Kekayaan Pejabat Meningkat, Rakyat Tetap Melarat
Tinta Media - Di negeri yang bersistem demokrasi kapitalisme, harta kekayaan seseorang meningkat saat menjabat sebagai pemangku kebijakan bukanlah hal yang mengejutkan. Hal ini banyak dijumpai, baik di tingkat desa, daerah, ataupun tingkatan paling atas di pemerintahan.
Salah satunya adalah pemberitaan yang sedang ramai diperbincangkan mengenai kekayaan Bupati Bandung Dadang Suptiatna yang meningkat drastis pasca dua tahun memimpin. Tokoh Pemuda Kabupaten Bandung serta Ketua DPD Korps Alumni KNPI Kabupaten Bandung, Tubagus Topan Lesmana menilai hal ini sangat (metrojabar.pikiran-rakyat.com, 16/10/2023).
Berdasarkan data Laporan Harta Kekayaan Penyelengaara Negara (LHKPN) sebagaimana di laman elhkpn.kpk.go.id, jumlah kekayaan Bupati Bandung bertambah sebesar Rp600 juta. Pada tahun 2021 jumlah total harta kekayaannya sebesar Rp8.884.850.872. Sedangkan pada tahun 2022 sebesar Rp9.492.804.928. Ini artinya, dalam kurun setahun, jumlah harta kekayaannya mengalami peningkatan sebesar Rp607.954.056.
Jika mengingat kembali data LHKPN dalam waktu pelaporan harta kekayaan selama setahun dari periode 31-30 Desember 2020, terdapat 5 pejabat atau menteri yang kekayaannya meningkat selama pandemi yaitu:
Pertama, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono harta kekayaannya naik Rp481.530.801.537.
Kedua, Menko Marves Luhut Binsar mengalami kenaikan sebanyak Rp67.747.603.287.
Ketiga, Menhan Prabowo Subianto, tercatat kenaikannya sebesar Rp23.382.958.500.
Keempat, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate jumlah kenaikan sebesar Rp17.764.059.042.
Kelima, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, kenaikannya sebanyak Rp10.221.697.693. (Kompas.com, 13/09/2023)
Tak ketinggalan, laman CNBC Indonesia (12/4/2023), juga merilis 10 pejabat terkaya, di antaranya ada menteri hingga bupati. Bisa jadi, inilah alasan mengapa kursi pemerintahan dalam sistem Demokrasi Kapitalisme selalu jadi ajang perebutan, meskipun pencalonan untuk menduduki kursi panas pemerintahan dalam sistem ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Deretan kekayaan fantastis pejabat serta kenaikan harta kekayaan yang tidak kalah fantastis pula ketika menjabat cukup membuat rakyat kecil tersenyum getir. Seakan para wakil rakyat telah berhasil mewakili kesejahteraan rakyat, di saat rakyat harus menelan kenaikan harga berbagai bahan pokok, BBM, listrik, pendidikan, kesehatan. Belum lagi masyarakat dihadapkan pada permasalahan PHK massal di berbagai lini industri.
Melihat jumlah kekayaan yang meningkat pesat, jumlah uang rakyat yang dipakai untuk menggaji mereka tentunya tidak mengecewakan. Terlepas dari mereka sebagai pengusaha, memiliki bisnis sampingan, ataupun dari maraknya kasus-kasus korupsi yang menghiasi perilaku para pejabat di sistem demokrasi kapitalisme ini. Kondisi ini berbalik dengan nasib rakyat yang tetap pada garis kemiskinan.
Dalam pesta lima tahunan, suara rakyat bak dituhankan. Sistem demokrasi ini menghantarkan harapan untuk duduk di kursi kebijakan, kemudian mengantarkan pada napas kapitalisme. Para pejabat dan wakil rakyat beralih menjadi regulator antara kapitalis dan rakyat. Hal ini menjadikan rakyat sebagai objek bagi kapitalis dalam mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Sistem demokrasi kapitalisme inilah yang menjadikan perselingkuhan antara pemangku kebijakan dengan pemilik kepentingan. Rakyat menjadi korban kebijakan, nihil akan kesejahteraan.
Dalam sistem demokrasi kapitalisme, slogan 'Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin' sepertinya akan nampak nyata menjadi slogan abadi. Sistem ini meniscyakan bahwa pejabat makin kaya dan rakyat makin miskin. Negeri ini dijuluki sebagai surga dunia karena keberlimpahan kekayaan alamnya dan dikenal dengan zamrud khatulistiwa. Kondisi inieharusnya mampu menyejahterakan anak cucu negeri. Namun nyatanya, rakyat Indonesia telah terbiasa bergelud hidup miskin di tengah kekayaan negerinya.
