Dampak Program Cegah Kawin Anak bagi Umat Islam
Tinta Media - Belakangan ini program pencegahan perkawinan anak menjadi sorotan utama di berbagai media dan forum nasional. Isu ini kerap diangkat sebagai salah satu hambatan terbesar dalam mewujudkan generasi berkualitas.
Pernikahan anak sering kali dianggap sebagai penyebab berbagai permasalahan sosial, seperti putus sekolah, tingginya angka perceraian, kematian ibu dan bayi, serta terjadinya stunting dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Bahkan, muncul wacana untuk mengangkat remaja sebagai agen perubahan dalam upaya pencegahan pernikahan anak.
Seperti halnya pada acara Seminar Cegah Kawin Anak yang diadakan Kemenag di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Semarang, MAN 2 Semarang, dan sejumlah SMA di Semarang, Kamis (19/9/2024). Dalam kesempatan tersebut, Direktur Bina KUA dan Keluarga Sakinah, Cecep Khairul Anwar, mengungkapkan bahwa Kemenag telah mengambil sejumlah langkah untuk mencegah perkawinan anak.
Salah satunya melalui pembinaan kepada siswa-siswi madrasah untuk menjadi agen yang aktif menyebarkan kesadaran tentang risiko nikah dini, sekaligus menginspirasi teman-teman sebaya untuk menolak perkawinan di usia mereka.
Namun, di balik narasi ini, terdapat beberapa hal yang perlu dikaji lebih dalam. Meskipun tampaknya positif dalam upaya melindungi anak-anak dari berbagai risiko, perlu dipertanyakan apakah pernikahan anak benar-benar menjadi akar dari semua masalah tersebut? Ataukah kesimpulan ini justru terburu-buru dan berbahaya, sehingga menjerumuskan masyarakat dalam pemikiran yang tidak sesuai dengan aturan Islam?
Faktanya, di tengah kampanye intens untuk mencegah pernikahan anak, remaja justru dihadapkan pada derasnya arus pornografi dan kebijakan yang cenderung memfasilitasi pergaulan bebas. Menikah dini dianggap keliru, sementara pergaulan bebas seolah dibiarkan tanpa batas.
Pertanyaannya, apakah pemerintah benar-benar berkomitmen untuk melindungi generasi muda dari dampak buruk pernikahan dini, ataukah ada agenda lain yang lebih besar di balik kampanye ini?
Pencegahan perkawinan anak sejatinya merupakan amanat dari Sustainable Development Goals (SDGs), sebuah program global yang turut diadopsi oleh semua negara anggota PBB, termasuk Indonesia untuk dicapai pada 2030. Program ini jelas berpijak pada paradigma Barat yang kerap kali tidak selaras dengan syariat Islam.
Salah satu target SDGs adalah mengentaskan stunting dan menurunkan angka pernikahan anak. Hal ini tercermin dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Pemerintah menargetkan penurunan angka perkawinan anak dari 11,2% pada tahun 2018 menjadi 8,74% pada 2024.
Tidak dimungkiri bahwa kampanye ini berdampak secara signifikan terhadap angka kelahiran, khususnya dalam keluarga muslim. Jika target ini tercapai, maka akan ada penurunan jumlah generasi muslim yang lahir, yang secara tidak langsung berpotensi melemahkan kekuatan demografis umat Islam.
Di sinilah kita perlu waspada, apakah kebijakan ini benar-benar untuk melindungi anak, ataukah ada agenda tersembunyi untuk mengendalikan populasi umat Islam?
Islam, sebagai agama rahmatan lil ‘alamiin, menjaga kesejahteraan manusia secara keseluruhan di tiap aspek kehidupan. Islam memiliki aturan yang jelas dan komprehensif terkait pernikahan. Di antaranya, menurut syariat, usia baligh menandakan kesiapan fisik dan mental seseorang untuk menikah, bukan hanya sekadar angka.
Oleh karena itu, pengaturan usia minimum untuk menikah yang didasarkan pada standar Barat, tanpa mempertimbangkan aspek syariah, bisa jadi justru bertentangan dengan ajaran Islam.
Negara yang menerapkan Islam secara kaffah tentu akan menjamin terlaksananya aturan-aturan yang sesuai dengan syariat Allah. Dalam sistem Islam, berbagai masalah yang timbul akibat penerapan sistem sekuler kapitalisme, seperti pergaulan bebas, pornografi, dan dampak buruk lainnya, dapat diatasi dengan penegakan hukum Islam yang tegas.
Sistem ekonomi Islam juga akan menjamin kesejahteraan rakyat sehingga keluarga-keluarga Muslim bisa hidup dengan sejahtera.
Di samping itu, media Islam akan memperkuat kepribadian generasi muda, menjauhkan mereka dari arus hedonisme dan liberalisme yang merusak.
Oleh karena itu, daripada hanya fokus pada pencegahan pernikahan anak, pemerintah seharusnya lebih serius dalam menangani akar masalah yang sesungguhnya, yaitu derasnya arus liberalisasi dan degradasi moral yang menyerang generasi muda.
Edukasi yang menekankan pentingnya menjaga kehormatan diri dan menghindari pergaulan bebas jauh lebih bermanfaat daripada sekadar melarang pernikahan dini yang sebenarnya menurut kategori bukan lagi termasuk anak-anak dan pernikahan mereka sah menurut syariat.
Oleh: Aisyah Nurul Afyna,
Mahasiswi Universitas Gunadarma