Tinta Media: massal
Tampilkan postingan dengan label massal. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label massal. Tampilkan semua postingan

Senin, 29 Januari 2024

PHK Massal, Sistem Ekonomi Kapitalis Gagal Total




Tinta Media - Lagi-lagi PHK. Kepedihan kembali menyapa rakyat. Fenomena ini kembali terjadi. Ribuan karyawan dari berbagai perusahaan menjadi korbannya. Salah satunya  PT Hung-A Indonesia yang  akan  melakukan PHK atas ribuan pekerjanya karena akan menutup operasional mulai Februari 2024. Beredar kabar, pabrik ban asal Korea Selatan itu tengah berencana hengkang dari Indonesia dan beralih ke Vietnam yang akan jadi lokasi baru untuk membangun pabriknya.  (CNBC Indonesia, 20/1/2024). 

Miris, pada 2023 lalu, setidaknya ada 7.200-an pekerja yang menjadi korban PHK, baik karena perusahaannya tutup total, hengkang atau relokasi, maupun efisiensi biaya. Data tersebut baru mencakup perusahaan tempat anggota Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) bekerja, belum termasuk pabrik lain yang non anggota KSPN. (CNBC Indonesia, 20/1/2024).

Dikutip dari Detik.com  29/12/2023, badai pemutusan hubungan kerja (PHK) telah menghantam berbagai perusahaan di Indonesia dengan sangat keras. Bahkan hingga akhir 2023, tercatat ada lebih dari 20 perusahaan yang telah melakukan PHK massal. Kebijakan PHK ini diambil oleh sejumlah perusahaan Tanah Air karena berbagai alasan, mulai dari efisiensi hingga perusahaan mengalami kebangkrutan. Para pekerja yang di-PHK pun jumlahnya beragam mulai dari puluhan sampai ribuan.

Mengapa semua ini terjadi?

 Ada Sebab Ada Akibat

Gelombang PHK massal tentunya bukan tanpa sebab. Bangkrutnya perusahaan-perusahaan hingga memutuskan PHK terhadap karyawannya terjadi karena beberapa hal. Untuk pasar domestik, serbuan impor cukup menjadi mesin pembunuh. Dan untuk produk ekspor, situasi perang Rusia-Ukraina yang menimbulkan  krisis di Amerika dan Eropa,  menciptakan permasalahan bagi pabrik-pabrik di dalam negeri. Ditambah lagi kasus pandemi covid-19 belum bisa teratasi sepenuhnya. Penumpukan stok akibat perlambatan ekspor global pun menambah besarnya arus PHK. Belum lagi saat ini, modernisasi mesin juga menjadi penyebab PHK di pabrik-pabrik padat karya. Ketiadaan antisipasi pemerintah terhadap adanya modernisasi mesin di sejumlah perusahaan, mengharuskan perusahaan memangkas jumlah pegawai.

Lebih parah lagi, mengutip pernyataan Tauhid Ahmad Direktur Eksekutif INDEF, tentang relatif lambannya pemerintah  dalam merespons gejala penurunan industri manufaktur. Sehingga jika tidak ditangani, fenomena PHK masih akan berlanjut dan berpengaruh pada pemulihan ekonomi. Senada dengan hal tersebut, Nurjaman Wakil Ketua APINDO DKI Jakarta mengatakan meluasnya PHK di sektor manufaktur akan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi di masa depan. Nurjaman berharap pemerintah lebih hadir untuk mengatasi masalah tersebut.(CNBC Indonesia, 19/1/2024).

Kelambanan pemerintah tampak pada  perusahaan-perusahaan yang berorientasi pasar lokal. Pemerintah tidak tegas menghentikan arus impor, terutama yang ilegal. Pemerintah juga tidak tegas dalam hal seputar pembatasan perjanjian dagang. Jika ini terus terjadi gelombang kemiskinan pun semakin tak terkendali. Seperti apa yang disampaikan pengamat ekonomi Universitas Indonesia, kondisi badai PHK  harus diwaspadai karena dampaknya besar. Pekerja yang lama menganggur akan mengalami penurunan kemampuan hingga sumber pemasukan yang bisa menimbulkan kemiskinan.(CNBC Indonesia, 19/6/2023).

Penyebab PHK lainnya adalah adanya antisipasi resesi agar perusahaan tidak merugi. Sementara itu, empat dari sepuluh perusahaan mengatakan mereka akan memberhentikan karyawan dan mengganti pekerja dengan kecerdasan buatan (AI).

 Sistem Ekonomi Kapitalis Sistem Gagal si Biang Kerok

Dalam sistem ekonomi kapitalis, aktivitas produksi menjadi fokus utama. Tingkat produksi yang setinggi-tingginya dianggap cara paling ideal untuk mendistribusikan barang dan jasa kepada masyarakat, para pekerja menjadi salah satu faktor dan juga penentu biaya produksi di dalamnya.  Sehingga jika pada kondisi tertentu produsen mau menurunkan biaya produksi, PHK menjadi niscaya. Sebuah konsekuensi yang mengiringi perjalanan aktivitas produksi perusahaan.

