Adakah Efek Jera dalam Kapitalisme?
Tinta Media - Miris! Negara seharusnya memberikan hukuman berat kepada para koruptor, bukan malah memberikan diskon. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia memberikan Remisi Khusus (RK) bagi narapidana dan Pengurangan Masa Pidana (PMP) Khusus bagi Anak Binaan yang beragama Islam pada saat hari raya Idul Fitri.
Penerima RK dan PMP Khusus pada lebaran 2024 berjumlah 159.557 orang (tirto.id, 10/04/2024). Salah satu penerima remisi adalah terpidana kasus korupsi Kartu Tanda Penduduk Elektronik atau e-KTP, Setya Novanto. Mantan ketua DPR itu mendapatkan diskon masa tahanan bersama 240 narapidana korupsi lainnya di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung (tempo.co, 12/04/2024).
Hari-hari besar keagamaan tampaknya menjadi hari yang makin istimewa bagi para napi. Betapa tidak? Pada hari itu para napi mendapat kejutan berupa pemberian remisi. Tentu kabar ini menjadi angin segar, khususnya bagi para keluarga dan sanak saudara. Padahal, jika mengingat kejahatan yang dilakukan para napi, pemberian remisi tentu menjadi sesuatu yang tidak adil, terutama bagi pelaku korupsi, bandar narkoba, pembunuh, serta pelaku kejahatan lain yang sangat merugikan masyarakat dan negara.
Obral remisi menjadi kebiasaan di negeri ini. Maka, tak heran jika tingkat kejahatan kian meningkat. Remisi bukan solusi, melainkan memperparah keadaan. Sebab, pemberian remisi justru akan menjauhkan efek jera bagi pelaku kejahatan.
Remisi berulang kali berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum. Kapan negeri kita menerapkan hukum yang adil? Bagaimana bisa ada efek jera jika hukuman bisa berubah-ubah? Bagaimana bisa ada efek jera bila tiap tahun ada potongan hukuman?
Ketika kedaulatan di tangan manusia, keadilan semakin terpinggirkan. Orang yang menjalani hukuman di dalam sistem sekuler tidak akan merasakan efek jera ataupun kesadaran untuk menjadi manusia yang lebih baik, apalagi efek untuk menjadi manusia yang taat pada aturan Sang Pencipta.
Sistem sanksi yang diberikan tidak konsisten dan dapat berubah sesuai kepentingan. Sistem hukum buatan manusia terbukti tidak mampu mengatur kehidupan manusia dengan adil. Sistem sekuler ibarat jalan rusak yang tak patut dilalui. Semestinya kita menyadari bahwa kesempurnaan hanya milik Allah Swt. Saatnya kita kembali pada aturan Allah. Jangan menjadi manusia sombong yang menolak hukum-hukum yang berasal dari Tuhan semesta alam!
Oleh: Umma Hagia
Sahabat Tinta Media