Kapitalisme liberal melalui para pengusungnya menyebabkan berbagai kekayaan alam yang terkandung di negeri ini dikuasai oleh asing dan aseng. Negeri ini juga rentan didominasi oleh asing dan aseng melalui utang luar negeri. Hal ini karena sistem kapitalisme telah membebaskan orang-orang yang bermodal besar (para kapitalis) untuk menguasai apa pun, tidak peduli melanggar syariat atau.
Ada aset atau kekayaan yang semestinya milik umum, misalnya sumber daya alam adalah milik rakyat, tetapi dikuasai sendiri oleh para konglomerat. Tidak ada sepeser pun keuntungan untuk rakyat. Semua masuk ke kantong pribadi mereka. Inilah maksud dari makna bebas tanpa batas.
Berbeda dengan sistem Islam. Sistem ini berdiri di Madinah dan dipimpin langsung oleh Rasulullah saw. yang membawa aturan dari Sang Pencipta manusia untuk mengatur seluruh kehidupan umat manusia. Dialah suri teladan terbaik.
Islam mengatur dari hal kecil sampai besar, mulai dari bangun tidur hingga membangun negara. Sepeninggal Rasulullah, kepemimpinan negara Islam dilanjutkan oleh para Khalifah yang bertahan hingga 13 abad lamanya.
Dalam Islam memang tidak ada larangan bagi seseorang untuk memiliki kekayaan yang melimpah. Akan tetapi, ada batasan kekayaan.
Pembagian kekayaan dibagi menjadi 3 kelompok, yakni kekayaan negara, kekayaan umum (milik rakyat), dan kekayaan individu. Semuanya diatur sesuai syariat Islam. Aturan dari Sang Pencipta meniscayakan kesejahteraan meliputi seluruh makhluk-Nya, membawa rahmat bagi seluruh alam.
Para pejabat yang diangkat dalam sistem Islam berkewajiban menjalankan hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah, yakni menerapkan Islam secara sempurna (kaaffah).
Dari sistem inilah lahir pemimpin-pemimpin yang amanah, peka terhadap kondisi rakyat, sebab mereka menyadari bahwa setiap tugasnya akan dimintai pertanggungjawaban sehingga tidak akan mengabaikan sedikit pun urusan rakyat. Mereka senantiasa fokus mengurusi kepentingan umat dan tidak akan berpikir untuk memupuk harta demi kepentingan pribadi dengan memanfaatkan kekuasaannya.
Seperti kisah teladan Khalifah Umar bin Abdul Azis, beliau justru menyerahkan hartanya untuk kas negara (baitul mal). Selain itu, beliau juga menolak untuk tinggal di istana. Bahkan, Umar meminta istrinya, yakni Fatimah bin Abdul Malik untuk menyerahkan perhiasan-perhiasan ke baitul mal.
Khalifah Umar hanya fokus untuk mengurusi kepentingan rakyat, sehingga rakyat yang dipimpinnya pun mencapai kemakmuran. Kemakmurannya terlihat saat amil zakat berkeliling mencari di tiap perkampungan hingga ke Afrika untuk membagikan zakat. Akan tetapi, mereka tak menjumpai satu pun orang yang mau menerima zakat. Ini karena pada saat itu negara dalam keadaan surplus. Bahkan, di masa Umar juga, negara memberikan subsidi untuk setiap individu, seperti membiayai pernikahan warga dan menebus utang-piutang di antara mereka.
Kesempurnaan pengaturan Islam secara kaffah yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. dan para khalifah setelahnya seharusnya mampu memberi jawaban kondisi rakyat hari ini.
Sementara, sistem demokrasi kapitalisme seakan menjadi peluang besar atau lahan basah bagi pejabat yang ingin memperkaya diri. Pada akhirnya, pilihan ada pada umat, ingin selamanya bergelud dengan sistem yang terbukti semakin jauh dari kata sejahtera ataukah bangkit dari keterpurukan untuk mengembalikan pengaturan kehidupan kembali kepada aturan Pencipta manusia seutuhnya. WalLaahu a'lam bish-shawaab.
Oleh: Nia Kurniasari
Sahabat Tinta Media