Tinta Media - Setiap bulan November digelar peringatan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (K16HAKTP). Kampanye di Indonesia pertama kali dilansir Komnas Perempuan dan sudah berlangsung sejak 2001. Ini merupakan bagian dari pelaksanaan mandatnya sebagai lembaga negara Hak Asasisasi Manusia, sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden No.181 tahun 1998 yang diperbaharui melalui Peraturan Presiden No.65 tahun 2005 tentang Komnas Perempuan.
Karenanya, dalam rangkaian Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (K16HAKTP) 2022, Komnas Perempuan dan jaringannya menyerukan “Ciptakan Ruang Aman, Kenali Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual”. Pemilihan tema ini merupakan bentuk komitmen untuk terus mengawal implementasi UU TPKS.
K16HAKTP kini menjadi agenda gerak bersama lembaga pengadaan layanan, women crisis center, organisasi keagamaan, anak-anak muda, pemerintah, aparat penegak hukum, privat sektor, jurnalis, dan berbagai pihak lainnya. Beragam kegiatan yang dilakukan untuk memperingati kampanye 16 hari tahun ini mulai dari kampanye media sosial, seminar, diskusi publik, pementasan seni, launching video, aksi car free day, dan bentuk kegiatan lainnya yang dilakukan baik secara online ataupun offline. Kegiatan ini diselenggarakan di Aceh, Lampung, Medan, Banten, Semarang, Surabaya, Kalimantan, Bali, NTT, dan Makassar.
Tak Menyentuh Akar Masalah
Faktanya, kekerasan terhadap perempuan terus saja terjadi, bahkan cenderung meningkat. Menurut situs Komnas Perempuan, pada Januari s.d November 2022 telah menerima 3.014 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, termasuk 860 kasus kekerasan seksual di ranah publik/komunitas dan 899 kasus di ranah personal.
Selain melalui kampanye ini, pemerintah juga telah melakukan upaya pencegahan dan perlindungan melalui payung hukum UU TPKS yang juga sudah disahkan. Namun, realitasnya hingga saat ini kasus kekerasan terhadap perempuan tidak juga menunjukkan penurunan.
Ini sekaligus menjadi bukti bahwa penyelesaian persoalan kasus kekerasan terhadap perempuan tidak menyentuh pada akar masalahnya. Sungguh sebuah kekeliruan yang besar jika dinyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan itu karena berbasis gender.
Indonesia sebagai bagian dari negeri muslim terbesar yang kental dengan budaya patriarki dianggap sebagai biang keladi kasus kekerasan terhadap perempuan. Ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga. (Antaranews.com, 9/12/2021)
Sungguh naif karena kenyataan yang terjadi justru ketika berada di ruang publik tanpa ada aturan atau pembatasan, perempuan rentan mendapatkan kekerasan, baik fisik maupun mental. Atas nama HAM, keberadaan perempuan saat ini berada dalam kebebasan yang membahayakan dirinya. Dari sini muncul propaganda My Body is Mine, yang membuat para perempuan bebas mengumbar aurat yang menjadi perangsang syahwat laki-laki hidung belang.
Selain itu, kondisi perekonomian keluarga yang memprihatinkan justru membutuhkan bantuan perempuan sehingga terpaksa bekerja di luar rumah, bahkan hingga keluar negeri menjadi TKW. Inilah yang justru menjadikan perempuan rentan mendapatkan kekerasan. Dalam ranah keluarga, terjadinya kekerasan pada perempuan juga seringkali dipicu oleh permasalahan keluarga yang membawa pada pertengkaran sehingga berujung terjadinya kekerasan. Seringkali hal itu terjadi karena persoalan ekonomi yang membelit keluarga, sebagaimana yang disampaikan oleh Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan KemenPPPA, Valentina Gintings. (Kompas.com, 19/2/2022)
Solusi Tuntas
Persoalan ini jelas membutuhkan solusi tuntas yang menyentuh akar persoalan. Apalagi, regulasi saat ini pun ternyata tak bergigi. Secara nyata, solusi berbasis kesetaraan gender tak juga mampu menyelesaikan secara tuntas. Secara realitas, terbukti bahwa kekerasan pada perempuan bukan akibat bias gender.
Solusi tuntas hanya dapat diwujudkan dengan mengubah cara pandang yang salah terhadap kehidupan. Cara pandang yang sahih adalah cara pandang berdasarkan Islam, yang menjadikan akidah Islam sebagai asas dalam menyelesaikan setiap problematika kehidupan karena berasal dari Sang Pencipta manusia, alam semesta, dan seisinya. Cara pandang yang sahih ini juga akan memberikan kekuatan pada regulasi yang dibuat.
Islam memiliki sistem yang sempurna. Kekerasan terhadap perempuan akan tuntas saat aturan Islam diterapkan. Beberapa solusi yang diberikan adalah sebagai berikut:
Pertama, Islam akan melindungi anak-anak perempuan maupun laki-laki dan menyamakan perlakuan di antara keduanya. Islam memiliki sistem pergaulan yang akan menjaga interaksi antara laki-laki dan perempuan.
Dalam Islam, baik laki-laki atau pun perempuan harus menundukkan pandangan ketika bertemu. Di tambah lagi, mereka hanya boleh bertemu di kondisi-kondisi tertentu. Selain itu, dilarang campur baur antara laki-laki dan perempuan tanpa alasan syar’i (ikhtilat) maupun berdua-duaan dengan nonmahram (khalwat). Para Muslimahnya pun diwajibkan menutup aurat dengan sempurna, dilarang tabaruj, dan sebagainya.
Selain memiliki aturan di ranah publik, Islam juga mengatur hubungan di ranah rumah tangga. Bagaimana anak bersikap kepada orang tuanya, dan begitu pula sebaliknya. Ada juga fikih suami dan istri yang apabila diterapkan akan menjamin sakinah, mawaddah wa rahmah dalam rumah tangga
Kedua, Islam menetapkan sanksi yang tegas pada pelaku kekerasan seksual. Hukuman tersebut memiliki dua fungsi, yaitu sebagai jawabir dan zawajir. Jawabir bermakna penebus dosa. Sedangkan zawajir berarti hukuman tersebut mampu mencegah orang lain melakukan tindakan yang sama.
Misalnya, hukuman bagi pelaku perkosaan berupa had zina, yakni dirajam (dilempari batu) hingga mati, jika pelakunya telahh menikah (muhshan). Apabila pelakunya belum menikah (ghairu muhshon), maka akan dicambuk (dijilid) 100 kali dan diasingkan selama setahun. Sanksi rajam bagi pelaku juga tidak dilaksanakan sembarangan, harus secara terperinci, yaitu kasusnya harus ditangani oleh hakim (qadi) yang berwenang, harus ada saksi, dan lain-lain
Ketiga, kadangkala kekerasan terhadap perempuan terjadi tersebab ekonomi. Oleh karena itu, Islam akan menutup pintu ini dengan menjamin terpenuhinya kebutuhan setiap rakyat, baik pangan, papan, sandang, keamanan, kesehatan hingga pendidikan.
Bagi siapa pun yang tidak mempunyai pekerjaan, negara Islam akan membuka lapangan pekerjaan sehingga mereka akan mendapatkan pemasukan yang memadai. Selain itu, bagi mereka yang tidak mampu bekerja, mereka akan berada dalam tanggungan keluarga. Jika keluarga tidak mampu, maka negara yang akan menanggung segla kebutuhannya.
Negara akan mengambil dari Baitul mal untuk semua pembiyaan tersebut. Badan keuangan ini mendapatkan pemasukan dari pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA), harta tidak bertuan, jizyah, kharaj, ganimah, fai, harta dari perilaku curang, dan sebagainya. Semua pemasukan itu akan dipakai untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Dengan begitu, ekonomi tidak lagi menajadi alasan melakukan kekerasan.
Hanya Khilafah
Penerapan seluruh aturan Islam tidak bisa dilaksanakan dalam sistem saat ini, disebabkan cara pandang (landasan) bertumpunya aturan sudah berbeda. Aturan Islam hanya bisa diterapkan oleh sistem pemerintahan Islam, yaitu khilafah. Maka dari itu, cara satu-satunya untuk memutus rantai kekerasan terhadap perempuan dan semisalnya sebatas dengan menerapkan Islam secara sempurna dalam bingkai Khilafah. Allah Swt. Berfirman yang artinya:
"Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu." (QS Al-Baqarah 2: Ayat 208).
Wallahualam bissawab.
Oleh: Ummu Syakira
Sahabat Tinta Media