LBH Pelita Umat: Pejabat yang Hilang Etika dan Rasa Malu, Cenderung Koruptif
Tinta Media - Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan, S.H., M.H, menuturkan, pejabat yang kehilangan etika dan rasa malu, dalam menjalankan kekuasaan akan cenderung berperilaku koruptif.
"Etika di atas hukum. Hilang etika, maka akan hilang rasa malu. Hilang etika dan rasa malu dalam menjalankan kekuasaan akan cenderung menjadi perilaku koruptif terhadap kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki," ujarnya dalam tulisan di akun Instagram @ChandraPurnaIrawan, Rabu (14/2/2024).
Ia mengutip adagium yang cukup terkenal oleh Lord Acton yang berkata, "power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely" (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut)."
"Pejabat negara dan penegak hukum yang menjalankan kekuasaan dan kewenangan tanpa kontrol etika, dikhawatirkan akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat," ungkapnya.
Menurutnya, ini akan menghasilkan pembangkangan publik yang dapat berakibat runtuhnya atau bubarnya negara.
"Sejarah telah mencatat banyaknya negara yang bubar akibat perilaku pejabatnya yang tidak memiliki etika dan malu," simpulnya.
Ia menilai, politik sebagai seni menggunakan kekuasaan. Karena kekuasaan politik itu harus diberikan kepada orang-orang bijak atau orang-orang yang punya etika moral yang baik. "Penggunaan kekuasaan tepat dan tidaknya, bergantung dari siapa yang memegang kekuasaan," ujarnya.
Chandra mengungkap, para pendukung moral-etis menjadikan ini tolak ukur persoalan kebangsaan. Bahkan moral politikus yang pada kenyataannya berkorelasi dengan persoalan kemiskinan yang sedang dihadapi rakyat Indonesia. "Moral dan mental politisi yang korup berkontribusi pada kemiskinan rakyat," tegasnya.
Chandra menyitir sindiran dari seorang Filosof Immanuel Kant, ada dua watak binatang terselip di setiap insan politik; merpati dan ular. Politisi memiliki watak merpati yang lembut dan penuh kemuliaan dalam memperjuangkan idealisme. Tetapi, ia juga punya watak ular yang licik dan jahat, serta selalu berupaya memangsa merpati.
Celakanya sesalnya, yang sering menonjol adalah “sisi ular” ketimbang watak “merpati”-nya. Metafora sang filosof yang normatif dan simbolik itu sudah menjadi pengetahuan umum, ketika berbicara soal etika politik.
"Bahkan ekstremitas watak politisi pun diasosiasikan dengan “watak binatang”," pungkasnya.[] Muhammad Nur