungan materi dan persaingan tidak sehat. Telah memberi tekanan dari dalam dan luar bagi tiap individu yang berada dalam putaran sistem tersebut, termasuk para pejabat negara yang ingin hidup mewah dan terlihat wah. Hal ini mendorong mereka untuk melakukan korupsi dengan memanfaatkan kesempatan.
Politik demokrasi yang berbiaya mahal juga menyebabkan terjadinya praktik politik uang, pembiayaan partai atau calon peserta pemilu oleh oligarki sehingga korupsi menjadi tak bisa dihindari. Akhirnya, korupsi juga telah menyandera pemerintahan, dengan memberikan konsekuensi menguatnya plutokrasi atau sistem politik yang dikuasai oleh pemilik modal, sehingga menghancurkan kedaulatan negara itu sendiri.
Dan akibat demokrasi yang difokuskan pada suara terbanyak, maka praktik suap menyuap pun dilakukan oleh calon-calon pemimpin dalam memenuhi kepentingan pribadi atau partainya saja, sehingga yang diandalkan bukan lagi perihal kemampuan dan kepemimpinan mereka, tapi seberapa banyak mahar yang dimiliki.
Selain itu, paradigma sekularisme yang telah menjauhkan peran agama membuat banyak manusia tidak lagi memiliki rasa takut pada Tuhan. Apalagi, membuat para koruptor merasa tidak bersalah. Oleh karenanya, seruan moral dan agama tidak lagi diindahkan oleh para koruptor. Sebaliknya, perilaku korupsi terus meluas di tengah kuatnya gaung klaim berketuhanan yang menjadi dasar bangsa ini.
Hal ini tentu saja berbeda jauh dengan Islam. Islam mengharamkan korupsi, sekaligus memberikan sanksi yang tegas bagi para pelaku korupsi hingga membuatnya jera. Melalui pendidikan aqidah yang benar, serta ajaran agama yang mengajarkan moral dan etika yang tinggi, akan bisa membantu mengurangi sifat korup. Terlebih, orientasi sistem Islam adalah keridhoan Allah SWT, maka tolak ukur perbuatannya adalah halal-haram yang ditetapkan oleh syariat.
Dan jika prinsip-prinsip tersebut dipegang teguh oleh para pemimpin dan pengambil keputusan, dapat mendorong mereka untuk bertindak jujur dan adil dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab mereka. Namun, meskipun begitu, pemahaman agama saja tidak cukup untuk mengurangi korupsi karena masih perlu adanya sistem kontrol dan pengawasan yang efektif untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas.
Serta adanya hukuman yang menghukum tindakan korupsi dengan hukuman yang tegas, contohnya dalam Islam, korupsi sama dengan mencuri dan tindak pencurian yang hadnya telah diatur oleh nash yaitu potong tangan. Dan dengan memperlihatkan tindakan tegas demikian, akan mempengaruhi mentalitas dan memunculkan rasa takut akan akibat dari tindakan korupsi.
Dan melalui negara yang segala aspek kehidupannya berlandaskan aqidah Islam, maka akan lahirlah individu-individu berkepribadian islami, sehingga mampu memperkuat dan memperbaiki lembaga pengawasan dan kepolisian menjadi lebih profesional dan akuntabel untuk mengatasi kasus korupsi. Dan ketika dalam masyarakat pun mereka aktif melakukan kontrol dan pengawasan yang efektif melalui amar makruf nahi munkar. Dengan demikian, maka niscaya negara akan mampu menghentikan tindakan korupsi, bukan sekedar mimpi.
Wallahu'alam bissawab.
Oleh: Indri Wulan Pertiwi
Aktivis Muslimah Semarang