Dalam sistem ekonomi kapitalis paradigma "yang bercuan menjadi tuan"  sangat dominan.  Yang bermodal besar mampu mempengaruhi kebijakan. Pengusaha yang beraktivitas di dalamnya tak punya  kepedulian pada nasib pegawainya, yang diperhatikan hanya keuntungan materi semata dan bagaimana menyelamatkan perusahaannya. 

Tragisnya, pemerintah hanya sebagai regulator saja yang keberpihakannya nyata pada para pengusaha, para oligarki kapitalis radikal. Regulasi prokapitalis sungguh telah menyengsarakan rakyat. Seperti yang terlihat dari disahkannya Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi UU pada tahun 2020, yang dinilai merugikan para pekerja (buruh). Pemangkasan nilai pesangon dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan, di mana 19 bulan dibayar pengusaha dan enam bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan, merupakan salah satu isinya.

Sistem ekonomi kapitalis menjadi biang kerok gagalnya penguasa membuat kebijakan terbaik untuk rakyat. Kesejahteraan rakyat jauh panggang dari arang. Penguasa telah zalim dengan berbagai kebijakan yang mampu memicu PHK. Terputusnya jalur nafkah akibat PHK, menjadi dampak buruk bagi keluarga. Kehilangan sumber  nafkah menjadi pemicu stres pada anggota keluarga terutama bagi laki-laki yang memiliki tanggung jawab menafkahi Keluarga. Alih-alih menyejahterakan, yang terjadi malah menyengsarakan.

 Sistem Islam Anti Gagal

Dalam Islam, penyediaan lapangan kerja adalah kewajiban negara. Penguasa dalam sistem Islam senantiasa memelihara urusan umat, termasuk memastikan terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, papan juga pendidikan, kesehatan dan keamanannya. Dengan perhatian penuh, negara tak akan membiarkan adanya pengangguran.

Sabda Rasulullah saw.

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Imam/Khalifah itu laksana gembala (raa’in), dan dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Dengan ketakwaannya, penguasa (Khalifah) akan menjalankan kewajibannya melapangkan jalan bagi warganya untuk mencari nafkah. Sumber daya alam sebagai harta milik umum, dikelola agar mampu menyerap tenaga kerja. Bantuan modal tanpa riba, juga menjadi perhatian negara untuk warganya yang akan membuka usaha, serta mendukung penuh berjalannya hasil usaha warganya dengan memperketat kebijakan impor agar tidak mematikan produk warga negaranya dan juga dalam mewujudkan kemandirian negara dalam menstabilkan perekonomian negara.

Walhasil, gelombang PHK dapat dicegah, tingkat pengangguran diminimalisir, kemiskinan dihindari, kesejahteraan pun terwujud secara paripurna. Demikianlah, sistem ekonomi Islam merupakan sistem anti gagal. Menerapkannya membuat rakyat hidup tenang dan bahagia.

Wallaahu a'laam bisshawaab.


Oleh: Sri Rahayu Lesmanawaty 
(Aktivis Muslimah Peduli Generasi)

Sabtu, 27 Januari 2024

Bencana Berulang, Saatnya Muhasabah Massal


Tinta Media - Indonesia dengan keindahan alam yang luar biasa nyatanya dinobatkan menjadi salah satu negara dari 35 negara di dunia yang potensi risiko bencananya paling tinggi. Menurut catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terjadi 4.940 bencana sepanjang 2023. Jumlah tersebut mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2022. 

Kepala BNPB Letjen Suharyanto menyampaikan, kejadian bencana alam didominasi oleh kebakaran hutan dan lahan (karhutla), banjir, serta cuaca ekstrem. Ia merinci bahwa ada 1.802 karhutla, 1.170 bencana banjir, 1.155 cuaca ekstrem, 579 tanah longsor, 168 kekeringan, 31 gelombang pasang dan abrasi, 31 gempa bumi, dan 4 erupsi gunung berapi. (CNNIndonesia.com/12/01/24)) 

Dari banyaknya bencana di atas, ratusan orang meninggal dunia, puluhan orang hilang, ribuan orang luka-luka, jutaan orang yang menderita dan harus mengungsi. Bencana alam pada periode 2023 lalu juga mengakibatkan kerugian yang luar biasa. Di antaranya banyak rumah penduduk dan fasilitas masyarakat yang rusak parah. 

Terjadinya perubahan iklim akibat pemanasan global menjadikan cuaca ekstrem terjadi di Indonesia. Bulan Januari ini Indonesia tengah berada di musim penghujan. Tak ayal, hujan pun sering turun di sebagian besar wilayah Indonesia. Namun, hujan yang mestinya membawa berkah nyatanya justru membawa musibah. Banjir yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Kerinci-Jambi, Riau, dan beberapa wilayah lain baru-baru ini masih menjadi masalah dan PR bagi pemerintah (baik daerah maupun pusat) terkait mitigasi yang dilakukan, mengingat musibah ini kerap berulang kali terjadi. 

Kapitalisme-Sekuler Lahirkan Kerusakan Alam

Nyatanya, semua bencana termasuk banjir sangat erat kaitannya dengan kerakusan manusia saat ini. Adanya tata kelola ruang yang asal-asalan, atau pembangunan wilayah atas kepentingan oligarki dan swasta yang tidak direncanakan secara komprehensif dan mendalam tentu akan membawa dampak buruk pada alam sekitar. Ini akan terus terjadi selama sistem kehidupan manusia masih menggunakan sistem kapitalisme-liberal yang dibangun atas asas pemisahan agama dari kehidupan. 

Negara yang seharusnya menjadi instrumen utama dalam tata kelola pembangunan justru abai. Negara dengan sistem kapitalisme hanya mengutamakan keuntungan dan cenderung lalai atas dampak terhadap lingkungan, termasuk tata kota secara keseluruhan dalam berbagai bentuk, seperti alih fungsi lahan, pembangunan wilayah perkotaan, daerah tujuan pariwisata, dan sebagainya.

Kerusakan terjadi di mana-mana, menimpa siapa pun, termasuk alam. Alam pun seolah enggan dikelola berdasarkan sistem batil kapitalisme-sekuler ini. Jangan salahkan alam yang murka, karena kerusakan alam ini tersebab ulah tangan manusia. Alhasil, datang bencana yang membuat rakyat menderita. 

Upaya negara dalam mitigasi bencana juga terkesan lamban, sehingga rakyat yang menjadi korban bencana alam ada dalam kondisi terlunta-lunta dan menderita. Belum lagi minimnya pasokan makanan dan kebutuhan layanan kesehatan yang seharusnya dijamin negara. Ini menambah permasalahan rakyat di tengah bencana yang terjadi. 

Islam Rahmat bagi Seluruh Alam

Bencana merupakan sebuah peringatan dari Allah untuk menunjukkan kuasa-Nya, ketika manusia tak lagi mau taat terhadap hukum-hukum Allah. Kondisi ini bisa menjadi muhasabah bagi setiap muslim, khususnya bagi negara Indonesia yang notabene mayoritas muslim terbesar di dunia. Terlebih, ketika kita sadar bahwa saat ini Indonesia tidak menerapkan hukum Islam secara kaffah. 

Teringat kisah ketika terjadi bencana alam berupa gempa pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Umar berkata kepada rakyatnya, "Wahai, Manusia, apa ini? Apa yang kalian kerjakan (dari maksiat kepada Allah)? Andai kata gempa ini kembali terjadi, Aku tak akan bersama kalian lagi!" 

Saat itu, Umar mengingatkan kaum muslimin untuk menjauhi maksiat dan segera bertobat kepada Allah. 

Oleh karena itu, sudah seharusnya umat dan penguasa saat ini melakukan muhasabah massal dan kembali kepada hukum-hukum Allah yang diterapkan secara sempurna dalam sistem Islam, yakni Daulah Khilafah Islamiyah. 

Dengan tegaknya Khilafah, akan lahir individu yang memiliki ketakwaan yang tinggi dan masyarakat yang Islami. Dengan begitu, tidak akan ada individu yang rakus dan mengedepankan kepentingan pribadi atau sekelompok golongan untuk menguasai lahan, karena Khilafah akan mengatur sistem kepemilikan berdasarkan Islam. 

Masyarakatnya pun akan menjadi masyarakat yang peduli dan saling mengingatkan satu sama lain, misal ketika ada individu yang sengaja membuang sampah di sungai atau melakukan penebangan hutan secara ilegal maka masyarakat lain harus menegur dengan cara yang ahsan, dengan begitu konsep amar makruf nahi mungkar akan terlaksana dengan baik. Selain itu, negara Khilafah akan menerapkan seluruh hukum Syariat Islam tanpa terkecuali, membuat aturan dan kebijakannya berdasarkan syariat Islam.

Begitu pun dengan pengelolaan SDA, tata kelola pembangunan, pemungsian lahan, pariwisata, dll, akan dikelola untuk kepentingan dan kemaslahatan rakyat, serta yang terpenting adalah menjaga dan tidak membuat kerusakan pada alam dan lingkungan sekitar. 

Upaya mitigasi bencana akan dilakukan pemerintah dengan dua cara yaitu saat pra bencana yang merupakan upaya untuk mencegah penduduk dari bencana. Misalnya memetakan wilayah-wilayah yang berpotensi rawan bencana, pembangunan bendungan, kanal, tanggul, pemecah ombak, membangun bangunan tahan gempa, melakukan reboisasi, pemeliharaan daerah aliran sungai dari pendangkalan, tata kota dengan drainase yang baik dan sesuai amdal. 

Khilafah juga akan membentuk Tim SAR (search and rescue) yang cakap dan handal serta melengkapinya dengan peralatan yang canggih. Selain itu posko kesehatan, dapur umum dan pengungsian juga akan tersedia dengan segera tanpa menunggu waktu lama. Khalifah akan menjamin para pengungsi atau korban bencana mendapatkan pasukan makanan dan kesehatan yang memadai. 

Mental recovery juga akan diberikan kepada para korban bencana melalui penguatan iman dan takwa. Terakhir negara Khilafah juga akan memperbaiki wilayah atau lingkungan yang terdampak bencana alam. Demikianlah mekanisme negara Khilafah dalam melakukan mitigasi bencana, sehingga bencana alam tidak terus berulang. Wallahu a'lam bi ash-shawab.

Oleh: Wiwit Irma Dewi, S.Sos.I
(Pemerhati Sosial dan Media)


Kamis, 13 Oktober 2022

PHK Massal, MMC: Kezaliman yang Lahir dari Sistem Kapitalisme

Tinta Media - Menanggapi pemutusan hubungan kerja yang terjadi secara massal, Narator Muslimah Media Center (MMC) menyatakan bahwa ini sebuah kezaliman yang lahir dari sistem kapitalisme.

"Posisi buruh sangat lemah dalam kontrak kerja, mereka direkrut dan di PHK sesuai dengan kepentingan industri. Tentu ini sebuah kezaliman yang lahir dari sistem kapitalisme," tuturnya dalam Serba Serbi MMC: PHK Massal, Fenomena Tak Terhindarkan dalam Sistem Kapitalisme di kanal YouTube Muslimah Media Center, Ahad (9/10/2022).

Ia menjelaskan bahwa kapitalisme memandang pekerja sebagai salah satu bagian dari biaya produksi, sementara konsep produksi kapitalisme harus menekan biaya dan beban produksi hingga seminim mungkin. Alhasil PHK akan selalu menjadi solusi 'wajar' yang diambil oleh pengusaha demi menyelamatkan perusahaannya. Bahkan saat ini solusi tersebut lebih dimudahkan dengan adanya UU Omnibus law. Meski pada awalnya, UU ini diklaim akan menciptakan lapangan pekerjaan dan peningkatan perlindungan terhadap Tenaga kerja. 

"Nyatanya UU Omnibus law justru merugikan pekerja dan menguntungkan pemilik modal," jelasnya.

Ditambah lanjutnya, negara dalam Kapitalisme tidak memberikan jaminan sosial semisal sektor pendidikan atau kesehatan karena sektor tersebut legal untuk dikomersilkan, akibatnya siapapun yang ingin mendapatkan fasilitas tersebut harus menggantinya dengan sejumlah uang.

"Kapitalisme gagal menjamin dan melindungi hak-hak pekerja, karena asas kapitalisme bertumpu pada modal. Siapapun pihak yang memiliki modal, mereka bisa meraup keuntungan sebanyak-banyaknya sekalipun itu harus mengabaikan hak orang lain," bebernya.

Ia membandingkan dengan sistem Islam yang disebut khilafah yang memiliki berbagai mekanisme yang dapat menjamin pekerja hidup sejahtera. "Mekanisme ini pun sudah terbukti berhasil ketika diterapkan selama 1300 abad lamanya," terangnya.

Ia melanjutkan bahwa dalam Islam, perjanjian antara pengusaha dan pekerja sepenuhnya tergantung pada kontrak kerja atau _akad ijarah_ yang harus memenuhi _ridho wal ikhtiar_ sehingga perjanjian antara kedua belah pihak harus saling menguntungkan, tidak boleh ada yang terzalimi. " Pengusaha mendapatkan keuntungan dari jasa pekerja yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan tertentu. Begitu pula pekerja, mereka mendapat keuntungan berupa imbalan yang diberikan pengusaha ketika melakukan pekerjaan tertentu yang telah disepakati dalam kontrak kerja," paparnya.

Adapun dalam penetapan upah atau imbalan tersebut, telah dijelaskan Syaikh Taqiyuddin an Nabhani dalam kitabnya _Nizdam Iqtishadi_ bahwa upah seorang _ajir_ atau pekerja adalah kompensasi dari jasa pekerjaan yang sesuai dengan nilai kegunaannya selama upah tersebut ditentukan diantara keduanya. Perkiraan jasa seorang pekerja untuk diberi upah ini harus dikembalikan kepada ahli yang memiliki keahlian menentukan upah, bukan negara atau bukan pula kebiasaan penduduk suatu negara. "Para ahli tersebut ketika menetapkan upah juga tidak memperkirakan berdasarkan produksi seorang pekerja dan tidak pula memperkirakan berdasarkan batas tarif hidup yang paling rendah dalam komunitas tertentu," ungkapnya.

"Upah juga tidak boleh dikaitkan dengan harga barang yang dihasilkan, sebab hal ini menyebabkan keluarnya pekerja jika barang dipasaran terjadi penurunan atau kemerosotan secara keseluruhan," imbuhnya.

Ia menilai konsep tersebut akan membawa keuntungan dari kedua belah pihak sekaligus mencegah kezaliman yang dilakukan oleh pengusaha terhadap pekerja atau sebaliknya. Adapun Kezaliman pengusaha kepada pekerja adalah tidak membayar upah pekerja dengan baik, memaksa pekerja bekerja di luar kontrak yang telah disepakati, melakukan pemutusan hubungan kerja secara semena-mena. Termasuk tidak memberikan hak-hak pekerja seperti hak untuk dapat menjalankan kewajiban ibadah, hak untuk istirahat jika sakit dan sebagainya. Sementara kezaliman pekerja kepada pengusaha adalah jika pekerja tidak menunaikan kewajiban yang menjadi hak pengusaha seperti bekerja sesuai jam kerja yang ditentukan, melakukan pengrusakan terhadap aset milik pengusaha dan lain sebagainya.

Dengan kontrak akad ijarah kezaliman tersebut bisa diminimalisir, namun jika masih terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka khilafah menyediakan wadah yang terdiri dari tenaga ahli atau _khubara_ yang diharapkan dapat menyelesaikan perselisihan diantara keduanya secara netral. 

"Alhasil, jika khilafah ada ditengah-tengah umat, tidak perlu lagi ada persoalan PHK yang sewenang-wenang terhadap buruh dengan alasan efisiensi produksi atau yang lainnya," tandasnya.[] Ajira

Jumat, 10 Juni 2022

Dua Pelajaran dari Penembakan Massal di AS: Kapitalisme dan Monster Pembunuh


Tinta Media - Penembakan massal sepertinya sudah jadi salah satu ancaman nasional untuk rakyat Amerika. Hanya beberapa hari usai penembakan massal di satu sekolah dasar di Uvalde, Texas, 24 Mei lalu, kembali terulang penembakan massal. Penembakan maut terjadi di kampus rumah sakit St Francis, di Tulsa, Oklahoma, Rabu (1/6/2022) waktu setempat. Pelaku seorang pria usia 35-40 tahun kemudian mati setelah menembak diri sendiri. Total korban tewas 5 orang.
Sebelumnya, di Uvalde, Texas, seorang remaja usia 18 tahun bernama Salvador Ramos, menyerang satu sekolah dasar dengan senapan serbu AR15. Remaja stress itu menembaki siswa-siswa dan guru. Jatuh korban 21 orang, termasuk 19 anak-anak murid Sekolah Dasar Robb di Uvalde.

Sepuluh hari sebelumnya, terjadi juga penembakan massal di sebuah supermarket di Buffalo, New York dan Gereja Presbiterian Jenewa di Laguna Woods, California. 10 orang tewas di Buffalo, dan satu di Laguna Woods. Pelaku bermotif rasisme, kebencian pada warga kulit hitam.

Penembakan massal terbesar dalam sejarah Amerika Serikat terjadi di tahun 2017, di Las Vegas, Nevada. Korban tewas mencapai 58 orang, lebih dari 500 orang luka. Saat itu seorang pria pensiunan akuntan menembak dari kamar hotelnya ke arah kerumunan penonton konser musik country yang padat.

Penembakan massal (mass shooting) di AS adalah gambaran makin hilangnya rasa aman di tengah warganya. Antara tahun 2009 dan 2020 di seantero AS terjadi 240 penembakan massal yang membunuh 1,363 orang dan melukai 947 lainnya. Rata-rata terjadi 20 kali penembakan massal setiap tahunnya.

Anak-anak dan remaja menjadi kelompok yang rawan jadi korban. Kurang lebih 362 anak dan remaja terbunuh. Diperkirakan 1 dari 4 orang korban penembakan adalah remaja dan anak-anak. Sementara itu ada 21 aparat keamanan terbunuh dan 35 lainnya terluka.

Seorang politisi mengatakan bila jumlah korban penembakan massal mendekati angka kematian akibat kecelakaan di jalan raya. Namun ironinya, pemerintah dan partai justru seperti tidak melakukan apa-apa untuk melakukan pembatasan kepemilikan senjata.

Amerika Serikat bisa dibilang sebagai ‘surga’ kepemilikan senjata. Berdasarkan amandemen ke-2, warga negara AS diizinkan untuk memiliki senjata. Bukan hanya jenis senjata tangan (handgun) tapi juga senjata serbu (riffle assault). Salah satunya adalah jenis AR15 yang menurut data kepolisian menjadi senjata ‘favorit’ para pelaku penembakan massal.
 
Dua Pelajaran Penting

Ada pelajaran penting dari kasus penembakan massal yang berulang kali terjadi; pertama, warga Amerika Serikat banyak mengalami persoalan sosial akut hingga depresi. Rata-rata pelaku penembakan massal adalah pribadi yang punya persoalan kejiwaan; tertekan, depresi, korban bullying di lingkungan, broken home.

Salvador Ramos, aktor penembakan massal di Uvalde, diceritakan oleh atasan dan rekan kerjanya di satu restoran cepat saji sebagai pribadi tertutup, kurang bersosialisasi, namun agresif/pemarah. Ia pernah mengancam seorang pegawai perempuan di tempat kerjanya.

Ramos juga nampaknya bermasalah dengan keluarganya. Sebelum menembaki anak-anak SD, Ramos lebih dulu menembak neneknya di rumah. Kejadian itu ia ceritakan pada salah seorang temannya di media sosial, sebelum menyerang para pelajar SD.

Balik ke belakang jauh ke bulan Mei 1998, seorang remaja usia 15 tahun bernama Kip Kinkel melakukan penembakan massal terhadap sejumlah pelajar di SMA Thurston High School di Springfield, Oregon, Amerika Serikat. Sebelum melakukan penyerangan di sekolah, Kinkel yang saat itu berusia 15 tahun terlebih dahulu menembak mati ayahnya yang sedang minum kopi. Lalu menembak ibunya di garasi setelah mengucapkan, “I love you, mom.”

Lalu pada 21 Mei, dengan menggunakan Ford Explorer ibunya ia berangkat ke sekolah menengah. Kinkel menyiapkan lima senjata; dua pisau berburu, senapan, pistol Glock 19 9x19mm , dan pistol Ruger MK II kaliber .22.  Dia membawa 1.127 butir amunisi. Kinkel pun mulai melakukan penembakan yang menghantam 37 siswa dan menewaskan dua orang, sebelum dibekuk sejumlah pelajar lain dan polisi. Kip Kinkel ternyata remaja yang bermasalah. Barbara Coloros dalam bukunya Stop Bullying menuliskan Kinkel adalah pelajar korban bulliy di sekolahnya.

Bicara soal gangguan mental, Amerika Serikat menurut International Health Metrics and Evaluation (IHME), di tahun 2016, berada di peringkat ketiga (21,56%) setelah Greenland dan Australia. Sedangkan menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS alami peningkatan bunuh diri di lebih dari setengah negara bagian AS sejak 1999. Kenaikan keseluruhan nasional adalah sekitar 25%. Ini berarti bahwa sekitar 16 dari setiap 100.000 orang Amerika akan melakukan bunuh diri. Di tahun 2016 hampir 45.000 orang Amerika bunuh diri.
Kedua, AS hadapi peningkatan rasisme dan diskriminasi. Sebagian kasus penembakan massal dilatarbelakangi politik dan ideologi, seperti rasisme dan diskriminasi. Serangan ke sebuah supermarket di Buffalo, New York dan Gereja Presbiterian Jenewa di Laguna Woods, yang menewaskan 10 orang warga kulit hitam didasari rasisme. Pelaku serangan, Payton Gendron 18 tahun pendukung supremasi kulit putih. Ia sudah merilis manifesto 180 halaman yang merinci pandangan rasis dan anti-Semitnya.

Liga Anti-Defamasi atau ADL pada tahun 2020 menyebutkan telah terjadi peningkatan propaganda rasisme menjadi dua kali lipat tahun lalu. Dalam laporan terbaru, liga anti-kebencian itu mencatat sebanyak 2.713 kasus kebencian terjadi tahun 2019. Hanya dalam 2 tahun terakhir, propaganda supremasi kulit putih di Amerika naik menjadi rata-rata 7 kasus dalam satu hari.
 
Kerakusan Dan Lobi Produsen Senjata
Walau sudah berkali-kali terjadi penembakan massal, tapi pemerintah AS tetap tidak melakukan pelarangan kepemilikan senjata. Bahkan pembatasan dan pengetatan pun tidak dilakukan. Kepemilikan senjata oleh warga AS memang mencengangkan. Berdasarkan survei 2017, tak kurang dari 40% warga AS mengaku punya senjata api atau tinggal di rumah yang menyimpan senpi. Diduga, penduduk di AS menyimpan sekitar 270 juta pucuk senpi. Jumlah itu adalah yang terbanyak di sekeliling jagat. Di Eropa, penduduk Swiss dan Finlandia memiliki senjata terbanyak.

Padahal, di AS tingkat pembunuhan atau pembunuhan massal dengan menggunakan senpi adalah yang tertinggi di antara negara-negara maju. Lebih dari 11.000 orang di AS tewas dibunuh dengan menggunakan senjata api pada 2016. Jumlah tersebut mencapai dua-pertiga dari keseluruhan pembunuhan.

Beda dengan negara lain, AS sejak tahun 1788 mengizinkan warganya memiliki senjata api sesuai amanat Amandemen Kedua. Tujuan peraturan itu adalah untuk memberdayakan milisi di negara bagian yang dulu berjasa mengusir Inggris dari tanah Amerika. Aturan itu menghilangkan kewenangan untuk melucuti senjata warga negara yang ingin membela diri. Sebagian rakyat AS yang mendukung kepemilikan senjata sipil merasa amandemen kedua konstitusi AS berhasil menegaskan hak-hak mereka.

Konstitusi ini diperkuat dengan kehadiran asosiasi kepemilikan senjata terbesar di AS, National Riffle Association (NRA). Kelompok ini didirikan pada tahun 1871 oleh dua veteran Perang Saudara AS. Tujuannya sebagai kelompok rekreasi untuk “mempromosikan dan mendorong aktivitas menembak secara ilmiah”.

NRA aktif melakukan lobi politik untuk menentang pelarangan atau pembatasan kepemilikan senjata, walaupun mereka mendukung dua upaya kontrol dan pengawasan senjata, yaitu UU Senjata Api Nasional tahun 1934 dan UU Pengendalian Senjata tahun 1968. Pada tahun 1975, NRA mulai mencoba mempengaruhi kebijakan secara langsung melalui badan lobi yang mereka bentuk, yaitu Institute for Legislative Action. Dua tahun setelahnya, badan ini membentuk Komite Aksi Politik untuk menyalurkan dana kepada legislator.
NRA gelontorkan dana besar untuk aktivitas mereka. Baik untuk kegiatan mereka maupun  untuk lobi politik. Di tahun 2020, NRA menghabiskan anggaran sekitar US$250 juta atau Rp3,6 triliun per tahun. Angka ini terbesar dibandingkan gabungan anggaran semua kelompok advokasi pengendalian senjata di AS.

Dalam hal lobi, resminya NRA melaporkan menggunakan sekitar US$3 juta – hampir Rp43 miliar — per tahun untuk mengatur kebijakan terkait hak kepemilikan senjata. Anggaran yang dihabiskan untuk melobi legislator pada tahun 2014 adalah US$3,3 juta atau Rp 48 miliar.

Angka itu hanya pengeluaran yang tercatat untuk para pembuat undang-undang. Anggaran yang cukup besar mereka habiskan melalui Political Action Committee dan kontribusi independen, oleh karenanya jumlah pastinya sulit dilacak.

NRA bisa jadi kelompok yang paling populer dalam lobi politik kepemilikan senjata. Tapi bukan mereka yang paling kuat dan paling besar gelontorkan anggaran untuk lobi politik. Ada The National Shooting Sports Foundation (NSSF) yang berpusat di Newton, Connecticut. Kelompok ini mengguyur Kongres dengan dana sebesar US$ 15.5 juta – lebih dari Rp 224 miliar — sejak tahun 2019, jauh di atas NRA.

NSSF adalah representasi industri senjata api di AS, termasuk lebih dari 9500 pabrik, retail dan lapangan tembak. Kelompok ini punya dukungan kuat untuk akses senjata semi-otomatis, termasuk yang digunakan penembakan di Uvalde.

Itu membuat NSSF menjadi kekuatan di Capitol Hill ketika anggota parlemen Demokrat berjuang untuk menyusun undang-undang kompromi tentang senjata yang mungkin diterima Partai Republik, setelah penembakan di sekolah massal Uvalde.

“Selama bertahun-tahun, Partai Republik telah mengamankan pundi-pundi kampanye mereka dengan mengorbankan keamanan sekolah kami,” kata Senator AS Edward Markey dari Partai Demokrat dalam sebuah pernyataan ketika ditanya tentang lobi kelompok itu. “Mereka terikat pada pelobi pro-senjata yang mendukung keuntungan industri dengan menjajakan kebohongan berbahaya tentang upaya reformasi senjata akal sehat yang didukung secara luas oleh rakyat Amerika,” katanya mengungkapkan situasi yang terjadi di Kongres (https://www.wbur.org/news/2022/06/02/nssf-national-shooting-sports-foundation-connecticut-nra-lobbying).

Meskipun jumlah warga yang mendukung pembatasan senjata terus meningkat akibat berulangnya penembakan massal, tapi kekuatan lobi ini jauh lebih kuat. Lobi, kedekatan dan uang membuat banyak anggota Kongres yang akhirnya meloloskan keserakahan mereka. Padahal, setiap saat nyawa warga AS terancam ‘orang gila’ yang bisa memuntahkan senjata semi-otomatis pada mereka, dimana saja dan kapan saja.

Jangan lupa, beginilah demokrasi. Siapa saja bisa melobi eksekutif dan legislatif bahkan yudikatif untuk meloloskan kepentingan mereka. Ada yang sah secara hukum, namun banyak lobi dan kucuran uang yang tak terlacak. Jadi, ketika ada yang mengatakan kalau hanya demokrasi di Indonesia yang bermasalah karena banyak pejabat terkena OTT dan dibui, itu keliru besar. Demokrasi di negara-negara besar seperti AS juga sarat dengan politik uang, hanya saja mereka lebih rapi memainkannya. Sulit untuk dilacak.
Bahkan untuk suatu kebijakan yang membahayakan nyawa rakyat sendiri, eksekutif dan legislatif tega membela kepentingan kaum industrialis untuk menjadi kekuatan oligarki. Beginilah demokrasi yang menjamin kebebasan kepemilikan/bisnis dan kebebasan kepribadian seperti bersenjata. Negara bahkan tak bisa membatasi warganya memiliki senjata. Sad but true.

Oleh: Ustaz  Iwan Januar 
Direktur Siyasah Institute

Referensi: https://www.iwanjanuar.com/dua-pelajaran-dari-penembakan-massal-di-as-kapitalisme-dan-monster-pembunuh/

Rabu, 08 Juni 2022

Penembakan Massal di AS, Tanda Masyarakat Sakit


Tinta Media - Selama sebulan terakhir, di AS telah terjadi 4 kali penembakan di tempat publik. Pertama, seorang pria melepaskan tembakan ke sebuah super market di Buffalo, New York, AS. Dalam insiden ini, 10 orang tewas dan 3 lainnya mengalami luka. Penembakan tersebut bermotif rasisme. Kedua, pada hari Minggu, 17 April 2022 dini hari terjadi penembakan di sebuah kelab malam Hampton Country. Ketiga, di Pittsburgh, di sebuah rumah yang sedang mengadakan pesta. Keempat, di gereja Presbyearn di kota Laguna Woods, Los Angeles pada Minggu, 5 Mei 2022.

Rentetan kasus penembakan dalam kurun satu bulan yang terjadi di AS tersebut bukanlah hal baru, tetapi merupakan kasus yang berulang dan sudah sering terjadi. Sampai saat ini, kasus tersebut belum menemukan solusi. 

Tidak dimungkiri, memang tidak ada larangan bagi masyarakat di AS untuk memiliki senjata api. Kebebasan ini diatur dan dilindungi secara konstitusional karena dianggap sebagai upaya perlindungan dan penjagaan diri dari penjahat bersenjata. 

Akan tetapi, kebebasan tersebut justru menjadi bumerang bagi mereka karena memunculkan tindak kejahatan lain. Hal ini menjadi masalah besar di AS dan menjadi bukti bahwa masyarakat AS adalah masyarakat yang sakit.

Kalau kita cermati, ide kebebasan individu yang dianut oleh AS sebagai sebuah negara adidaya yang mengemban ideologi kapitalis, telah memunculkan berbagai problematika kehidupan di tengah masyarakat. Salah satunya adalah kasus-kasus penembakan brutal yang kian marak tersebut. 

Kebebasan yang merupakan turunan dari paham sekularisme, telah menempatkan akal dan hawa nafsu manusia sebagai standar hukum dalam mengatur kehidupan. Dengan segala kelemahan yang dimiliki manusia, aturan yang dihasilkan merupakan aturan yang rusak dan merusak, baik untuk individu ataupun interaksi di antara mereka, sehingga merusak masyarakat secara keseluruhan. 

Inilah sistem kapitalis-sekular yang memisahkan agama dari kehidupan serta berasaskan manfaat dan materi semata. Sistem ini mengusung paham liberalisme, yaitu paham kebebasan yang mengutamakan kebebasan individu. Inilah yang membuat manusia bebas melakukan apa pun sesuai dengan kehendak dan keinginan mereka, dengan dalih HAM.

Salah satunya adalah kebebasan kepemilikan senjata api yang masih dipertahankan. Ini disebabkan karena adanya kepentingan industri senjata milik para koorporasi yang tidak ingin kehilangan konsumen. Negara tidak dapat bertindak karena kendali dari para korporat ini. 

Dari sini, tampak jelas bahwa penerapan sistem kapitalis bukanlah untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk para koorporasi, sekalipun harus merugikan rakyat banyak. Inilah hakikat dari kapitalisme. Karena itu, paham ini tidak layak dijadikan sebagai ideologi yang diterapkan untuk kehidupan manusia, termasuk bagi kaum muslimin. 

Ketika negara gagal memberikan solusi atas problematika warganya sendiri, maka kerusakan akan terus berlanjut ke generasi berikutnya, bahkan dapat menyebar ke berbagai belahan dunia karena paham ini disebarkan oleh AS ke seluruh dunia.

Kaum muslimin telah memiliki dien yang sempurna dan paripurna, untuk diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan, bukan hanya untuk umat Islam, tetapi juga bagi umat manusia seluruhnya. Hal ini karena Islam merupakan rahmat bagi seluruh alam, sebagaimana firman Allah Swt, yang artinya:

"Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), kecuali untuk (menjadi) rahkat bagi seluruh alam." (QS. Al-Anbiya: 107 )

Juga firman-Nya, yang artinya:

"Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), kecuali untuk seluruh umat manusia."
(QS. Saba: 28)

Islam sebagai dien yang datang dari Sang Pencipta, telah dipastikan kebenarannya. Syariat Islam sudah dipastikan dapat mengatur kehidupan karena sesuai dengan fitrah manusia, dapat dibenarkan oleh akal, dan menentramkan hati. Sejarah membuktikan bahwa penerapan Islam telah memberikan kebaikan bagi kehidupan manusia, baik muslim ataupun nonmuslim. 

Dalam hal menjaga hak hidup (nyawa), Islam sangat menghargai nyawa. Syariat Islam telah mengharamkan pembunuhan, dan memberi sanksi tegas kepada pelakunya dengan qishah. 

Sanksi bagi pembunuh adalah dibunuh, atau bila wali korban memaafkan, maka wajib bagi pelaku untuk membayar diyat, sebagaimana firman Allah Swt, yang artinya: 

"Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qisas berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi, barang siapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik, dan membayar diyat (tebusan) kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan Rahmat dari tuhanmu. Barang siapa melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih." 
(Q.S Al-Baqarah: 178)

Sanksi dalam Islam bersifat jawabir yaitu sebagai penebus dosa di akhirat, dan jawazir sebagai pencegah tindak kriminal dalam masyarakat yang akan memberikan efek jera kepada para pelaku, juga kepada masyarakat yang menyaksikan pelaksanaan hukum sanksi tersebut.

Penerapan sistem Islam yang berlandaskan akidah Islam, tegak atas ketakwaan individu, masyarakat yang peduli, dan negara yang menerapkan aturan Islam. Semua ini akan menjaga kemurnian dan kebersihan masyarakat. Salah satunya adalah menjaga nyawa manusia. Hal ini tidak terdapat dalam sistem di luar Islam.

Wallahu alam bishawab

Oleh: Elah Hayani
Sahabat Tinta Media

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab