Tinta Media: keibuan
Tampilkan postingan dengan label keibuan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label keibuan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 10 Maret 2024

Kapitalisme Mematikan Naluri Keibuan


Tinta Media - Masyarakat hari ini tengah dilanda krisis di berbagai aspek kehidupan. Kemiskinan, kebodohan, kezaliman, kerusakan moral, ketidakadilan, tindakan kriminal, dan berbagai macam masalah sosial tengah menjerat kehidupan masyarakat saat ini. Kehidupan yang cukup sulit, dengan kondisi keimanan yang lemah, akan mudah mendorong terjadinya tindak kejahatan di tengah masyarakat. 

Seperti kasus yang baru-baru ini terjadi. Dikutip dari Beritasatu.com (23/2/3024), jajaran Polrestro Jakarta Barat mengungkap modus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) bayi, yang melibatkan tiga orang, termasuk ibu kandung di kawasan Tambora, Jakarta Barat. 

Kasus ini terungkap ketika tersangka yang berstatus ibu kandung bayi melapor telah kehilangan bayinya pasca melahirkan. Setelah didalami kasusnya, terungkap bahwa sebenarnya telah terjadi kesempatan antara ibu kandung bayi dengan pelaku untuk menyerahkan bayinya dengan imbalan uang. Akan tetapi, karena imbalan tak kunjung dilunasi, ibu kandung bayi ini melapor ke pihak kepolisian. 

Faktor Ekonomi

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menyebut bahwa orang tua yang menjual bayinya, umumnya berasal dari keluarga dengan taraf ekonomi rendah. Ini sebagaimana yang disampaikan pelaku bahwa keterbatasan biaya persalinan berujung terjadi kesepakatan penyerahan bayi dengan imbalan uang. 

Kejadian ini tentu sangat disayangkan. Krisis ekonomi yang berujung kemiskinan ternyata bisa mematikan naluri keibuan. Terimpit dalam kemiskinan memang berpeluang terjadi tindak kejahatan. 

Di sisi lain, orang-orang yang tak bertanggung jawab justru memanfaatkan kondisi ini sebagai ladang usaha untuk meraih keuntungan. Para pelaku akan menyasar para korban yang rentan secara ekonomi dengan iming-iming imbalan dengan jumlah yang tak seberapa. 

Kejadian semacam ini seharusnya menjadi cambuk bagi penguasa negeri ini, karena mengindikasikan bahwa negara telah gagal mengurus dan menjamin kesejahteraan bagi rakyat. Ini adalah aib bagi negara. Namun, adakah negara malu akan aib ini? Atau negara justru lempar tanggung jawab dengan mengambinghitamkan pihak lain? 

Akibat Penerapan Kapitalis Sekuler

Masalah kemiskinan masih menjadi problem serius negeri ini. Dari data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Indonesia mengalami penurunan. Pada Maret 2023 persentase penduduk miskin mencapai sebesar 9,46% atau 25,9 juta orang. Persentase ini turun 0,18 dari Maret 2022.

Akan tetapi, jika mengacu pada model perhitungan garis kemiskinan oleh Bank Dunia melalui ukuran PPP yang baru, dikutip dari (CNBC Indonesia, 10/5/2023), garis kemiskinan ekstrem menjadi US$ 2,15 per orang per hari atau 32,745 per hari yang sebelumnya diangka US$ 1,90. Untuk kelas menengah ke bawah, naik menjadi Rp55,590 dan untuk menengah ke atas naik menjadi Rp104.325 per-hari. Maka dengan PPP baru ini, persentase kemiskinan di Indonesia bisa mencapai 40%.

Tingginya persentase kemiskinan di Indonesia tak terlepas dari penerapan sistem kapitalis hari ini yang membebaskan kepemilikan kepada individu untuk menguasai apa-apa yang menjadi hajat orang banyak selama mereka punya modal. Walhasil, para pemodallah yang menguasai sebagian besar aset-aset negara yang seharusnya dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat. 

Apa yang terjadi? Yang kaya semakin kaya. Dengan kekayaannya, ia bisa membeli apa pun, termasuk kekuasaan. Maka tak heran, yang terjadi hari ini adalah politik transaksi antar pengusaha dan penguasa, bukan politik mengurus urusan rakyat. Yang miskin, tersebab kelemahan dan keterbatasannya akan semakin miskin. 

Mewujudkan Kesejahteraan adalah Kewajiban Negara

Politik dalam Islam adalah untuk mengurus urusan rakyat, memastikan agar rakyat hidup dalam kesejahteraan dan tidak membedakan kaya maupun miskin. 

Rasulullah saw. bersabda: "Seorang imam (pemimpin) adalah bagaikan penggembala, dan dia akan dimintai pertanggung jawaban atas gembalanya." (HR. Bukhari)

Negara tidak sebatas regulator, tetapi benar-benar hadir di tengah rakyat untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar.  

Islam telah menetapkan sumber-sumber pendapatan bagi negara juga hak-hak kepemilikan. Dengan begitu, negara dapat memastikan kebutuhan tiap-tiap individu terpenuhi. Islam mewajibkan bagi setiap laki-laki yang mampu bekerja untuk bekerja karena di pundaknya dibebankan nafkah keluarga. Negara juga akan memberikan sanksi kepada laki-laki yang mampu bekerja, tetapi enggan untuk bekerja. Namun sebelum itu, negara sudah memberikan berbagai akses untuk memastikan tanggung jawab nafkah itu bisa dipenuhi, misalnya dengan menyediakan lapangan kerja atau memberikan modal untuk usaha. 

Pada kasus-kasus tertentu, negara hadir untuk memenuhi segala kebutuhan rakyat. Misalnya, seorang janda yang ditinggal mati suaminya, sementara tidak ada perwalian yang bertanggung jawab, maka dia menjadi tanggung jawab negara. 

Selain itu, negara  juga akan memberikan pelayanan gratis untuk kesehatan, keamanan, dan pendidikan. Dengan begitu, tidak ada anak putus sekolah. Kurikulum pendidikan yang diterapkan negara adalah kurikulum Islam dengan tujuan yang jelas. Sehingga output dari pendidikan menjadikan manusia yang bertakwa kepada Allah. Dengan begitu, mereka tidak akan melakukan tindakan yang menjerumuskan pada hal-hal yang haram. 

Jikapun terjadi tindak kejahatan, negara akan memberikan tindakan cepat dan sanksi tegas agar dapat memberikan efek jera dan menghapus dosa bagi pelaku. Langkah itu akan mencegah orang lain untuk melakukan tindak kejahatan serupa. 

Seperti inilah gambaran singkat negara yang berasaskan pada syariat Islam. Ini bukan khayalan belaka. Kehidupan seperti ini pernah ada secara nyata berabad-abad lamanya. Tidakkah kita rindu semua itu terulang? Ayo, berjuang! Wallahu a'lam bisshawab.

Oleh: Ayu Winarni
(Muslimah NTB) 

Senin, 04 Maret 2024

Kemiskinan Menghilangkan Naluri Keibuan dan Jadi Sasaran Kejahatan


Tinta Media - Tak dipungkiri bahwa kemiskinan bisa mengakibatkan hilangnya naluri keibuan. Dan kemiskinan juga di manfaatkan oleh sebagian orang yang ingin mendapatkan keuntungan. Seperti halnya kasus perdagangan bayi di Tambora. Kasus ini menyasar keluarga kurang mampu yang ekonominya lemah. Sehingga seorang ibu, tega menjual darah dagingnya ke pembeli demi sejumlah uang yang dijanjikan. Dan mirisnya, ada seorang ibu juga yang menjual bayinya masih dalam kandungan, karena tidak sanggup membayar proses persalinan. 

Begitu banyak terdengar kasus seperti ini di negara kita. Kondisi ini adalah buah penerapan sekularisme dan sistem ekonomi kapitalisme. Rakyat sangat membutuhkan solusi nyata dari berbagai permasalahan yang terjadi di negeri ini. Tapi sayangnya solusi yang dihadirkan kerap kali tidak tuntas sampai ke akar masalah. Hingga memunculkan masalah baru baik yang serupa ataupun masalah yang berbeda.

Solusi dari semua ini yaitu negara harus menerapkan sistem Islam kafah. Sistem ini yang akan mengatur dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satunya sistem ekonomi Islam yang menjamin kehidupan sejahtera semua bagi seluruh rakyat. Sistem ekonomi Islam yang kokoh dan mapan dengan berbagai pos pemasukan kepada negara untuk di distribusikan kepada seluruh rakyat bisa berupa pemenuhan berbagai kebutuhan dasar kehidupan rakyat ataupun tersedianya berbagai kebutuhan rakyat dengan harga yang sangat terjangkau oleh seluruh rakyat. 

Selain itu sistem pendidikan Islam yang mampu mencetak individu yang beriman dan bertakwa, sabar dalam menghadapi ujian, menjauhi kejahatan dan saling tolong menolong dalam kebaikan. Dan sistem sanksi dalam negara Islam yang tegas bisa memberikan efek jera dan menjauhkan diri dari berbagai kejahatan.

Jadi sistem Islam yang sempurna dan lengkap serta mampu menyejahterakan rakyat secara adil inilah yang sangat dibutuhkan oleh seluruh manusia dalam menjalankan kehidupannya. Sistem Islam menjamin seluruh rakyatnya hidup dalam jaminan keamanan dan ketenangan dari maraknya peluang menjadi pelaku maupun korban kejahatan apa pun motifnya baik kemiskinan maupun hal lain.
Wallahu a'lam bish shawwab


Oleh: Ummu Silmi 
Sahabat Tinta Media 

Rabu, 07 Februari 2024

Tingginya Beban Hidup Matikan Fitrah Keibuan



Tinta Media - Sering kita dengarkan  sebuah penggalan lagu, "Kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi tak harap kembali bagai sang surya menyinari dunia..." Sebuah ungkapan yang menggambarkan betapa besar kasih sayang ibu kepada anaknya. Dan sebaliknya betapa anak sangat mengagumi sosok ibunya yang penuh kasih sayang.

Tapi sungguh miris, saat ini betapa banyak kita temui ibu tega berbuat kekerasan kepada anaknya hingga berujung sampai hilangnya nyawa sang anak.

Seperti kabar dari Belitung, tepatnya di desa Membalong , seorang ibu rumah tangga berusia 38 tahun diduga membunuh dan membuang bayi yang baru lahir di kamar mandi. Kamis, 18 Januari 2024 ( Bangkapos.com ).

Alasan ibu yang tega menghabisi sendiri nyawa buah hatinya tersebut adalah karena tidak cukup biaya untuk membesarkan karena suaminya hanya seorang  buruh.
Hal serupa sebelumnya terjadi di Gunung Kidul. Seorang ibu membekap anaknya yang masih bayi hingga meninggal juga dengan alasan karena kesulitan ekonomi. Selasa, 7 November 2024 ( Radar Jogja ).

Hal apa yang bisa mematikan fitrah ibu yang seharusnya penuh cinta kasih pada anaknya? Padahal idealnya ibu yang mencintai anaknya akan menjaga anaknya selama 24 jam.
Ternyata semua fitrah keibuan itu akan padam saat seorang ibu dibenturkan dan harus menghadapi buruknya keadaan hasil dari sistem sekuler kapitalis.

Ada banyak faktor yang mempengaruhi, yakni karena lemahnya ketahanan iman, tidak berfungsinya keluarga sehingga ibu juga terbebani pemenuhan ekonomi, lemahnya kepedulian masyarakat, dan tidak adanya jaminan kesejahteraan negara atas rakyat individu per individu.

Ibu masa kini adalah ibu yang mempunyai beban berat di pundaknya. Dalam sistem demokrasi ibu harus mengorbankan waktu dengan anaknya untuk bekerja guna memenuhi kebutuhan keluarga yang semua serba mahal. Istri harus turut serta membantu suami mencari nafkah bahkan menggantikan peran suami sebagai tulang punggung keluarga.

Buah dari sebuah sistem yang tidak manusiawi, sistem yang mengesampingkan pemenuhan kebutuhan hidup umatnya. Negara tidak bisa menjadi penjaga dan pelindung bagi umatnya.

*Adakah solusi Islam untuk menyejahterakan ibu dan anak?*

Hal tersebut tentunya tidak akan pernah terjadi jika kita menerapkan sistem Islam yang diridhoi Allah Swt. dalam naungan khilafah.

Hukum asal seorang perempuan adalah : sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Perempuan merupakan kehormatan yang wajib dijaga.

Maka dalam sistem Islam tidak akan kita temui ibu yang lelah dan pusing dalam mencari nafkah. Karena sistem Islam mewajibkan negara menjamin kesejahteraan Ibu dan anak melalui berbagai mekanisme, baik jalur nafkah, dukungan masyarakat dan santunan negara.

Islam memiliki sistem ekonomi dan politik yang mampu mewujudkan kesejahteraan individu per individu, yang meniscayakan ketersediaan dana untuk mewujudkannya.
Ibu tidak harus mencari kesejahteraannya sendiri, sehingga bisa fokus menjalankan perannya dengan sebaik-baiknya sebagai ibu dan istri.

Wanita dalam Islam boleh bekerja karena untuk mengamalkan ilmu bagi kepentingan umat. Dengan catatan tanggung jawab sebagai istri dan ibu tetap terlaksana dengan baik.

Islam juga memerintahkan para ibu untuk mencari sebanyak-banyaknya tsaqofah Islam. Sebagai bekal dalam mendidik anaknya dan menjalani hidup yang diridhoi Allah swt.

Hanya dalam naungan khilafah ibu bisa fokus mencetak generasi cemerlang. Sistem ini telah terbukti bertahan sepanjang 13 abad lamanya. Dan telah menempatkan ibu dalam posisi yang sangat tinggi, karena berhasil mencetak anak-anak peradaban cemerlang yang sejarahnya telah tercatat dengan tinta emas. Sebagaimana Fatimah binti Ubaidilah Azdiyah ibunda Imam Syafi'i.

Kesejahteraan anak, ibu dan keluarga akan terwujud dalam sebuah sistem yang diridhoi Allah SWT yakni sistem Islam dalam naungan khilafah Islamiyah.

Waalahu a'lam bishawaab.

Oleh : Rahma
Sahabat Tinta Media 

Minggu, 04 Februari 2024

Faktor Beban Hidup, Mematikan Fitrah Keibuan



Tinta Media - Fitrahnya setiap ibu adalah mendambakan buah hati, apabila ibu tak kunjung hamil mereka akan ikhtiar dengan program hamil hingga bayi tabung. Tak dihiraukan lagi berapa banyak biaya yang dikeluarkan agar bisa hamil dan melahirkan anak. Namun banyak pula yang tak menginginkannya meskipun mereka hamil, justru terpaksa digugurkan atau dibunuh secara tragis. Memasuki awal tahun, berharap negeri ini baik-baik saja, sayang seribu sayang, kasus demi kasus kian terjadi. 

Akhir bulan ini digegerkan kasus ibu bunuh anak karena tidak sanggup membiayai kehidupan si bayi. Dikutip dari Bangkapos.com (23/1/24) bahwa insiden tragis di Desa Membalong, Kabupaten Belitung, seorang ibu rumah tangga berusia 38 tahun diduga membunuh dan membuang bayi yang lahir secara normal di kamar mandi. Kejadian itu terjadi pada Kamis, 18 Januari 2024, sekitar pukul 21.00 WIB. Motif dari tindakan mengerikan ini diduga terkait dengan faktor ekonomi, ibu tiga anak tersebut merasa terdesak secara finansial. 

Sistem kapitalisme secara tidak langsung sistem yang diterapkan sekarang mematikan fitrah ibu, yang seharusnya ibu itu menginginkan anak dan memiliki sifat penyayang. Tidak hanya itu, tugas ibu juga mengasuh, membesarkan serta mendidik, karena anak adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Namun fitrah keibuan kian terkikis oleh sistem kapitalisme, banyak dari ibu enggan punya anak karena khawatir dengan penghasilan keluarganya tak mencukupi kebutuhan anak karena mahalnya kebutuhan pokok dan biaya pendidikan. 

Banyak ayah yang kehilangan pekerjaannya, hasil kerja serabutan tak mencukupi kebutuhan keluarga. Sehingga sistem ini memaksa para ibu untuk kerja di luar rumah membantu perekonomian keluarga. Akhirnya anak bukan lagi menjadi takdir tapi pilihan, anak menjadi korban hidup atau mati. Na'udzubillahi mindzalik! 

Akhirnya sistem kapitalisme memberikan efek besar seperti lemahnya ketahanan iman keluarga, tidak berfungsinya peran keluarga, lemahnya kepedulian masyarakat, serta tidak ada jaminan kesejahteraan dari negara. 

Islam mempunyai aturan yang sempurna, termasuk masalah ekonomi. Ekonomi dikelola oleh negara dengan baik sehingga dapat menyejahterakan rakyat, mulai dari bahan pokok (sandang, papan dan pangan), para ayah diberikan pekerjaan dengan gaji yang setimpal sehingga ibu dengan fitrah keibuannya fokus menjadi ummu warabbatul bait dan ummu madrasatul ula. 

Visi misi akhirat dan tolok ukur halal haram diterapkan di setiap keluarga, serta masyarakat saling membantu dan mengingatkan. Negara pun bertanggungjawab atas setiap keluarga yang kurang mampu serta memberikan fasilitas pendidikan yang murah bahkan gratis untuk seluruh rakyat, semua itu hanya dapat terjadi dengan diterapkannya aturan Allah yakni Islam di muka bumi ini secara kaffah, sehingga setiap anak dijamin oleh negara dan lahirlah generasi Sholahuddin berikutnya, in syaa Allah. 

Wallahua'lam bisshawab

Oleh: Maula Riesna
Sahabat Tinta Media 

Sabtu, 03 Februari 2024

Beratnya Beban Kehidupan Merenggut Insting Keibuan



Tinta Media - Rohwana alias Wana (38 tahun), seorang ibu di Kabupaten Belitung, Bangka Belitung, tengah menjadi pembicaraan hangat di masyarakat. Rohwana ditangkap polisi karena tega membunuh dan membuang anaknya yang baru saja lahir di kamar mandi. Insiden tragis di Desa Membalong ini terjadi pada Kamis (18/01/2024) sekitar pukul 21.00 WIB.

Peristiwa ini sontak membuat semua warga terkejut, terlebih suaminya sendiri yang ternyata tidak mengetahui bahwa istrinya mengandung. 

“Anaknya dibunuh oleh ibunya kemudian dibuang ke semak-semak di salah satu kebun warga,” kata Kasat Reskrim Polres Belitung, AKP Deki Marizaldi, kepada kumparan, (Kumparan, 24/01/2024).

Berawal dari penemuan warga sekitar atas bayi laki-laki pada Jumat sore (19/1), kemudian dilanjutkan proses penyidikan. Dari hasil penyidikan tersebut diketahui bahwa perempuan yang kesehariannya bekerja sebagai buruh ini mengakui bahwa tindakan tragis yang dilakukannya diduga karena impitan ekonomi. Alasan tidak cukup biaya untuk membesarkan anak ketiga yang baru saja lahir tersebut disertai dua anak lainnya yang sudah besar dan suami yang bekerja sebagai buruh, sehingga Rohwana tega membunuh putranya. 

Akar Masalah

Kasus Filiside, kasus orang tua yang membunuh anaknya ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Banyak kasus sama yang terjadi di daerah berbeda. Banyak hal yang menyebabkan hal ini terjadi, namun yang paling muncul di permukaan adalah faktor himpitan ekonomi yang telah mengimpit masyarakat.

Seorang ibu idealnya merupakan sosok yang memiliki rasa cinta mendalam terhadap anaknya. Bagaimana mungkin tidak, sang ibu telah mengandung anak selama sembilan bulan lamanya. Selama periode tersebut, terbangun ikatan emosional antara ibu dan anak yang dikandungnya. Rasa cinta ini akan semakin menggebu ketika anak tersebut dilahirkan dan menambah keceriaan dalam lingkup keluarga. Namun, semuanya menjadi terkikis, bahkan hilang ketika tingginya beban hidup hadir dan tidak ada penyelesaiannya.

Selain faktor ekonomi yang mengimpit, faktor keimanan pun mengambil peran dalam membuat lemahnya iman, sehingga para ibu tidak dapat berpikir jernih dan gelap mata. 

Begitu pun faktor ketahanan keluarga yang seharusnya menjadi pendukung utama agar para ibu bisa menjalankan fungsi utama seorang ibu. Namun, karena desakan ekonomi, para ibu dipaksa ikut serta dalam menanggung beban ekonomi keluarga, sehingga lahirnya anak menjadi beban, bukan sebaliknya.

Di Mana Peran Negara?

Sejatinya, negara harus menjamin kesejahteraan atas setiap individu rakyat dengan membuat langkah-langkah strategis dalam hal perekonomian untuk meningkatkan kesejahteraan warga. Hal ini agar tingkat hidup rakyat menjadi lebih baik serta dapat memperkecil gap sosial, terutama dalam aspek kebutuhan dasar seperti pangan, pakaian, dan pendidikan.

Hal yang sangat penting bagi negara adalah menciptakan kesempatan kerja dan menetapkan standar gaji yang mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari rakyat. Namun, pada kenyataannya saat ini, harga barang-barang kebutuhan pokok semakin tinggi dan tidak terkontrol, sementara pendapatan tetap atau bahkan berkurang akibat pemangkasan jumlah karyawan. Hal ini sering kali mengharuskan istri untuk ikut serta bekerja guna mendukung ekonomi keluarga. 
Setelah lelah bekerja di luar, istri masih harus mengurus rumah tangga dan anak-anak.

Saad bin Abi Waqas r.a. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda,

"Dan sesungguhnya jika engkau memberikan nafkah, maka hal itu adalah sedekah, hingga suapan nasi yang engkau suapkan ke dalam mulut istrimu." (HR. Bukhari dan Muslim).

Pada dasarnya, negara bertanggung jawab sebagai penjaga utama bagi para ibu, dan mampu menumbuhkan keyakinan yang teguh dalam diri mereka agar tidak mudah putus asa ketika dihadapkan pada berbagai cobaan dan tidak hilang harapan kepada Allah Ta’ala. 

Negara juga seyogianya memiliki sistem yang efektif untuk memastikan kesejahteraan warga, termasuk para ibu. Negara juga harus menciptakan kondisi sosial yang mendukung perhatian terhadap kesehatan fisik dan mental ibu serta keselamatan janinnya.

Akan tetapi, sangat disayangkan bahwa negara sering kali gagal menjalankan perannya sebagai pelindung. Dalam kerangka demokrasi kapitalis, negara tidak berfungsi sebagai pelindung rakyat, melainkan cenderung melayani kepentingan kelompok oligarki kapitalis. 

Kebijakan yang diambil lebih sering menguntungkan para pemilik modal daripada rakyat kecil. Para pemimpin terlalu fokus pada persaingan politik untuk mempertahankan atau memperkuat posisi mereka sendiri atau keluarga mereka di pemerintahan, sementara penderitaan rakyat diabaikan tanpa upaya mencari solusi yang nyata dan berkelanjutan. Hal ini meningkatkan risiko terulangnya insiden tragis seperti ibu yang menghilangkan nyawa anaknya sendiri, dengan jumlah kasus yang dapat bertambah.

Tentu hal ini tidak dapat kita biarkan terus terjadi. Karena itu, dibutuhkan perubahan signifikan dalam struktur sosial dan pemerintahan untuk menjamin adanya perlindungan yang layak bagi para ibu.

Islam Mengembalikan Fitrah Ibu

Allah Swt. berfirman, “Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.” (QS Luqman: 14)

Begitulah Islam dalam memuliakan posisi seorang ibu. Di dalam sistem Islam, perempuan wajib dilindungi oleh negara dalam kesulitan apa pun, termasuk persoalan ekonomi. Perempuan tidak diwajibkan mencari nafkah, karena mencari nafkah adalah kewajiban pria, sehingga perempuan bisa kembali menjalankan fungsi utamanya, yakni menjadi ummu warabbatul bait, ibu rumah tangga yang akan mendidik generasi penerus bangsa.

Ini tidak berarti bahwa wanita sama sekali dilarang untuk bekerja. Wanita dapat mengambil pekerjaan yang bermanfaat bagi masyarakat, seperti menjadi guru, dokter spesialis kebidanan, perawat, pedagang, dan sebagainya, selama mereka tetap mampu menjalankan peran utama mereka. Wanita bekerja berdasarkan kebutuhan, bukan karena tekanan untuk memenuhi kewajiban yang seharusnya bukan tanggung jawab mereka.

Demikianlah pengaturan yang terdapat dalam Islam. Ajaran ini menegaskan bahwa pria dan wanita mempunyai tanggung jawab yang berbeda dalam kehidupan keluarga. Perbedaan ini bukan merupakan diskriminasi, melainkan sudah sesuai dengan ciptaan Allah. Oleh karena itu, hanya dengan penerapan sistem Islam yang sejati, fitrah wanita dapat dipulihkan sepenuhnya. 

Hanya pemimpin yang menjadikan Al-Qur'an dan Sunnah sebagai dasar nilai dan hukum yang akan mampu menjunjung tinggi kehormatan wanita, memberikan keselamatan dan perlindungan yang layak. Wallahu a’lam bishawab.


Oleh: Umma Almyra
Pegiat Literasi
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab