Tinta Media: km 50
Tampilkan postingan dengan label km 50. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label km 50. Tampilkan semua postingan

Selasa, 30 Agustus 2022

Kapolri Janjikan Peristiwa KM 50 Dibuka Kembali, AK: Sangat Normatif

Tinta Media - Janji Kapolri Jenderal (pol) Listyo Sigit Prabowo soal peristiwa KM 50 dapat dibuka kembali sepanjang ada novum, dikritik  oleh  Ketua Persaudaraan  Advokat dan Umat (KPAU) Ahmad  Khozinudin (AK) sebagai pernyataan yang sangat normatif.
 
“Menurut hemat saya  pernyataan Kapolri itu sangat normatif. Semestinya, Kapolri bukan hanya menyatakan 'apabila ada novum baru' melainkan 'kami akan mencari dan mengumpulkan bukti-bukti baru' untuk mengugkap kembali peristiwa pembantaian KM 50,” ungkapnya dalam diskusi Pusat Kajian & Analisis Data: Audit Sargassus Sambo, Buka Km 50, Kamis (25/8/2022) melalui kanal Youtube  PKAD.
 
AK mengatakan, memang benar, novum yang disampaikan Kapolri ini bisa dalam dua pengertian, “Pertama, novum dalam pengertian bukti baru yang dapat digunakan untuk mengajukan peninjauan kembali (PK). Untuk novum dalam pengertian ini, tentu menunggu kasus KM 50 berkekuatan hukum tetap. Sementara, saat ini kasusnya baru dalam tahap Kasasi,” ujarnya.
 
Sebagaimana diketahui, jelas AK, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam kasus KM 50 sedang menempuh upaya Kasasi. Sebelumnya JPU menuntut dua terdakwa KM 50 yakni Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda M Yusmin Ohorella dengan pidana penjara selama 6 tahun. Akan tetapi Majelis Hakim memvonis lepas (Onslag) dengan dalih alasan pembenar dan pemaaf.
 
“Kedua, novum dalam pengertian akan melakukan penyelidikan dan penyidikan ulang saat ditemukan fakta baru (novum) yang membuat konstruksi hukum peristiwa KM 50 berbeda 180° dari peristiwa sebelumnya,” terangnya.

Bukti Baru
 
AK membeberkan, kalau peristiwa sebelumnya adalah peristiwa tembak menembak yang dilatarbelakangi kegiatan penguntitan pada rombongan pengajian HRS. Dalam peristiwa tembak menembak inilah, 6 laskar FPI dibunuh aparat polisi dengan alasan melaksanakan perintah jabatan dan kondisi pembelaan terpaksa.
 
“Kalau ditemukan novum, bukti baru yang menerangkan tidak ada peristiwa tembak menembak, tidak ada pembelaan terpaksa, dan motivnya adalah menghabisi HRS dan karena gagal akhirnya aparat geram dan menghabisi 6 laskar FPI sebagai pelampiasan, ada penyiksaan sebelum akhirnya ditembak mati, atau kalau ada novum baik berupa pengakuan saksi yang ada di TKP, bukti rekaman penyiksaan dan penembakan, dan sejumlah lokasi napak tilas pembantaian 6 laskar FPI, tentu saja Kapolri harus melakukan penyidikan ulang. Kasus ini kasus baru, berbeda sama sekali dengan kasus KM 50 yang sedang bergulir di Majelis Kasasi,” urai AK menjelaskan berbagai kemungkinan.
 
Pertanyaanya, lanjut AK,  bagaimana cara untuk menemukan novum ini , agar kasus KM 50 dapat dibongkar ulang ?
 
Dua Kegiatan

AK lalu mengusulkan Kapolri melakukan dua kegiatan untuk mendapatkan novum tersebut, yaitu : “Pertama, Kapolri dapat mencari dan menemukan novum dengan melakukan audit terhadap Satgasus Merah Putih Pimpinan Ferdy Sambo yang belum lama ini justru dibubarkan,” sarannya.  
 
Melalui audit inilah, kata AK, Kapolri dapat mengetahui apakah kegiatan Satgasus yang menjalankan fungsi dan tugas penyelidikan dan penyidikan atas atensi pimpinan, apakah termasuk didalamnya terlibat dalam kegiatan penguntitan KM 50 yang berujung dengan pembantaian 6 laskar FPI.
 
“Melalui audit ini, Satgasus dapat diperiksa seluruh kegiatannya, baik yang telah, sedang dan direncanakan akan dilakukan. Melalui pemeriksaan seluruh anggota Satgasus, diharapkan ada peran 'Bharada E' dalam kasus KM 50 saat audit Satgasus,” imbuhnya.
 
AK mengingatkan, kasus pembunuhan Brigadir J ini awalnya terungkap karena ada pengakuan Bharada E. Andai saja Bharada E atau Richard Elizer Pudihang tidak mengakui cerita sesungguhnya, bahwa tidak ada tembak menembak, niscaya Ferdy Sambo tidak akan menjadi tersangka dan kasus pembunuhan Brigadir J tetap gelap selamanya.
 
“Peristiwa KM 50 memiliki konstruksi hukum yang 'gelap' sama seperti konstruksi hukum 'tembak menembak' dalam kasus pembunuhan Brigadir J. Andai saja, cerita tembak menembak dalam kasus Brigadir J tetap dipertahankan, maka kasus Brigadir J ini akan selamanya gelap,” bandingnya
 
Menurut AK, kasus KM 50 juga gelap karena dianggap terjadi tembak menembak. Padahal, 6 laskar FPI tidak memiliki senjata, korban hanya ada di pihak 6 laskar, TKP KM 50 dimusnahkan, CCTV 'dirusak', 6 laskar dituduh menyerang aparat sehingga meskipun sudah menjadi mayat tetap bergelar Tersangka (walau akhirnya di SP3 berdasarkan pasal 77 KUHP).
 
“Nah, melalui audit Satgasus merah putih inilah, Kapolri bisa mendapatkan novum dan membongkar ulang pembantaian KM 50. Itu kalau kapolri serius dengan janjinya,” harapnya.  

AK kecewa,  alih-alih melakukan audit Satgasus, Kapolri justru membubarkan Satgasus. Bukankah, ini sama saja menghilangkan potensi didapatkannya novum dalam kasus KM 50?
 
“Kedua, Kapolri dapat menemukan novum pembantaian KM 50 dengan melakukan pendalaman pada fakta putusan kasus Habib Bahar Bin Smith. Menurut Aziz Yanuar selaku Penasehat Hukum, terdapat fakta persidangan yang berbeda antara klaim terdakwa KM 50 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan keterangan ahli dokter forensik yang bersaksi di Pengadilan Negeri Bandung dalam kasus Habib Bahar Bin Smith,” ungkapnya.
 
Apalagi, lanjutnya, dokter forensik tersebut juga mengakui ada kesalahan prosedur dalam proses otopsi 6 laskar FPI. Lagipula, sejak konferensi pers Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Fadil Imran, sudah banyak kejanggalan penanganan perkara KM 50 seperti dengan melibatkan Mayjen TNI Dudung Abdurahman. Padahal, kasus ini adalah kasus pidana biasa, tidak ada hubungannya dengan isu pertahanan dan keamanan yang menjadi tupoksi TNI.
 
“Dalam hal ini, Kapolri dapat mengundang Aziz Yanuar dan keluarga korban KM 50, untuk didengar keterangannya seputar adanya kejanggalan-kejanggalan tersebut. Termasuk dapat membentuk Tim Khusus untuk mengkaji fakta putusan Habib Bahar Bin Smith karena ada substansi fakta 6 laskar FPI yang berbeda dengan keputusan hakim yang menjerat Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda M Yusmin Ohorella,” bebernya.
 
Alhasil,  simpul AK, jika dua kegiatan ini dilakukan Kapolri, yakni melakukan audit terhadap Satgasus dan membentuk Timsus untuk menelaah fakta putusan Habib Bahar Bin Smith, maka publik dapat memberikan kepercayaan kepada Kapolri soal janji akan membongkar ulang peristiwa KM 50.
 
“Namun, jika dua kegiatan ini tidak dilakukan, maka 'Janji soal Novum' dalam kasus KM 50 yang diungkapkan Kapolri di Komisi III DPR RI sulit dipercaya publik sebagai komitmen yang jujur, akan dianggap hanya bualan, hanya lip service semata,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun

MENAKAR KESERIUSAN JANJI KAPOLRI AKAN MENGUSUT ULANG PEMBANTAIAN 6 LASKAR FP1 DALAM PERISTIWA KM 50

"Namun demikian, apabila ada novum baru, tentunya kami juga akan memproses, tentunya kami akan terus mengikuti perkembangan penanganan kasus yang ada, karena saat ini akan masuk pada tahapan kasasi. Jadi kami menunggu itu,"

[Kapolri Jenderal (pol) Listyo Sigit Prabowo, 24 Agustus 2022]

Tinta Media - Saat gelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPR RI bersama Kapolri (24/8), Kapolri Jenderal (pol) Listyo Sigit Prabowo sempat menjanjikan soal peristiwa KM 50 dapat dibuka kembali sepanjang ada novum. Hal itu disampaikan Kapolri saat menanggapi pertanyaan dari Komisi III DPR RI.

Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian & Analisis Data (PKAD) pada Kamis (25/8), penulis sempat mengiritik statement Kapolri tersebut karena menurut hemat penulis pernyataan Kapolri itu sangat normatif. Semestinya, Kapolri bukan hanya menyatakan 'apabila ada novum baru' melainkan 'kami akan mencari dan mengumpulkan bukti-bukti baru' untuk mengugkap kembali peristiwa pembantaian KM 50.

Anggota DPR juga tidak jeli, hanya menerima jawaban Kapolri begitu saja. Semestinya, janji kapolri ini diperdalam dengan pertanyaan-pertanyaan tajam. 

Misalnya, upaya apa yang akan Bapak Kapolri tempuh untuk mendapatkan novum baru itu ? Bagaimana mekanisme novum yang ditemukan, agar menjadi bagian dari proses 'bongkar ulang' peristiwa KM 50 ? Apakah Pak Kapolri juga akan menempuh dengan membentuk Tim Sus dan Itsus sebagaimana Bapak lakukan dalam kasus Brigadir J ? apakah Bapak juga akan menggunakan pendekatan 'Saintic Crime Investigation' sebagaimana metode ini digunakan dalam kasus pembunuhan Brigadir J ? dan masih banyak pertanyaan pertanyaan pendalaman lainnya.

Memang benar, novum yang disampaikan Kapolri ini bisa dalam dua pengertian :

*Pertama,* novum dalam pengertian bukti baru yang dapat digunakan untuk mengajukan peninjauan kembali (PK). Untuk novum dalam pengertian ini, tentu menunggu kasus KM 50 berkekuatan hukum tetap. Sementara, saat ini kasusnya baru dalam tahap Kasasi. 

Sebagaimana diketahui, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam kasus KM 50 sedang menempuh upaya Kasasi. Sebelumnya JPU menuntut dua terdakwa KM 50 yakni Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda M Yusmin Ohorella dengan pidana penjara selama 6 tahun. Akan tetapi Majelis Hakim memvonis lepas (Onslag) dengan dalih alasan pembenar dan pemaaf.

*Kedua,* novum dalam pengertian akan melakukan penyelidikan dan penyidikan ulang saat ditemukan fakta baru (novum) yang membuat konstruksi hukum peristiwa KM 50 berbeda 180° dari peristiwa sebelumnya.

Kalau peristiwa sebelumnya adalah peristiwa tembak menembak yang dilatarbelakangi kegiatan penguntitan pada rombongan pengajian HRS. Dalam peristiwa tembak menembak inilah, 6 laskar FPI dibunuh aparat polisi dengan alasan melaksanakan perintah jabatan dan kondisi pembelaan terpaksa. 

Kalau ditemukan novum, bukti baru yang menerangkan tidak ada peristiwa tembak menembak, tidak ada pembelaan terpaksa, dan motivnya adalah menghabisi HRS dan karena gagal akhirnya aparat geram dan menghabisi 6 laskar FPI sebagai pelampiasan, ada penyiksaan sebelum akhirnya ditembak mati.

Kalau ada novum baik berupa pengakuan saksi yang ada di TKP, bukti rekaman penyiksaan dan penembakan, dan sejumlah lokasi napak tilas pembantaian 6 laskar FPI, tentu saja Kapolri harus melakukan penyidikan ulang. Kasus ini kasus baru, berbeda sama sekali dengan kasus KM 50 yang sedang bergulir di Majelis Kasasi.

Namun, bagaimanakah cara untuk menemukan novum ini ? agar kasus KM 50 dapat dibongkar ulang ?

Dalam hal ini, penulis dalam diskusi PKAD mengusulkan Kapolri melakukan dua kegiatan untuk mendapatkan novum tersebut, yaitu :

*Pertama,* Kapolri dapat mencari dan menemukan novum dengan melakukan audit terhadap Satgasus Merah Putih Pimpinan Ferdy Sambo yang belum lama ini justru dibubarkan. Melalui audit inilah, Kapolri dapat mengetahui apakah kegiatan Satgasus yang menjalankan fungsi dan tugas penyelidikan dan penyidikan atas atensi pimpinan, apakah termasuk didalamnya terlibat dalam kegiatan penguntitan KM 50 yang berujung dengan pembantaian 6 laskar FPI.

Melalui audit ini, Satgasus dapat diperiksa seluruh kegiatannya, baik yang telah, sedang dan direncanakan akan dilakukan. Melalui pemeriksaan seluruh anggota Satgasus, diharapkan ada peran 'Bharada E' dalam kasus KM 50 saat audit Satgasus.

Ingat, kasus pembunuhan Brigadir J ini awalnya terungkap karena ada pengakuan Bharada E. Andai saja Bharada E atau Richard Elizer Pudihang tidak mengakui cerita sesungguhnya, bahwa tidak ada tembak menembak, niscaya Ferdy Sambo tidak akan menjadi tersangka dan kasus pembunuhan Brigadir J tetap gelap selamanya.

Peristiwa KM 50 memiliki konstruksi hukum yang 'gelap' sama seperti konstruksi hukum 'tembak menembak' dalam kasus pembunuhan Brigadir J. Andai saja, cerita tembak menembak dalam kasus Brigadir J tetap dipertahankan, maka kasus Brigadir J ini akan selamanya gelap.

Kasus KM 50 juga gelap karena dianggap terjadi tembak menembak. Padahal, 6 laskar FPI tidak memiliki senjata, korban hanya ada di pihak 6 laskar, TKP KM 50 dimusnahkan, CCTV 'dirusak', 6 laskar dituduh menyerang aparat sehingga meskipun sudah menjadi mayat tetap bergelar Tersangka (walau akhirnya di SP3 berdasarkan pasal 77 KUHP).

Nah, melalui audit Satgasus merah putih inilah, Kapolri bisa mendapatkan novum dan membongkar ulang pembantaian KM 50. Itu kalau kapolri serius dengan janjinya. 

Namun, alih-alih melakukan audit Satgasus, Kapolri justru membubarkan Satgasus. Bukankah, ini sama saja menghilangkan potensi didapatkannya novum dalam kasus KM 50 ?

Kedua, Kapolri dapat menemukan novum pembantaian KM 50 dengan melakukan pendalaman pada fakta putusan kasus Habib Bahar Bin Smith. Menurut Aziz Yanuar selaku Penasehat Hukum, terdapat fakta persidangan yang berbeda antara klaim terdakwa KM 50 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan keterangan ahli dokter forensik yang bersaksi di Pengadilan Negeri Bandung dalam kasus Habib Bahar Bin Smith.

Apalagi, dokter forensik tersebut juga mengakui ada kesalahan prosedur dalam proses otopsi 6 laskar FPI. Lagipula, sejak konferensi pers Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Fadil Imran, sudah banyak kejanggalan penanganan perkara KM 50 seperti dengan melibatkan Mayjen TNI Dudung Abdurahman. Padahal, kasus ini adalah kasus pidana biasa, tidak ada hubungannya dengan isu pertahanan dan keamanan yang menjadi tupoksi TNI.

Dalam hal ini, Kapolri dapat mengundang Aziz Yanuar dan keluarga korban KM 50, untuk didengar keterangannya seputar adanya kejanggalan-kejanggalan tersebut. Termasuk dapat membentuk Tim Khusus untuk mengkaji fakta putusan Habib Bahar Bin Smith karena ada substansi fakta 6 laskar FPI yang berbeda dengan keputusan hakim yang menjerat Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda M Yusmin Ohorella.

Alhasil, jika dua kegiatan ini dilakukan Kapolri, yakni melakukan audit terhadap Satgasus dan membentuk Timsus untuk menelaah fakta putusan Habib Bahar Bin Smith, maka publik dapat memberikan kepercayaan kepada Kapolri soal janji akan membongkar ulang peristiwa KM 50. Namun, jika dua kegiatan ini tidak dilakukan, maka 'Janji soal Novum' dalam kasus KM 50 yang diungkapkan Kapolri di Komisi III DPR RI sulit dipercaya publik sebagai komitmen yang jujur, akan dianggap hanya bualan, hanya lip service semata. [].

Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Direktur AK 47

https://heylink.me/AK_Channel/

Senin, 22 Agustus 2022

TUNTUTAN REFORMASI POLRI, BERSIHKAN POLRI DARI UNSUR MAFIYOSO SAMBO

Tinta Media - Ahad sore (21/8), penulis berkesempatan berdiskusi bersama sejumlah nara sumber, yang diselenggarakan PKAD. Seperti biasanya, Cak Slamet menjadi hostnya. Diantara nara sumber yang hadir ada Prof Suteki, Dr. Refly Harun dan Wartawan Senior Asyari Usman.

Para pembicara, secara umum setuju harus ada reformasi besar-besaran di tubuh Polri, meskipun dengan argumen dan rincian pendapat yang beragam. Prinsipnya, kasus pembunuhan berencana dan Obstruction of Justice yang dilakukan Geng Sambo mengkonfirmasi adanya penumpukan kekuasaan sekaligus penyalahgunaan wewenang di tubuh Polri.

Memang benar, ada juga soal filosofi Polri yang semestinya alat negara bukan alat penguasa, petugas sipil bukan lembaga militer, yang menjadikan praktik penyalahgunaan wewenang yang berujung tindakan zalim Polri, juga perlu dievaluasi. Bahkan, secara ketatanegaraan Dr. Refly Harun menyatakan reformasi Polri pada akhirnya harus dimulai dengan melakukan amandemen konstitusi. Menurutnya, ada desain yang keliru sejak awal dimana fungsi pertahanan dan keamanan dijalankan oleh TNI POLRI. Seolah, Polri juga mengambil peran militer. Padahal, sejatinya Polri murni mengemban peran dan fungsi sipil, menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan bukan alat perang.

Prof. Suteki menegaskan pandangannya soal wacana pembubaran Mabes Polri. Ide ini sempat membuat berang Prof. Hermawan Sulistiyo, tim ahli penasehat Kapolri.

Asyari Usman juga punya pandangan yang sama. Bahkan, selama di Inggris, Asyari punya pengalaman bagaimana desain Polri yang dicukupkan melalui Polda dan Polres dapat dilakukan dan tidak mengganggu upaya menjalankan fungsi kepolisian.

Tetapi jika dicermati, ide Prof. Suteki sebenarnya adalah ide biasa, bukan barang baru dan telah diadopsi beberapa negara. Artinya, ide membubarkan Mabes Polri dan mendelegasikan keseluruhan tugas dan fungsi Polri ke Polda dan Polres itu adalah ide yang eksekusiable.

Desain institusi Polri -dengan istilah yang penulis sederhanakan- berdasarkan pandangan Prof Suteki ada 3 (tiga), yaitu :

Pertama, desain sentralisasi kekuasaan Polri. Inilah yang diterapkan di indonesia sehingga kekuasaan Polri Power Full, dan akhirnya disalahgunakan.

Kedua, desain desentralisasi Polri seperti yang diterapkan di Amerika.

Ketiga, desain kombinasi, sebagian ada diwewenang pusat (mabes), sebagian ada di daerah (Polda dan Polres), seperti yang dipraktikan di Jepang.

Penulis sendiri mencoba menyampaikan desain posisi Polri dalam struktur ketatanegaraan berdasarkan fungsinya. Polri semestinya menjalankan fungsi menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, melakukan penegakan hukum. Sementara fungsi pertahanan dan keamanan negara harus diserahkan kepada militer (TNI). 

Karena itu, harus ada upaya demiliterisasi Polri. Agar Polri menjadi aparat yang humanis dan merakyat, tidak kasar apalagi bengis dan zalim.

Adapun desain Polisi dalam sistem Khilafah sebagaimana termaktub dalam kitab Azizah ad Daulah Khilafah (Struktur Ketatanegaraan Daulah Khilafah), posisi polisi atau Syurtoh ada dibawah departemen keamanan dalam negeri (al Amnu ad Dakhili).

Ada 13 struktur di dalam Negara Khilafah, yaitu 1. Khalifah, 2. Muawin Tafwidz, 3. Muawin Tandidz, 4. Wali, 5. al Jihad, 6. Amirul Jihad (Departemen Perang), 7. Keamanan Dalam Negeri, 8. Urusan Luar Negeri, 9. Peradilan, 10. Struktur Administrasi (Kemaslahatan Umum), 11. Baitul Mal, 12. Penerangan dan 13. Amirul Jihad.

Jadi, polisi ada di bawah struktur ke-7 yakni di bawah Departemen Keamanan Dalam Negeri. Tugas utama departemen ini adalah menjaga keamanan dalam negeri bagi Negara.

Beberapa kejahatan yang mengganggu keamanan dalam negara ditangani departemen ini, seperti Murtad dari Islam dan Bughat. Lalu perompakan/begal  (Hirabah), pencurian, perampasan, penggelapan (korupsi), gangguan terhadap jiwa masyarakat seperti memukul, pencederaan hingga pembunuhan, juga menangani gangguan terhadap kehormatan melalui publikasi tuduhan zina.

Secara umum tugas Polisi adalah mencegah sekaligus menegakkan hukum atas adanya pelanggaran terhadap Hudud, Qisos diyat, Ta'jier dan Mukholafah. Inilah, desain fungsi polisi dalam sistem Khilafah.

Selanjutnya, ada perbedaan fungsi dan struktur kelembagaan polisi (Syurtoh). Secara struktur, polisi ada dibawah departemen keamanan dalam negeri yang dipimpin seorang Syurtoh (mirip Kapolri). Secara fungsi, polisi menjalankan fungsinya dibawah kendali dan supervisi Wali selaku penguasa di Daerah (mirip Pemda).

Kembali ke Kasus Ferdy Sambo. Memang benar, idealnya kasus ini harus menjadi momentum untuk melakukan reformasi besar-besaran di tubuh Polri. Reformasi ini bertujuan untuk mengembalikan fungsi Polri, menghilangkan penumpukan kewenangan, dan tentu saja melakukan demiliterisasi Polri. Dan untuk tujuan tersebut, penulis sependapat kiranya pandangan Prof. Suteki dan Dr. Refly Harun untuk dijadikan agenda lanjutan, dalam rangka mendesain polisi ideal di masa depan.

Namun, ada hal yang juga urgen dilakukan dan dapat segera dilakukan oleh Kapolri tanpa menunggu proses reformasi dan restrukturisasi institusi Polri. Yakni, menuntaskan kasus kejahatan pembunuhan berencana dan Obstruction of Justice yang dilakukan Geng Sambo. Di titik ini, Kapolri punya tugas jangka pendek yang harus segera dilakukan, yakni melakukan pembersihan institusi Polri dari unsur mafia Sambo. [].

Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Direktur AK 47 (Advokasi Keumatan 47)

https://youtu.be/iRyVTa0YCC0



Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab