Tinta Media: kepentingan
Tampilkan postingan dengan label kepentingan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kepentingan. Tampilkan semua postingan

Selasa, 20 Februari 2024

IJM: Perubahan Tergantung Kepentingan Pragmatis



Tinta Media - Direktur Indonesia Justice Monitor  (IJM) Agung Wisnuwardana menyatakan bahwa perubahan tergantung kepentingan pragmatis. 

"Semua perubahan ini semata tergantung kepentingan pragmatis alias apa kepentingan kekinian yang diharapkan," tuturnya dalam video: Otak Atik Angka? Kamis (15/2/2024) di kanal Youtube Justice Monitor. 

Menurutnya, permainan politik seperti ini sebetulnya sangat lumrah. “Sistem demokrasi, sistem yang tegak di atas asas sekularisme ini sama sekali tidak mengenal Tuhan, apalagi konsep halal haram. Apa pun boleh dilakukan demi meraih kekuasaan. Legalitas sebuah tindakan pun diatur dengan kekuatan uang,” jelasnya. 

Pemilihan kepemimpinan dalam sistem ini, terangnya, sejatinya hanya kamuflase atas prinsip daulat rakyat yang diagung-agungkan secara periodik. 

"Rakyat seakan diberi hak politik, padahal sejatinya yang tampil sebagai pemenang tetap saja para pemilik uang, pemilik modal," imbuhnya. 

Ia melanjutkan,  tidak heran ketika pemilu usai, rakyat pun ditinggalkan. “Triliunan uang yang dihambur-hamburkan untuk pesta lima tahunan akhirnya hanya menyisakan penderitaan panjang. Termasuk melahirkan budaya koruptif dan perpecahan yang diwajarkan," kritiknya. 

Menurutnya, banyak kebijakan yang ditetapkan penguasa pilihan rakyat berselisih jalan dengan keinginan rakyatnya. 

“Kebijakan politik yang dilahirkan para penguasa yang konon menjadi representatif rakyat, nyatanya hanya representasi kepentingan politik,” kritiknya. 

Hubungan penguasa dan pemilik uang dalam demokrasi, sambungnya,  memang tidak bisa dipisahkan. Keduanya menjadi hubungan saling menguntungkan demi kursi panas kekuasaan yang berkelindan dengan target menambah akumulasi modal. 

"Oleh karenanya suara rakyat suara Tuhan yang disucikan pun menjadi mantra manis yang bisa mengelabui," tambahnya. 

Ia mengatakan, Steven Levistky dan Daniel Ziblatt dari Harvard University pernah menulis buku How Democracies Die, yang menjelaskan bahwa demokrasi akan mati di tangan penguasa yang dipilih melalui jalur demokrasi itu sendiri. Yakni, ucapnya, ketika mulai menolak nilai-nilai toleransi dan menampakkan perilaku otoritarianisme sebagaimana yang justru tampak saat ini. 

"Sayangnya, sebagian orang tidak sampai pada kesimpulan bahwa demokrasi memang akan benar-benar mati karena cacat bawaannya sendiri," tandasnya. 

Ia menilai, demokrasi tegak di atas asas yang rusak dan senyatanya telah melahirkan sebagai aturan yang juga rusak dan merusak. 

“Pengetahuan atas cacatnya sistem yang ada tentu tidak akan berdampak apa pun jika tidak dilanjutkan dengan perjuangan untuk mengubah keadaan. Bersikap fatalis, jelas bukan karakter seorang muslim,” ucapnya sembari membacakan surat Ar-Ra’du ayat 11. 

Ia menegaskan, arah perubahan tidak boleh lagi hanya fokus pada perubahan orang melainkan harus mengarah pada perubahan sistem dan kepemimpinan dengan meneladani Rasulullah saw. 

Sepanjang peradaban kapitalisme berkuasa di bumi, lambat laun dunia berjalan ke jurang kehancuran yang makin dalam. Semoga kita sadari dan terus melangkah untuk melakukan perubahan sistem dan juga perubahan orang," pungkasnya.[] Ajira

Kamis, 15 Februari 2024

Anggaran Pemilu 2024 untuk Kepentingan Rakyat?



