Tinta Media: kebutuhan
Tampilkan postingan dengan label kebutuhan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kebutuhan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 10 Maret 2024

Beras Mahal, Bagaimana Khilafah Mengelola Kebutuhan Pokok Rakyat?


Tinta Media - Masyarakat mengeluh harga beras mahal dan dijawab oleh Presiden Joko Widodo, “disebabkan oleh perubahan iklim dan cuaca yang memicu gagal panen” (Tempo. Co, pada 19 Februari 2024). Intinya menyalahkan perubahan iklim dan cuaca sebagai biang kerok (penyebab) beras mahal.

Kalau hanya bisa menyalahkan perubahan iklim dan cuaca, lalu di mana fungsi dan peran negara? Untuk apa, ada pemerintahan dengan segala jajarannya yang mengelola bidang pertanian? Seperti Menteri Pertanian, Bulog, BUMN yang ditugaskan mendukungnya seperti pabrik pupuk, dan lain sebagainya. Setidaknya itulah yang ada dalam pikiran, sebagian rakyat, ketika mendengar pernyataan Presiden Joko Widodo yang  dimuat media Tempo. Co pada 19 Februari 2024. 

Pertanyaan selanjutnya adalah benarkah naiknya harga beras yang "ugal-ugalan" itu, seperti apa yang dinyatakan oleh presiden, sebagai penyebab utamanya? Apa yang terjadi sesungguhnya? Apakah benar, produksi terganggu karena iklim? Atau apakah stok beras ditimbun oleh pengusaha-pengusaha besar untuk mencari keuntungan, di saat Ramadhan? Atau apakah stok beras di "serobot" oleh para kontestan pilpres dan pileg untuk "menyogok" pemilih, di pemilu yang lalu? Atau negara memang tidak mampu mengelola, mengatur dan mengontrol bahan pokok ini, dikarenakan kuatnya “tangan-tangan” oligarki pengusaha? Dari semua kemungkinan itu, mana jawaban yang paling mungkin sebagai penyebabnya?.

Sebelum kita membicarakan tentang beras ini lebih jauh. Maka alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu, berapa sebenarnya kebutuhan beras Indonesia?. Berdasarkan data BPS, tahun 2023 jumlah penduduk Indonesia adalah 278.700.000 jiwa. Jika keperluan beras per kapita antara 94,9 - 150 kg per tahun (kita ambil rerata 122,5 kg per kapita per tahun), maka keperluan beras adalah 34,1 juta ton per tahun. Dari data dan informasi itu maka kita akan berhitung berapa luas lahan pertanian padi yang diperlukan, untuk menghasil beras sejumlah minimal 34,1 juta ton per tahun tersebut. 

Data luas lahan pertanian padi yang dimiliki Indonesia, berdasarkan data BPS tahun 2022 adalah 10,45 juta ha, dengan produktivitas per ha 5,08 ton GKG (di bawah Vietnam 5,57 ton GKG dan tertinggi adalah Australia 10 ton GKG), dan dengan rendemen 62%. Artinya, Indonesia memiliki kemampuan memproduksi beras dalam 1 kali musim tanam adalah 32,9 juta ton. Sehingga dengan 2 kali masa tanam dalam 1 tahun akan menghasilkan 65.8 juta ton per tahun, lebih dari cukup untuk kebutuhan makan seluruh penduduk Indonesia, yang hanya memerlukan 34,1 juta ton per tahun.

Dari data BPS pula, diketahui bahwa dalam 5 tahun terakhir produksi beras Indonesia, tahun 2019 : 31,31 juta ton, tahun 2020 : 31,33 jota ton, tahun 2021: 31,36 juta ton, tahun 2022 : 31,54 juta ton dan tahun 2023 : 31,10 juta ton (turun 1.4 % dari tahun 2022). Sedangkan total impor beras dalam 6 tahun terakhir adalah tahun 2018 : 2,2 juta ton, tahun 2019 : 444,5 ribu ton, tahun 2020 : 356,2 ribu ton, tahun 2021 : 407,7 ribu ton, tahun 2022 : 429,2 ribu ton, dan tahun 2023 : 3,3 juta ton. (catatan : Angka impor tahun 2018 dan 2023 mencapai jutaan ton dan itu adalah 1 tahun menjelang pilpres).

Kalau memperhatikan data-data di atas seharusnya tidak ada permasalahan terkait dengan stok beras. Jumlah produksi beras dalam negeri ditambah impor sudah sangat aman. Tetapi mengapa selalu saja ribut terkait beras ini terutama menjelang bulan Ramadhan dan Idul Fitri, serta pada tahun-tahun politik.

Apa yang dilakukan negara?. Pemerintah telah membuat program untuk mengatasi kekisruhan seputar beras ini, baik melalui penetapan harga, operasi pasar, pendistribusian beras SPHP, hingga pembagian bantuan sosial berupa beras 10 kg per keluarga. Program-program Ini juga dibarengi kontrol dan monitoring harga yang dikerjakan satgas pangan. Namun, kenapa program ini sepertinya terkesan jalan di tempat bahkan bisa disebut “gagal”, terbukti hal ini terus berulang dan berulang.

Jika kita amati lebih dalam, terkait kebijakan pemerintah dalam upaya untuk menyelesaikan problem yang terjadi, maka terkesan penyelesaiannya hanya pada gejolak harga, sedangkan problem sebab sesungguhnya tidak tersentuh. Kebijakan yang dibuat tidak mengakhiri dan menyelesaikan secara tuntas, tetapi sekedar menahan kenaikan harga. Ditambah, banyak yang menduga kebijakan bantuan beras saat ini berkelindan dengan agenda politik praktis pada saat pemilu yang lalu. Sehingga kebijakan dibuat lebih kepada untuk kepentingan segelintir pihak, dan itu yang lebih dominan, daripada untuk menyelesaikan persoalan rakyat.

Indonesia memiliki luas lahan pertanian padi cukup luas 10,45 juta ha, jika produktivitasnya ditingkatkan, maka sudah lebih dari cukup untuk mencukupi keperluan beras di dalam negeri, tetapi kenyataannya belum bisa. Mengapa hal ini bisa terjadi?, karena petani selalu berada dalam keadaan terimpit dan “mungkin” sudah terjepit. Petani selalu mengalami problem sebab sistemik, seperti minimnya (sempit) lahan pertanian, sulitnya mendapatkan saprotan dan harga jual gabah (beras) yang tidak berpihak kepada petani. 

“Bila harga beras mahal, maka petani ikut menikmati keuntungan”, kata seorang pejabat negara. Pernyataan itu sangat tidak realistis dan cenderung “hanya” ingin berkelit dari problem yang sesungguhnya. Karena kenyataannya walaupun harga beras mahal, tetapi petani tidak bisa menikmatinya. Mengapa? Dikarenakan harga saprotan juga terus naik. Dan sepertinya ada kesan, petani sengaja “diciptakan” secara terstruktur oleh sistem ekonomi kapitalisme yang liberal untuk tetap miskin dan terpinggirkan. Jika pemerintah melihat persoalan beras ini hanya dengan sudut pandang dari tataran teknis saja. Tidak menyelesaikan problem dasarnya maka harga beras mahal dan impor beras sebagai solusi akan terus terjadi. Bahkan mungkin kondisinya justru makin hari makin buruk dan terus berulang setiap tahun. 


Dari runyamnya tata niaga (harga) beras ini menunjukkan bukti, gagalnya sistem ekonomi kapitalisme secara politik. Negara bukan bertindak sebagai penanggung jawab dan pengurus rakyat tetapi hanya hadir sebagai fasilitator dan regulator. Justru korporasilah yang mengurus berbagai urusan rakyat, dan korporasi pula yang akhirnya “suka-suka” mengatur dan mengelola ekonomi untuk mencari keuntungan semata.

Lembaga Bulog dan BUMN yang seharusnya melayani dan membantu mengurusi kebutuhan rakyat sebagai kepanjangan tangan negara, ternyata bertindak layaknya korporasi swasta yang bersaing untuk mendapatkan profit pula. Bahkan dalam sebuah dengar pendapat di DPR RI, ternyata Bulog baru mampu menampung 20% hasil panen petani dengan harga yang wajar (harga ketentuan pemerintah), dan ini berarti 80% dikuasai pengusaha. 

Sedangkan kegagalan sistem ekonomi kapitalisme pada aspek ekonomi adalah dengan paham kebebasan dan mekanisme pasar bebas, maka meniscayakan munculnya korporasi-korporasi raksasa, karena mereka memiliki modal yang sangat besar. Yang dengan kekuatan itu akhirnya seluruh aspek rantai usaha pertanian mereka kuasai (lahan, produksi, distribusi, pasar bahkan importasi). 

Maka sistem ekonomi kapitalisme yang penerapannya dibantu sistem demokrasi melahirkan oligarki pengusaha yang mengontrol (“mengendalikan”) pemerintahan yang lemah, abai, dan akhirnya gagal mengurusi rakyat. Sehingga yang mengurusi rakyat bukanlah negara tetapi “diserahkan” kepada korporasi. 

Lalu bagaimana dengan sistem ekonomi Islam dalam mengurusi kebutuhan pokok (dasar) rakyat?. Dalam sistem ekonomi Islam, pada aspek politik dinyatakan dengan tegas, bahwa negara bertanggung jawab penuh menjamin kebutuhan pokok bagi seluruh rakyat. Kepala negara yang dipegang oleh seorang khalifah menjadi penanggung jawab sekaligus pelaksana. Dan khalifah dilarang secara syar’i menyerahkan tanggung jawab dan pelaksanaannya kepada korporasi. 

Sedangkan pada aspek produksi, kebijakan pertanian yang akan dijalankan mencakup dua strategi, yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi. Kedua strategi ini diikuti dengan penerapan hukum pertanahan yang akan menjamin lahan pertanian secara optimal berproduksi, tidak ada lahan-lahan pertanian yang nganggur serta dimudahkannya kepemilikan lahan bagi para petani.

Dan pada aspek distribusi, kehadiran negara mengawasi pembeli dan penjual, akan menjamin sistem distribusi dan harga terbentuk secara wajar. Negara melarang dan melakukan penegakan hukum secara tegas dengan sanksi sesuai syari’at Islam terhadap praktik kartel, tengkulak, riba, penimbunan dan sebagainya, yang dapat mengakibatkan distribusi terganggu.

Rasulullah Saw dalam sabdanya menegaskan dengan sangat tegas : “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya”. (HR Muslim dan Ahmad),

Dalam hadits yang lain, yaitu HR Muslim, Rasulullah Saw juga menegaskan, “Khalifah itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.”.

Maka tidak ada hal yang lebih baik dan lebih sempurna dalam mengatur urusan umat manusia secara umum dan khususnya terkait kebutuhan pokok (beras) selain sistem Islam. Sehingga kewajiban menerapkan syariah Islam kaffah dalam kehidupan setiap muslim tidak bisa ditawar-tawar. Dan kehidupan seperti itu hanya bisa terlaksana jika umat Islam disatukan dengan sebuah naungan khilafah.

Wallau a’lam bishawab
Kota Raja, 6 Maret 2024


Oleh: A Darlan Bin Juhri
Aktivis Dakwah dan Konsultan Bisnis Syariah
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab