Makan Bergizi Gratis, Apakah Realistis?
Tinta Media - Salah satu alasan bahwa solusi yang ditawarkan oleh sistem kapitalis layak dianggap tidak solutif adalah karena solusi tersebut tidak mampu menyelesaikan masalah dari akarnya. Bahkan, solusi dari kapitalisme cenderung menimbulkan masalah baru.
Sebut saja salah satu program andalan presiden terpilih, Prabowo Subianto untuk memenuhi kualitas gizi anak sekolah, yakni dengan pemberian Makan Bergizi Gratis (MBG). Program MBG ini juga diharapkan dapat mendorong perbaikan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan menggerakkan ekonomi nasional.
Apakah ketiga harapan tersebut akan terealisasi ketika program MBG telah rutin berjalan? Ini bisa kita cermati dari beberapa hal berikut.
Pertama, apakah harapan untuk memenuhi kualitas gizi anak sekolah akan terwujud jika pemberian makan bergizi tersebut hanya satu kali dalam sehari? Umumnya, anak sekolah makan tiga kali sehari atau bahkan lebih. Jika yang bergizi hanya sekali dan sisanya tidak terjamin gizinya, tentu gizi anak tidak akan dapat terpenuhi kualitasnya.
Kedua, apakah harapan untuk perbaikan kualitas SDM akan terwujud hanya dengan pemberian makan bergizi gratis? Jelas tidak, karena faktor pembentuk kualitas SDM bukan sekadar dari makanan. Namun, ada banyak faktor seperti kualitas pendidikan, pergaulan, keluarga, dll. Tentu saja harapan ini juga masih jauh dari realita.
Ketiga, apakah program MBG akan mampu menggerakkan ekonomi nasional? Sudah pasti, yang diuntungkan dari berjalannya program ini tidaklah semua rakyat. Sebab, jelas yang diuntungkan hanyalah perusahaan-perusahaan terpilih sebagai pemasok bahan baku. Jadi, yang banyak diuntungkan tetaplah korporasi. Yang bergerak bukanlah ekonomi rakyat, melainkan hanya berputar pada segelintir orang saja.
Selain mustahil bahwa ketiga harapan tersebut terwujud dari program MBG, program ini juga berpotensi membuka celah korupsi. Dana yang turun bisa disalahgunakan atau beberapa bagian dimasukkan ke kantong pribadi oknum yang memiliki kesempatan menyalahgunakan wewenang.
Begitulah paradigma hidup dalam sistem kapitalis. Solusi yang ditawarkan tidak akan mampu menyelesaikan permasalahan dari akarnya hingga tuntas. Bahkan, solusi tersebut bisa menimbulkan masalah baru. Program MBG ini ibaratnya merupakan solusi tambal sulam ala kapitalisme dalam menyelesaikan problem generasi, khususnya kesehatan/kecukupan gizi.
Solusi kapitalisme jauh berbeda dengan Islam. Dalam Islam, tak perlu ada program khusus dalam bidang kesehatan maupun pemenuhan pangan, karena kedua hal tersebut merupakan kebutuhan dasar rakyat yang wajib dipenuhi oleh negara. Sebab, peran negara dalam Islam adalah sebagai pengurus dan perisai rakyat. Bukan sekadar untuk anak sekolah, tetapi negara wajib menjamin pemenuhan kebutuhan pokok bagi seluruh rakyat. Negara juga menjamin bahwa makanan yang dimakan oleh rakyat merupakan makanan halal dan tayyib (baik).
Kepemimpinan dalam Islam tegak atas landasan keimanan terhadap Allah Swt. Dengan begitu, pemimpin negara akan melaksanakan tugas sesuai dengan perintah Allah, yakni syariat Islam. Mereka menyadari bahwa Allah akan meminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.
Penerapan Islam secara kaffah, salah satunya dengan sistem ekonomi Islam akan menjamin terwujudnya kesejahteraan melalui tercapainya ketahanan pangan dan kedaulatan pangan. Semua itu akan terwujud karena negara Islam memiliki banyak sumber pemasukan negara yang dimanfaatkan untuk kesejahteraan seluruh rakyat, bukan untuk dinikmati para pejabat.
Sumber-sumber pendapatan tersebut dikelola oleh pegawai-pegawai yang amanah. Tidak boleh ada harta rakyat atau milik umum yang dikelola oleh swasta, apalagi asing. Semua kekayaan negara dikelola sendiri dan hasilnya dipergunakan untuk kepentingan rakyat.
Hasil dari sistem pendidikan Islam melahirkan orang-orang yang kuat iman dan bersikap amanah. Ketika menjadi pejabat negara, mereka akan melaksanakan amanah sesuai wewenangnya dan tidak akan memperkaya diri sendiri.
Begitulah ketika Islam diterapkan secara menyeluruh dalam seluruh bidang kehidupan, maka kesejahteraan rakyat dan keimanan kolektif akan terwujud. Tak heran, semua bertugas sesuai dengan amanahnya tanpa menzalimi yang lain. Wallahu a'lam.
Oleh: Wida Nusaibah
(Pemerhati Kebijakan Publik)