Tinta Media - Kementerian Keuangan telah mengalokasikan anggaran hingga Rp 71,3 triliun untuk Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Anggaran ini telah diberikan sejak 20 bulan sebelum hari H pemilu, yaitu mulai tahun 2022 sampai dengan 2024, dengan rincian Rp 3,1 triliun pada 2022, Rp 30,0 triliun pada 2023, dan Rp 38,2 triliun pada 2024. Diakses dari https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis

Pada hakikatnya pemilu itu dari pajak rakyat dan untuk kebaikan rakyat karena 80 % APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) adalah dari pajak. Ukuran kebaikan salah satunya adalah tingkat kesejahteraan rakyat yang terus naik, kalau terjadi pergantian pemimpin saat pemilu. Fakta menunjukkan pergantian pemimpin sejak zaman Indonesia merdeka hutang Indonesia tahun 1945 sekitar Rp 50 triliun lebih, sampai saat ini 2024 sudah mencapai Rp 6.235,95 triliun adalah fakta yang tidak terbantahkan. Lalu efektifkah anggaran pemilu yang dari rakyat, yang konon katanya untuk kebaikan rakyat, justru hutang yang makin besar bukan makin turun, apalagi biaya pemilu dibebankan kepada rakyat juga? 

Aktivitas pemilu itu menjadi penting tidak penting tergantung persepsi dari mana ukuran kacamata kepentingan  melihatnya. Dalam kaca mata oligarki, kekuasaan itu menjadi sangat penting karena pemilu menjadi agenda penentu sikap seorang pengusaha yang mengincar jadi penguasa, untuk melanggengkan usahanya seperti kata calon presiden saat itu, “ketika menjadi oposisi usahanya mandek”. Dari kaca mata kesejahteraan rakyat tentu ini hanya menghabiskan anggaran karena salah satu ukuran kesejahteraan rakyat adalah negara tidak punya hutang sehingga beban pajak berkurang, faktanya hutang negara semakin besar sejak era pak Soekarno sampai era pak Jokowi. 

Bagaimana sudut pandang Islam? Islam melihat tugas pemimpin adalah mengurusi kepentingan umat. Pemilu adalah salah satu cara bukan satu-satunya cara untuk memilih pemimpin. Fokusnya  adalah bagaimana pemimpin itu mau menjalankan syariah Islam untuk menyejahterakan rakyat, bukan hanya fokus siapa orang yang memimpin. Maka Islam memberikan cara selain pemilu ketika ingin memilih pemimpin. Maka anggaran besar itu menjadi tidak penting atau bahkan tidak diperlukan. Karena amanah memimpin adalah amanah menjalankan syariat Islam, bukan malah menjalankan mandat pengusaha. Maka pemilihan pemimpin atau wakil rakyat adalah akad rakyat kepada penguasa untuk menjalankan mandat kekuasaan yang menerapkan syariah Islam. 

Seperti halnya ketika baginda Nabi Saw meninggal maka mandat kepemimpinan diserahkan kepada para sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq RA , apakah lewat pemilu seperti saat ini? Apakah perlu biaya besar seperti saat ini? Jawabannya tidak. Ketika sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq RA diangkat menjadi khalifah cukup dipilih oleh  ahlu halli wal ‘aqdi (Ulama, sesepuh, serta pemuka Masyarakat yang menjadi unsur-unsur yang berusaha mewujudkan kemaslahatan). Maka kaum muslimin tinggal melaksanakan baiat (sumpah) taat kepada khalifah (pemimpin). Karena yang terpenting bagi kaum muslimin seorang pemimpin melaksanakan hukum syariah Islam yang insya Allah bisa menyejahterakan rakyat, tidak seperti sekarang sistem demokrasi bahwa pemilu adalah kewajiban yang harus dijalankan untuk pergantian pemimpin yang konon katanya untuk Indonesia lebih baik. 

Maka prosedur praktis pengangkatan dan pembaiatan khalifah (Pemimpin) seperti yang dijelaskan oleh syekh Taqiyuddin An-Nabhani, “Dari penelitian terhadap peristiwa yang terjadi dalam pengangkatan khilafah itu, kami mendapati bahwa Sebagian kaum muslim telah berdiskusi di Saqifah Bani Saidah. Mereka yang dicalonkan adalah Saad, Abu Ubaidah, Umar, dan Abu bakar. Hanya saja Umar bin al-Khatob dan Abu Ubaidah tidak rela menjadi pesaing Abu Bakar dan Saad bin Ubadah saja, bukan yang lain. Dari hasil diskusi itu dibaiatlah  (sumpah) Abu bakar. Kemudian pada hari kedua, kaum muslim diundang ke Masjid Nabawi, lalu mereka membaiat Abu Bakar di sana. Dengan demikian, baiat di Saqifah adalah baiat (sumpah) in’iqod. Dengan itulah Abu Bakar menjadi khalifah (pemimpin) kaum muslim. Sementara itu, baiat (sumpah) di Masjid pada hari kedua merupakan baiat (sumpah) taat”.(An-nabhani 1426 : 45) Maka proses pemilihan pemimpin zaman para Sahabat RA sangat efisien tidak menghamburkan uang rakyat. 

Maka Islam memberikan solusi selain , ketika negara mengalami krisis kepanjangan ataupun hutang yang tidak sedikit, karena salah satu tolak ukur kesejahteraan masyarakat adalah ketika negara tidak punya hutang untuk membiayai rakyatnya. Islam memiliki seperangkat aturan yang menyeluruh dalam semua lini kehidupan manusia. Karena Islam telah sempurna dalam segala hal. Jika ada masalah dalam kehidupan manusia, pada hakikatnya karena manusia tidak kembali kepada Islam, manusia justru mencari solusi lain selain Islam untuk menyelesaikan masalah yang terjadi. Cukuplah firman Allah Swt. sebagai fondasi dalam diri manusia. 

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al-Maidah ayat 3) 

  

Oleh: Aris Mayhendra
Aktivis Islam Karawang

Minggu, 14 Januari 2024

FWIS: Ada Tiga Kepentingan AS di Timur Tengah



Tinta Media - Direktur Forum World on Islamic Studies (FWIS) Farid Wadjdi menyebut, ada tiga kepentingan Amerika Serikat (AS) di Timur-Tengah. 

"Kalau kita lihat krisis yang terjadi di Timur-Tengah jelas tidak bisa dilepaskan dari intervensi negara-negara barat terutama AS. Bagi AS ada tiga kepentingan mereka di Timur Tengah," ujarnya di Kabar Petang : Berani Tantang AS, Siapa Houthi? Di kanal Youtube Khilafah News, Senin (8/1/2024). 

Pertama, sebutnya, mengendalikan minyak dunia, melalui kontrol terhadap minyak di Timur-Tengah. “Kedua, menjaga entitas penjajah Yahudi Zionis yang digunakan untuk kepentingan negara-negara barat di Timur-Tengah,” jelasnya. 

Ketiga, ungkapnya, menjaga kemunculan kekuatan politik Islam di Timur-Tengah. "Ini suatu hal yang sangat dijaga AS," pungkasnya.[] Setiyawan Dwi

Jumat, 05 Januari 2024

Mengapa AS Rela Bantu Zionis Y4hudi? Ini Penjelasannya....



Tinta Media - Analis Geopolitical Institute Dr. Hasbi Aswar menjelaskan,  ada kepentingan jangka panjang Amerika Serikat (AS) hingga rela membantu Zionis Y4hudi. 

"Kepentingan jangka panjangnya apa? Khususnya dalam Isr4el ini, dalam perang ini, yaitu jangan sampai kelompok-kelompok Islam itu menang melawan Isr4el dan kemudian kemenangannya itu menginspirasi gerakan-gerakan politik Islam Timur Tengah untuk melakukan perlawanan dan pada akhirnya merugikan kepentingan politik dan ekonomi Amerika Serikat," tuturnya di Kabar Petang: Kampanye 'Abandon Biden', Kegagalan Serius Demokrasi , di kanal Youtube Khilafah News,  Senin (1/1/24). 

Hasbi menyesalkan, hanya karena mempertahankan kepentingan itu, AS  tidak peduli moralitas dan kritikan dari warganya. 

"Tidak peduli lagi dengan dukungan masyarakat atau tidak, yang penting, kepentingan negara mereka (AS) terlebih  kepentingan ekonomi," pungkasnya.[] Setiyawan Dwi

Rabu, 13 Desember 2023

Bahaya Nasionalisme Mematikan Humanisme




Tinta Media - Dunia tengah digemparkan dengan tragedi yang menimpa negeri Palestina belakangan ini. Hampir dua bulan sudah kaum muslimin Palestina dibantai secara keji oleh Zionis Yahudi. Sekitar puluhan ribu korban syahid. Ribuan di antaranya adalah bayi/anak-anak dan perempuan. Puluhan ribu lainnya terluka parah. Semua akibat puluhan ribu ton bom yang dijatuhkan oleh Zionis Yahudi, khususnya di Gaza. Selain korban jiwa, ratusan gedung runtuh dan rata dengan tanah. Bahkan, sejumlah rumah sakit pun tidak lepas dari sasaran bom Zionis Yahudi.

Beginilah bentuk hilangnya hati Zionis Yahudi. Rasa kemanusiaan tidak lagi mereka miliki. Mereka sudah seperti binatang. Bahkan, lebih kejam dari binatang yang paling buas sekalipun. Semua infrastruktur dibom tanpa terkecuali, seperti instalasi listrik dan air yang amat vital bagi kebutuhan dasar rakyat Palestina.

Penyerangan yang dilakukan oleh Zionis Yahudi kepada Palestina pun menyita banyak perhatian dan dukungan, baik dalam bentuk donasi obat-obatan, makanan, ataupun minuman, adanya aksi bela Palestina yang dilakukan oleh berbagai penjuru negeri, boikot produk, sampai kepada postingan mengenai simbol semangka yang memilki kombinasi warna menyerupai bendera Palestina. 

Namun, apakah semua bentuk dukungan tersebut cukup untuk membebaskan Palestina dari serangan ganas para tentara Zionis? 

Kepentingan Penjajah Global

PBB yang diharapkan menjadi lembaga perdamaian dunia pun tidak bisa berbuat apa-apa. Ketika beberapa negara mengeluarkan resolusi terkait Palestina, PBB justru memfasilitasi AS sebagai negara penjajah yang kerap kali mengeluarkan veto. Padahal, AS selalu setia di belakang dan mendukung Zionis Yahudi, serta aktivitas penjajahannya.

Melihat politik luar negeri AS, negara adidaya itu jelas memiliki kepentingan di balik penjajahan Zionis Yahudi di Palestina dan Timur Tengah. AS mendudukkan Zionis Yahudi di wilayah Timur Tengah dengan tujuan agar politik Islam tidak segera bangkit di sana. Walhasil, AS akan selalu menyokong, mendukung, dan membela apa pun yang dilakukan Zionis Yahudi.

Kalaupun PBB menyarankan adanya identitas dua negara di Palestina ataupun adanya gencatan senjata, itu adalah pilihan yang menguntungkan Zionis Yahudi dan tidak menjadikan solusi apa pun bagi Palestina dengan kondisi wilayah yang makin menyempit.

Belenggu Nasionalisme 

Para penguasa dan rezim di negeri-negeri muslim saat ini dinodai dan dikotori oleh penyakit busuk nasionalisme dan politik negara bangsa. Penyakit inilah yang membuat mereka melihat muslim di beberapa negeri seperti  Palestina, India, Kashmir, dan negeri-negeri lain seolah jauh dari perbatasan nasional mereka sendiri. Mereka dianggap sebagai warga negara asing di negeri asing daripada saudara-saudara mereka sendiri. 

Semua ini mengabaikan firman Allah Swt. yang artinya,

“Sesungguhnya, orang-orang mukmin itu adalah bersaudara.” (QS Al-Hujurat 49: 10)

Padahal, Allah Swt. di dalam Al-Qur’an berfirman, 

“(Tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, kamu wajib memberikan pertolongan.” (QS Al-Anfal 8: 72). 

"Perumpamaan sesama kaum mukminin dalam menjaga hubungan kasih sayang dan kebersamaan adalah seperti satu tubuh, jika satu anggota merasakan sakit, maka akan membuat seluruh tubuhnya terjaga dan merasakan demam." (HR Muslim No. 2586)

Penyakit nasionalisme yang membuat mereka memandang penderitaan umat Islam di negeri lain sebagai masalah asing yang tidak ada hubungannya dengan mereka. Penyakit ini membuat mereka berdiri diam dan lumpuh di tengah genosida yang terjadi. Dukungan yang harus diberikan adalah dalam bentuk jihad.

Apa yang bisa kita harapkan untuk membebaskan Palestina dari penjajahan Zionis Yahudi? Bagaimana dengaan negeri-negeri muslim lainnya, seperti Rohingya, Kazakhstan, Afganistan, dan sebagainya?

Tentu kita menyaksikan bahwa demokrasi kapitalisme tidak akan pernah mampu melindungi umat Islam dari kekejaman penjajahan Barat! Seharusnya, seorang muslim tahu bahwa jika ada satu negeri muslim yang diserang dan diduduki oleh kafir, hukumnya adalah fardu ain bagi penduduk negeri itu untuk berjihad. Jika mereka tidak mampu, wajibnya jihad dibebankan kepada penduduk di negeri terdekat. Dalam hal ini yang paling wajib setelah penduduk Gaza adalah kaum muslimo dan tentaranya di wilayah Mesir, Turki, Arab Saudi, bahkan hingga Indonesia.

Sebab, pasukan militer tidak bisa dihadapi kecuali dengan pasukan militer juga. Hanya dengan kekuatan militer, pendudukan bisa dihentikan. Oleh karenanya, para pemimpin negeri muslim harus mengerahkan pasukan untuk mengusir Zionis Yahudi. Ini karena permasalahan Palestina tidak akan bisa berakhir kecuali oleh kaum muslim sendiri.

Upaya menyerahkan masalah Palestina kepada dunia internasional sama saja dengan membuka jalan bagi penjajahan kaum kafir dan makin mengukuhkan eksistensi Zionis Yahudi. Hal ini sangat bertentangan dengan firman Allah Swt. yang artinya, 

“Allah tidak akan pernah memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (QS An-Nisa’ [4]: 141)

Solusi Hakiki

Hadirnya Khilafah akan menjadi solusi hakiki bagi Palestina dan kaum muslimin. Penjajahan, penganiayaan, penyiksaan, dan kezaliman yang dibuat musuh-musuh Islam akan sirna dengan adanya Khilafah. Buktinya, saat ini negeri-negeri Islam seakan tidak berdaya melawan Barat.

Karena itu, umat dan negeri-negeri Islam harus bersatu dalam satu kekuatan, satu ikatan, dan satu kepemimpinan dalam naungan satu negara, yakni Khilafah. 

“Wahai manusia, ingatlah, Tuhan kalian satu. Bapak kalian juga satu. Ingatlah, tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas non-Arab, juga bagi orang non-Arab atas orang Arab, dan tidak ada keutamaan bagi orang berkulit merah atas kulit hitam, juga bagi orang berkulit hitam atas kulit merah, kecuali karena ketakwaannya. “ (HR Ahmad)

Lantas, apa yang harus dilakukan saat ini? 

Pertama, dakwah harus dilakukan dengan menyadarkan pemikiran umat bahwa menjauhkan Islam dari kehidupan (sekularisme) tidak akan menjadikan kita sebagai umat terbaik, malah menjadi umat terpuruk dan terbelakang di segala lini kehidupan.
 
Dakwah juga harus memberikan penyadaran terhadap umat tentang bahaya nasionalisme yang tertanam pada diri kaum muslimin dan  para pemimpin.

Kedua, segala daya dan upaya diberikan untuk menyuarakan fakta dan kebenaran yang sesungguhnya bahwa akar masalah Palestina adalah penjajahan Zionis Yahudi dan nestapa umat tanpa Khilafah. Maka, dakwah harus digencarkan, baik di dunia nyata maupun maya.

Ketiga, menyeru para penguasa muslim untuk kembali pada tanggung jawabnya sebagai pemimpin yang mengurusi urusan rakyat, termasuk menolong saudara seiman di mana pun berada. 

Jadilah penolong-penolong agama Allah Swt., sebagaimana kaum Anshar yang menolong dakwah Rasulullah ﷺ dengan kekuatan dan kekuasaan mereka.
Dengan demikian, seruan dakwah agar terwujud Khilafah harus semakin digemuruhkan, agar permasalahan Palestina dapat segera berakhir dengan penyatuan seluruh kaum muslimin di dunia.

Oleh: Moja Rosita Hasugian Sihotang, S.I.Kom 
(Aktivis Dakwah)

Jumat, 24 November 2023

UIY: Hukum Dimainkan untuk Kepentingan Politik


 
Tinta Media – Cendekiawan Muslim Ustadz Ismail Yusanto (UIY) menilai bahwa hukum dimainkan untuk kepentingan politik.
 
“Hukum seperti dimainkan untuk kepentingan politik, bahwa orang bisa selamat jika masih inline dengan kekuasaan, dengan rezim, sehingga orang yang memilih jalan yang bertentangan dengan penguasa harus berpikir sekian kali,” ungkapnya, di Focus To The Point: Pejabat Hukum, Guru Besar Hukum, Terjerat Korupsi, Ada Apa? Melalui kanal Youtube UIY Official, Senin (20/11/2023).
 
Meski demikian UIY mengingatkan, orang yang inline dengan kekuasaan cepat atau lambat dia akan menjadi pesakitan.
 
 “Seperti yang kita sudah lihat pada Menteri Pertanian, kemudian Menteri Komunikasi dan Informatika. Itu semua menunjukkan bahwa penegakan hukum itu secara teoritik untuk keadilan, tapi dalam faktanya untuk kekuasaan,” jelasnya.
 
Ia mengulas, ketika hukum itu ditegakkan bukan di atas prinsip keadilan, tapi atas dasar kekuasaan, maka yang terjadi adalah like and dislike (suka atau tidak suka).
 
“Like and dislike ini bukan benar salah, tetapi suka atau tidak suka. Kalau suka atau tidak suka, maka yang salah bisa menjadi benar, yang benar bisa menjadi salah. Ini akan menjungkirbalikkan hukum yang semakin menjauhkan dari prinsip keadilan. Ketika keadilan hilang, yang ada ketidakadilan,” bebernya.
 
Ketika ketidakadilan merajalela, lanjutnya, akan memperkuat adagium might is right (yang punya kuasa itulah yang benar), bukan right is might. “Itu satu langkah menuju hukum rimba,” tukasnya.
 
Ia menilai, biasanya ketika sudah tidak punya kekuasaan, orang akan menjadi pesakitan, kecuali memberikan kompensasi besar berupa uang pelicin atau sogokan yang besar.
 
“Akibatnya, dia berpikir kalau korupsi yang besar sekalian. Di situ kita melihat bahwa akhirnya yang dirugikan adalah negara, bangsa, dan rakyat. Rakyat dihisap pajaknya sampai yang kecil-kecil, sementara uang pajak yang begitu besarnya dikorup oleh mereka-mereka yang berpikiran koruptif, jahat,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun.
               
 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab