Tinta Media: kartini
Tampilkan postingan dengan label kartini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kartini. Tampilkan semua postingan

Kamis, 02 Mei 2024

Impian Kartini Hanya Bisa Dimuliakan oleh Islam


Tinta Media - Ada catatan krusial pada pidato yang dilontarkan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga. Beliau menyampaikan bahwa momentum Hari Kartini harus dijadikan tonggak untuk mencapai impian Kartini, yakni menjadikan perempuan-perempuan Indonesia mampu menentukan nasibnya sendiri.

Meski maksud dari Menteri PPPA ini baik, yakni mengangkat kemuliaan dan derajat kaum perempuan Indonesia karena dinilai kaum perempuan saat ini tertindas dan hanya dijadikan obyek saja, tetapi perempuan harus mampu menentukan sendiri nasib dan masa depannya. Jangan sampai perempuan hanya nurut-nurut saja ataupun selalu dijadikan obyek untuk meraih keuntungan. Akan tetapi, perempuan juga harus mandiri.

Namun sayang sekali, ibu menteri belum tahu bahwasanya Islam sendiri telah menjadikan perempuan punya kedudukan yang sama dengan laki-laki, yakni sebagai hamba Allah Swt. 

Allah selalu memberikan kabar gembira kepada setiap perempuan. Misalnya, perempuan yang hamil, baik hamil bayi perempuan ataupun laki-laki, maka Allah menempatkannya pada posisi yang paling mulia. Dengan kesabaran dalam menerima beban kehamilan itulah pahala surga mudah diraih perempuan. Apalagi kalau bayinya perempuan, peluang masuk surganya sangat besar. 

Berbeda dengan peradaban-peradaban kotor yang menilai perempuan adalah hal buruk dan selalu dilecehkan. Contoh, di peradaban Yunani, perempuan diklasifikasikan berdasarkan latar belakang. Wanita elit diperlakukan sebagai tahanan sedangkan kalangan bawah dijadikan komoditi untuk diperjualbelikan.

Romawi pun sama. Perempuan disejajarkan dengan budak yang hanya menjadi penyenang dan penguntung tuannya. Di India, perempuan hanyalah pelayan seksual.

Di Cina, gadis yang lahir dari rahim keluarga miskin hanya dijadikan sebagai budak orang kaya bahkan keluarganya sendiri, sedangkan lahir dalam rahim orang kaya, perempuan harus menderita dulu di masa kecilnya agar bisa terangkat derajatnya. 

Di Arab sebelum Islam datang_ pun sama, anak perempuan yang lahir harus dikubur hidup-hidup. Tak jauh beda di Eropa yang pernah terjadi pembantaian besar-besaran terhadap perempuan karena dianggap sebagai pembawa sihir. Terakhir, di masa ini pun tak jauh beda. Di sistem kapitalisme sekuler, perempuan hanya dijadikan sebagai kaum pemuas pria.

Terbukti, Islam menjunjung tinggi derajat kaum perempuan. Sebagai anak, perempuan akan menjadi pintu surga untuk kedua orang tuanya, ketika beranjak dewasa atau menikah, ia menjadi penyempurna sepertiga agama suaminya, dan ketika menjadi seorang ibu, derajat kemuliaannya lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Ini terbukti ketika Rasulullah saw. menyebut kata ibu sampai 3 kali.

Cobalah kita lihat di agama lain. Hampir semua agama selain Islam menempatkan perempuan di posisi yang hina. Contoh agama Nasrani dan Yahudi yang menganggap perempuan sebagai makhluk yang penuh dosa dan dianggap sebagai ibu dari semua kesengsaraan.

Memang tak ada yang lebih memuliakan perempuan daripada Islam. Islam memberikan kedudukan yang luar biasa pada kaum perempuan, bahkan ketika di dalam kandungan sampai ketika beranjak dewasa atau menjadi ibu.

Tak heran, yang cocok untuk mengatasi problematika perempuan jawabannya ada di Islam, bukan yang lain. Apalagi peradaban sekarang kapitalis sekuler yang menjadikan perempuan sebagai penghasil cuan, karena patokannya adalah materi. Sedangkan Islam, patokannya adalah halal-haram yang mengacu pada ketentuan Allah lewat hukum syara'. Karena kita dan seluruh alam semesta adalah ciptaan Allah, maka wajar jika harus tunduk pada peraturan-Nya.

Maka, sangat sinkron dengan surat R.A. Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya di tanggal 4 Oktober 1902 dulu. Dalam surat itu tertulis bahwa perempuan bukanlah saingan ataupun rival laki-laki. Namun, seorang perempuan harus lebih cakap dalam melakukan kewajiban yang diserahkan alam (sunatullah) sendiri dalam tangannya, yakni menjadi ibu, dan menjadi pendidik manusia yang pertama-tama.

Kewajiban perempuan yang dirasa mampu meninggikan derajatnya adalah dengan mengacu pada syariat Islam. Terbukti, hanya Islamlah yang mampu menempatkan  perempuan sesuai dengan fitrahnya.


Oleh: Setiyawan Dwi 
(Jurnalis)

Meneladani Kartini di Era Kini


 
Tinta Media - Raden Ajeng Kartini adalah sosok wanita yang menjadi maskot di tanah air. Ini menunjukkan betapa wanita juga bisa memiliki kekuatan untuk melakukan sebuah perubahan dalam hidupnya. Walaupun sedikit, tetapi bisa membekas sampai sekarang. 

Tanggal 21 April menjadi momen bersejarah yang biasa diperingati sebagai Hari Kartini. Tak jarang, dilakukan dengan lomba-lomba yang bertemakan Kartini  untuk mengenang jasanya.      

Masih berhubungan dengan Hari Kartini, Ketua Komisi II DPRD Kalimantan Timur Nidya Listiyono mengajak para perempuan lebih meneladani perjuangan Raden Ajeng (RA) Kartini yang mampu menyalakan api perjuangan pada masanya. Menurutnya, kaum perempuan diharapkan terus berkarya, mengembangkan diri, dan memperluas ilmu pengetahuan sebagai bentuk upaya meneladani perjuangan RA Kartini. Hal tersebut akan membawa kehidupan bangsa Indonesia lebih baik. Pernyataan itu disampaikan Nidya dalam rangka peringatan Hari Kartini yang jatuh setiap 21 April 2024.

Sosok RA Kartini sangat identik dengan emansipasi wanita. Sejak di bangku sekolah dasar sampai menyelesaikan sekolah tingkat atas, tak ada sosok wanita yang begitu sering disebut namanya selain Kartini. Jadi, masyarakat mengenal kosa kata emansipasi juga dengan seringnya diperingati Hari Kartini. 

Emansipasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, seperti persamaan hak kaum wanita dengan kaum pria. Di zaman sekarang, semangat itu diadopsi dan begitu diperjuangkan oleh para wanita,  apalagi oleh kaum feminis yang begitu getol ingin mendapatkan persamaan hak dengan pria. Walaupun sudah jelas, keberadaan wanita dan pria itu berbeda, baik secara fisik maupun kodratnya. 

Gara-gara semangat emansipasi inilah banyak kaum wanita begitu kuat keinginannya untuk mendapatkan pengakuan dan jati dirinya sehingga berbondong-bondong mengejar karier demi terpenuhinya obsesi akan aktualisasi diri. Perempuan ingin melebarkan kemampuan pribadi di luar rumah yang notabene membangun karier. 

Terkadang mereka tidak peduli apakah pekerjaan atau karier itu cocok dan sesuai dengan fitrahnya sebagai wanita atau tidak. Dengan ramainya, wanita ingin menuntut persamaan hak dengan pria. Akhirnya, banyak dari mereka yang melupakan kodrat sebagai wanita yang memiliki kewajiban dalam rumah tangganya.

Mereka lupa bahwasanya anak-anak perlu bimbingan dan didikan. Mereka sibuk bekerja di luar untuk mengembangkan diri, melakukan pergulatan dan persaingan dengan kaum pria. 

Memang, bagi pegiat emansipasi, seorang Kartini dianggap begitu pas dalam merepresentasikan perjuangan kebebasan wanita.

Namun, sebenarnya ada kesalahpahaman antara anggapan pera pegiat emansipasi dengan tujuan Kartini yang sesungguhnya.

Jika dilihat dari sejarahnya, sosok Kartini memang wanita pintar yang memiliki wacana luas karena bacaannya banyak. Dia memiliki pandangan beberapa langkah lebih maju dibandingkan wanita semasanya. Saat itu, wanita diperlakukan tidak sebagaimana mestinya. Mereka terpinggirkan, tidak boleh sekolah, dll. 

Waktu itu, gerak wanita dibatasi, bahkan dilarang. Kalau melanggar aturan, maka wanita itu akan dicaci maki oleh lingkungannya. Melihat hal demikian, Kartini menjadi resah. Ia tidak suka melihat keadaan wanita yang dibelenggu oleh adat peninggalan nenek moyang yang begitu  rumit.

Surat-surat yang ditulis Kartini menandakan bahwa dia seorang wanita yang melakukan pergulatan ideologi. Pertemanannya dengan Abendanon sempat membuatnya kagum kepada kehidupan Barat yang liberal, bahkan nyaris menjadi alat sekularisasi Kompeni. 

Kemudian, pertemanannya dengan Stella dan keluarga Van Kol membuatnya hampir meninggalkan Islam dan mengadopsi nilai-nilai Kristen. Namun, di saat kehausan pemikiran, akhirnya dia tersentuh dengan indahnya Islam. 

Kartini mulai memperlihatkan kebanggaannya sebagai muslimah. Di akhir masa hidupnya, Islam lebih banyak dipelajari. Seperti tulisan pada sahabat penanya sebagai berikut,

“ Sudah lewat masanya. Tadi kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah Ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah Ibu menyangkal bahwa di balik hal-hal indah dalam masyarakat Ibu terdapat banyak hal yang tidak bisa disebut sebagai peradaban?” (Surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, 27/19/1902).

“Moga-moga kami mendapat rahmat dapat bekerja membuat umat agama lain memandang Islam patut disukai.” (Surat Kartini kepada Nyonya Van Kol, 21/07/1902). 

Inilah gambaran Kartini yang dengan segala aktivitas belajar yang luar biasa. Dengan kecerdasannya, ia merasa tercerahkan dengan Islam.

Yang berperan besar dalam membuka wawasan  Islam Kartini adalah Mbah Sholeh Darat. Akhirnya, kita melihat wanita itu dengan sudut pandang Islam. Hal ini bisa dilihat dari pandangannya, yaitu bahwasanya wanita ada di dunia ini sebagai pendidik pertama generasi supaya bisa tercerdaskan, bukan sebagai alat Barat dalam kebebasan dan kesetaraan gender yang kebablasan. 

Di surat Kartini berikutnya tersirat cita-cita sesungguhnya Kartini yang jarang dipublikasikan. 

“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidup, tetapi karena kami yakinkan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita agar lebih cakap dalam  melakukan kewajibannya yang diserahkan oleh alam (sunatullah) sendiri dalam tangannya, yaitu menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.” (Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 04/09/1902). 

Hal yang diperjuangkan Kartini adalah bagaimana para wanita pribumi mempunyai semangat, kesempatan dalam memperoleh ilmu pengetahuan sama dengan para pria sesuai dengan nilai-nilai pendidikan dalam al-Qur'an.

Jadi, bisa disimpulkan bahwa Kartini pada saat itu bukan untuk memperjuangkan gerakan emansipasi ataupun kesetaraan gender yang sekarang sangat keras gaungnya. Akan tetapi, yang didambakan Kartini hanyalah menjadi wanita yang taat pada ketetapan Allah, meskipun belum sempat banyak mempelajari Islam.

Al-Qur'an pun tak sempat dikhatamkan karena dalam perjalanannya beliau sudah dipanggil Yang Kuasa. 

Pelajaran yang bisa kita teladani dari jejak Kartini adalah semangat belajar yang tinggi untuk menuntut ilmu, terutama ilmu Islam agar kelak generasi terutama wanita menjadi cerdas dan bisa menjalankan aturan-aturan Islam.

Apabila sudah bergelar ibu, ia bisa menjadi guru pertama bagi anak-anaknya yang membawa perubahan di dalam peradaban sehingga bisa  menghasilkan generasi yang unggul sesuai dengan ketentuan  Islam. Selanjutnya, Kartini bersikap pantang menyerah dengan keadaan yang serba terbatas saat itu, akan tetapi dia bisa menembus batas sekat tradisi dan mewujudkan impian dan cita-citanya.  Wallahu 'alam.

Oleh: Rahmayanti, S.Pd
Sahabat Tinta Media

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab