Ketergantungan Impor Menjelang Lebaran Kian Menggila
Tinta Media - Kebutuhan untuk konsumsi di Bulan Ramadan dan menjelang Lebaran tentu dirasakan berbeda oleh setiap orang, termasuk masyarakat Indonesia yang beragama Islam. Kebutuhan konsumsi mengalami peningkatan yang pesat dan tentu hal ini tidak bisa dipisahkan dari masyarakat di bulan mulia ini.
Impor untuk kebutuhan konsumsi memang mengalami lonjakan yang cukup tajam, apalagi menjelang Ramadan serta Idul Fitri 2024. Kenaikan permintaan barang konsumsi sebenarnya terjadi, baik secara bulanan maupun tahunan.
Untuk memenuhi ketersediaan pangan dalam negeri, Perum Bulog menargetkan distribusi beras stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) hingga ke pasar ritel modern, pasar tradisional, gerakan pangan murah yang bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat dan operasi pasar di seluruh Indonesia. Bahkan, perum bulog menargetkan distribusi sebanyak 250 ribu ton untuk Maret 2024 hingga Hari Raya dari stock 1,1 juta ton di seluruh Indonesia yang kini sudah mencapai 70% dari yang diharapkan.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa impor kebutuhan konsumsi per bulan Februari 2024 saja sebanyak US$ 1,86 miliar atau naik 5,11% dibandingkan dengan bulan Januari 2023. Hal ini dipicu oleh kenaikan impor beras sebesar 970.000 ton dari Thailand dan Kamboja. Tentu hal ini termasuk carry over sebesar 500.000 ton dari 2023. Tak hanya itu, adanya impor sebesar 93% secara volume dan bahkan secara nilai telah mengalami kenaikan sebanyak 148,63% khusus periode Januari-Februari 2024 saja.
Tak hanya itu, impor bawang putih juga mengalami kenaikan sebanyak 374,20% secara volume, dan naik 357,01% secara harga. Impor Gandum, mesin atau peralatan mekanis dan bagiannya, kendaraan dan bagiannya, dan mesin atau perlengkapan elektrik serta bagiannya, komoditas pangan juga mengalami peningkatan. (CNBC Indonesia, 19/3/2024)
Kepala Badan Pangan Nasional menginformasikan bahwa akan ada impor daging dan sapi hidup dalam waktu 2 - 3 minggu. PT RNI Persero Frans Marganda Tambunan juga melakukan impor sapi dari Australia sebanyak 2.350 ekor untuk memenuhi kebutuhan daging sapi Lebaran 2024. Sebanyak 145.250,60 ton sapi harus dicukupi dalam satu tahun, baik dari negara Australia, Amerika Serikat, dan New Zealand.
Bukanlah lebaran terjadi setiap tahun? Faktor diberlakukan impor adalah karena iklim dan cuaca, konversi lahan pertanian, pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi, serta adanya kenaikan kebutuhan konsumsi yang meningkat menjelang Ramadan dan Lebaran sehingga dikhawatirkan akan terjadi kelangkaan kebutuhan konsumsi, serta kenaikan harga barang yang melambung tinggi.
Selama ini, kebijakan impor selalu diambil untuk menstabilkan kondisi pangan. Impor adalah kebijakan terakhir untuk memenuhi stok cadangan pangan dalam negeri. Saking seringnya dipakai, tentu sudah tidak asing dengan kata "impor" karena dipandang pemerintah sebagai solusi kelangkaan pangan yang cepat, praktis, serta mudah.
Bukankah seharusnya peningkatan kebutuhan sudah bisa diprediksi dan diantisipasi mengingat Lebaran dan Ramadan terjadi setiap tahun? Harusnya ini sudah dipikirkan mengingat selalu ada ketergantungan pada impor yang dapat mengancam kedaulatan negara.
Indonesia yang terkenal sebagai negara agraris tentu berpotensi menjadi negara yang memiliki kemandirian pangan tanpa memilih impor sebagai jalan keluar setiap tahunnya. Namun, hal ini tentu membutuhkan keberanian, kemampuan, dan dana yang besar di awal. Tentu saja dibutuhkan keseriusan pemerintah untuk mewujudkannya.
Indonesia menerapkan sistem kapitalis neoliberal dalam mengelola ketersediaan pangan dalam negeri. Ini secara otomatis memaksa Indonesia untuk terlibat dalam perdagangan pasar bebas. Alhasil, pasar asing begitu gampang masuk ke Indonesia. Karena itu, impor menjadi jalan keluar, tak peduli akan adanya ketergantungan di masa mendatang. Sekalipun terlihat cepat, praktis, dan mudah, impor memiliki bahaya, yaitu dapat mengancam kedaulatan negara.
Selain adanya ketergantungan, hal ini akan berdampak semakin parah pada para peternak dan petani lokal karena harga yang tidak akan pernah bisa stabil. Ini akan membuat rakyat terus merugi. Yang ada hanya orang-orang bermodal besar yang bisa menguasai pasar karena bisa bekerja sama dengan pemerintah untuk ketersediaan pangan dan memainkan harga sesuka hatinya. Sehingga tak akan ada kesejahteraan para penduduk dalam negeri sejatinya.
Negara harus mencari solusi agar menjadi negara mandiri. Sistem hari ini, yaitu kapitalisme membuat negara tidak bisa untuk mandiri.
Hal ini tentu berbeda dengan Islam yang mewajibkan negara bersikap mandiri, termasuk dalam masalah pangan. Berbagai upaya akan dilakukan oleh negara secara maksimal, termasuk dalam membangun infrastruktur berkualitas, melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian dan peternakan, juga berinovasi meningkatkan teknologi tepat guna dan berkemampuan tinggi.
Islam mewajibkan negara untuk memberikan kesejahteraan yang sebenarnya, termasuk memberikan subsidi pada rakyat yang membutuhkan bantuan, seperti para petani dan peternak yang kurang modal atau tidak memiliki modal.
Negara Islam mampu mensupport rakyatnya karena memiliki sumber dana yang banyak dan beragam, serta terjamin keamanannya dengan penerapan sistem ekonom Islam.
Untuk menjadi negara yang mandiri, dibutuhkan sistem Islam untuk mengatur dengan aturan Allah di setiap lini kehidupan agar tercipta kesejahteraan yang hakiki. Wallahualam bissawab.
Oleh: Wilda Nusva Lilasari S.M
Sahabat Tinta Media