Tinta Media: isu
Tampilkan postingan dengan label isu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label isu. Tampilkan semua postingan

Rabu, 10 Januari 2024

UIY: Politisasi Islam Menjadi Isu Paling Menonjol pada 2023




Tinta Media - Cendekiawan Muslim Ustadz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) menyatakan bahwa isu keumatan yang paling menonjol di tahun 2023 adalah politisasi Islam.


“Politisasi Islam menjadi isu yang paling menonjol di tahun 2023 karena umat sedang diperebutkan dalam kontestasi politik lima tahunan pada 14 Februari 2024 mendatang,” tuturnya dalam Focus to The Point: Inilah Agenda Umat 2024 di kanal YouTube UIY Official, Jumat (5/1/2024).


Politisasi Islam yang dimaksud UIY adalah memanfaatkan Islam dan umat Islam untuk kepentingan politik kekuasaan semata-mata yang pada faktanya tidak nyambung dengan Islam dan kepentingan umat secara hakiki.


“Ini selalu berulang setiap kali kontestasi politik baik pada level nasional maupun level daerah. Yang menyedihkan sebagian tokoh-tokoh umat mau diajak berkolaborasi bersama para politikus untuk melakukan politisasi Islam,” ucapnya prihatin. 

    
UIY mengkhawatirkan adanya keterlibatan tokoh-tokoh umat yang berkolaborasi dengan para politikus akan menjadi legitimasi bagi umat untuk ikut berperan aktif dalam politisasi Islam.


“Kita menolak politisasi Islam karena hanya melibatkan Islam untuk kepentingan politik. Politik yang kita inginkan adalah Islamisasi politik. Seharusnya peran ulama melakukan Islamisasi politik bukan kemudian ikut-ikutan dalam politisasi Islam,” imbuhnya penuh harap. 


Lebih lanjut UIY menjelaskan islamisasi politik adalah menjadikan Islam sebagai dasar di dalam berpolitik yang tercakup dalam tiga hal. Pertama, dalam penyusunan visi misi. Kedua dalam menyusun tujuan. Ketiga, dalam melakukan tindakan-tindakan atau kegiatan politik.


“Dalam tiga hal tersebut semua harus berdasarkan Islam. Itulah Islamisasi politik,” tutupnya.[] Erlina

Minggu, 12 Maret 2023

Pamong Institute Ungkap Indikasi di Balik Isu Penundaan Pemilu

Tinta Media - Direktur Pamong Institute Wahyudi Al Maroky menilai bahwa Isu penundaan pemilu mengindikasikan bahwa rezim Jokowi ingin memperpanjang masa kekuasaannya.

“Menurut saya, isu penundaan pemilu 2024 menjadi 2025, berarti indikasinya memang rezim Pak Jokowi ada keinginan untuk menunda bahkan berefek untuk memperpanjang masa kekuasaannya,” tuturnya dalam Kabar Petang: Jokowi Berusaha Memperpanjang Kekuasaan? melaui kanal Youtube Khilafah News, Selasa (7/3/2023).

Menurutnya, isu penundaan pemilu berturut-turut, mulai dari awal tahun 2022 hingga sekarang, dihembuskan oleh para pimpinan sampai putusan PN Jakarta, dengan restu Jokowi.

“Dari awal Tahun 2022 itu sudah muncul yang melemparkan isu atau gagasan penundaan pemilu dari para pimpinan partai dan yang terakhir oleh putusan PN Jakarta, secara berturut-turut. Maka kita lihat tidak ada yang ditegur oleh Pak Jokowi, berarti ada indikasi dan publik bisa menilai bahwa memang pernyataan itu direstui Pak Jokowi, kalau tidak merestui, tinggal panggil menteri-menterinya,” ungkapnya.

Menurutnya, isu itu dilempar ke publik sebagai tes ombak dan ada kekuatan besar di baliknya.

“Biasanya untuk mengetes respon publik, apakah menolak keras nanti ditarik mundur sedikit kemudian dilempar isu baru lagi, kalau publik tidak menolaknya dengan keras maka isunya dimajukan selangkah lagi lebih mendekati kenyataan, kira-kira begitu. Jadi ini istilahnya sebagai tes ombak dan tentu ada kekuatan besar di situ,” jelasnya.

Wahyudi menggambarkan bahwa para elit politik di negeri ini sibuk menghabiskan waktu, pikiran dan tenaganya untuk memikirkan nasib kursi kekuasaan mereka menunjukkan minim empati. Mereka lebih mementingkan kemaslahatan pribadi dan kelompoknya daripada kemaslahatan rakyat.

“Semestinya para menteri fokus kerja dengan tupoksinya daripada melempar-lempar isu ini. Apa urusannya? Seharusnya mereka memikirkan rakyat miskin supaya bisa disejahterakan dan melaksanakan tugas-tugas mereka sesuai kewenangan. Malah Menteri kelautan bahas tentang penundaan pemilu, bukan urusan dia itu. Uruslah ikan-ikan supaya bisa kita tangkap untuk dijadikan makanan bergizi bagi rakyat biar pintar-pintar semua, sehingga tidak ada yang gizi buruk,” tuturnya.
 
Menurutnya, penguasa dalam sistem demokrasi tidak berorientasi untuk berkhidmat atau mengabdikan diri, waktu maupun hartanya kepada rakyat atau negara.

“Sistem demokrasi begitu mahal, mereka harus berpikir bagaimana mengembalikan uang yang sudah dikeluarkan untuk biaya pesta demokrasi, untuk biaya kampanye, bikin spanduk, menggerakkan tim suksesnya, dan biaya memantau. Setelah berkuasa dia berpikirnya adalah mengembalikan itu semua, sekaligus berpikir untuk menabung dalam mempersiapkan ambisi untuk pesta demokrasi selanjutnya. Nah budaya politik seperti ini sulit dihindari, akhirnya orientasi para politisi hanya ada dua saja yaitu mengembalikan modal politik kemudian menabung lagi untuk melanjutkan kekuasannya,” jelasnya.

Berbeda dengan model prototipe penguasa Islam yaitu berorientasi pada kesejahteraan rakyat.

“Seperti Khalifah Umar bin Abdul Aziz, hanya butuh waktu dua tahun lebih, yang berhasil membuat rakyatnya tidak ada lagi yang miskin dan tidak berhak lagi menerima zakat, sehingga mereka kebingungan membagikan harta zakat itu,” ungkapnya.

Solusi

Menurut Wahyudi, ada dua syarat untuk memiliki model prototipe penguasa yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat.

Pertama, membentuk para politisi yang bertakwa dan punya integritas tinggi. "Kalau dia mau membagi-bagikan bukan untuk pencitraan atau masa menjelang kampanye, tapi betul-betul dengan integritas tinggi dan tidak korupsi," tegasnya. 

Kedua, yang harus diperbaiki adalah sistem demokrasi yang begitu mahal itu harus diubah menjadi sistem yang sangat murah dan simple yakni sistem Islam. "Kemudian menutup celah-celah untuk korupsi, kolaborasi ataupun melakukan kongkalikong terhadap para investor politik maupun kepada para politisi yang sedang bertarung,” pungkasnya. [] Evi

Sabtu, 29 Oktober 2022

Ahmad Sastra Ungkap Tujuan di Balik Isu Narasi Radikalisme dan Terorisme

Tinta Media - Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa Dr. Ahmad Sastra menilai isu narasi radikalisme dan terorisme adalah agar umat Islam tidak membawa ajaran Islam ke ranah politik.

“Faktanya umat Islam jadi tertuduh dengan kedua isu tersebut (radikalisme dan terorisme) dengan tujuan agar umat Islam tidak membawa ajaran Islam ke ranah politik,” ujarnya kepada Tinta Media, Kamis (27/10/2022)

Ia mencontohkan pada saat Pilkada DKI yang lalu, isu terbesarnya adalah haramnya pemimpin kafir. 

“Isu tersebut semakin membesar ketika ada fakta penistaan terhadap ayat al-Maidah ayat 51, kemudian melahirkan Aksi 212 yang sangat fenomenal hingga acara Reuni 212,” ucapnya. 

Dari peristiwa 212 ini kemudian muncul respons negatif dari berbagai pihak termasuk media massa. Mereka menggunakan isu radikalisme untuk memukul umat Islam. 
“Di antaranya menuding kelompok Islam yang menolak pemimpin kafir adalah kelompok radikal, intoleran, dan berbagai label buruk lainnya. Mereka menggunakan isu radikalisme untuk memukul umat Islam, hal ini tak mungkin terbantahkan,” tuturnya. 

Ia mengungkapkan bahwa seiring perkembangan, istilah radikal atau radikalisme merupakan istilah politik, bukan agama sehingga istilah ini dimaknai dengan kepentingan politik penguasa. 

“Kata radikal dan moderat merupakan proxy war, ghozwul fikr atau perang istilah dengan tujuan devide et impera, politik adu domba Barat atas umat Islam, padahal dalam pandangan Islam dituntut menjadi muslim yang bertakwa dan kaffah. Sejatinya radikal kata yang netral, berubah konotasinya menjadi negatif karena dipengaruhi oleh adanya kepentingan politik,” ungkapnya. 

Isu radikalisme dan terorisme jika dilihat dari korbannya justru sebagian besar adalah negeri muslim, kelompok muslim, dan orang yang beragama Islam. 

“Irak dan Afganistan menjadi negeri korban perang melawan terorisme ala Amerika dengan alasan yang dibuat-buat. HAMAS yang ingin mempertahankan negerinya dari penjajahan Israel masuk dalam daftar kelompok teroris, sebaliknya Israel yang nyata melakukan tindakan terorisme, alih-alih diinvasi, label teroris saja tidak pernah dilekatkan,” bebernya. 

Ia membenarkan perkataan seorang jurnalis Australia John Pilgers bahwa korban terbesar terorisme adalah umat Islam. Hakikatnya tidak ada perang terhadap terorisme, yang ada perang menggunakan alasan terorisme. 
“Bisa di analisa berdasarkan akal sehat bahwa narasi radikalisme dan terorisme adalah narasi Barat untuk menyerang Islam,” ucapnya. 

Tuduhan radikal dan radikalisme atas muslim dan Islam oleh Barat dan negara anteknya dapat ditelusuri jejaknya, bersumber dari laporan dokumen yang berjudul Mapping The Global Future oleh Dewan Intelijen Nasional Amerika (National Inteligent Council/NIC). 
“Dokumen ini berisikan prediksi atau ramalan tentang masa depan dunia. NIC memperkirakan bahwa ada empat hal yang akan terjadi pada tahun 2020an,” katanya. 

Pertama, Dovod World yakni kebangkitan ekonomi Asia. China dan India bakal menjadi pemain penting ekonomi dan politik dunia. 
“Kedua, Pax Americana di mana dunia tetap dipimpin dan dikontrol oleh Amerika Serikat,” ujarnya. 

Ketiga, A New Caliphate, yakni kebangkitan kembali khilafah Islam. Khilafah Islam adalah pemerintahan global Islam yang bakal mampu melawan dan menjadi tantangan nilai-nilai Barat. 
“Dan keempat, Cycle of Fear, yaitu lingkaran ketakutan. Dari sinilah (keempat hal tersebut) sesungguhnya narasi radikal radikul itu bermula,” ucapnya. 

Menghadapi perang pemikiran ini maka sebagai umat Islam yang berakal harus terus berdakwah menjelaskan ajaran Islam yang baik dari Yang Maha Baik dan untuk kebaikan negeri ini. 
“Umat juga perlu dijelaskan ancaman sesungguhnya bagi negeri ini adalah sistem kapitalisme-liberalisme, menanamkan kesadaran politik agar umat tidak terjebak dalam konstalasi politik internasional,” ungkapnya. 

Ia mengakhirinya dengan mengatakan bahwa pentingnya membina umat dengan pemikiran Islam untuk menghadapi tantangan ghozwul fikr sebab saat ini terjadi pertarungan yang tidak seimbang.

“Penting juga menyadarkan masyarakat untuk memilih sistem yang baik dan benar dalam melepaskan negeri ini dari berbagai persoalan, dan umat Islam harus memiliki kekuatan politik untuk menghadapi propaganda musuh Islam,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Senin, 22 Agustus 2022

Isu Kampus Terpapar Radikalisme, Upaya Mengerdilkan Kampus sebagai Produsen Pemikir

Tinta Media - Narator video MMC mengatakan, “Adanya isu kampus terpapar radikalisme sejatinya adalah upaya mengerdilkan kampus sebagai produsen para pemikir,” tuturnya dalam video: Ada Apa di Balik Upaya Melindungi Dunia Pendidikan dari Radikalisme? Sabtu (20/8/2022) melalui kanal Youtube Muslimah Media Center.
 
Isu ini, lanjutnya, tentu akan memandulkan fungsi kritis mahasiswa maupun dosen terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.
 
“Dengan framing kampus terpapar radikalisme ini dan daya tekan rezim yang kuat akan membuat dosen dan mahasiswa bungkam terhadap kebenaran. Padahal wujud dari pengabdian intelektual kepada umat adalah menyuarakan kebenaran dan berbicara untuk kepentingan umat,” tandasnya.
 
Meningkatkan Kewaspadaan
 
Narator menyebut, Wakil Komisaris Polri Komjen Gatot Adi Pramono mengatakan memasuki tahun ajaran baru,  dunia pendidikan khususnya tingkat perguruan tinggi harus terus meningkatkan kewaspadaan terhadap paham dan gerakan kekerasan, terutama yang digunakan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dengan legitimasi yang didasarkan pada pemahaman agama yang salah.
 
“Paham dan gerakan tersebut adalah intoleransi, radikalisme, ekstrimisme dan terorisme,” lanjut Narator menirukan Waka Polri.
 
 Menurut Waka Polri, kata Narator, berdasarkan catatan global terorism index 2020 menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2021 terdapat 5.226 aksi terorisme di seluruh dunia. Korban meninggal dunia yang berjatuhan akibat aksi tersebut mencapai 7.142 jiwa.
 
Mitigasi
 
Narator mengatakan, beberapa kampus merespon masuknya paham radikalisme dan terorisme di kampus dengan membuat program mitigasi pencegahan paham-paham tersebut masuk ke lingkungan kampus.
 
“Namun sejatinya masyarakat masih mempertanyakan benarkah kampus telah terpapar radikalisme intoleransi, hingga terorisme? Apa sebenarnya definisi dari radikalisme itu sendiri dan bagaimana ciri-cirinya?” ucapnya.

Pasalnya, lanjut Narator, hingga hari ini definisi tersebut masih absurd di pandangan masyarakat. “Jika yang dimaksud radikalisme adalah terorisme dengan berbagai tindakan teror dan aksi kekerasan yang membahayakan tentu kita sepakat bahwa hal itu harus dilawan,” tukasnya.
 
Tapi faktanya tidak demikian. “Mantan Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Riyyacudu pada 2019 pernah menyebut sekitar 23 % mahasiswa terpapar radikalisme. Hal ini didasarkan pada bentuk persetujuan mahasiswa tersebut terhadap ajaran jihad dan memperjuangkan negara Islam atau Khilafah,” bebernya.
 
 Karena itu, nilainya, meski pemerintah mengatakan bahwa radikalisme bukan bagian dari gerakan keagamaan namun nyatanya pihak yang disebut terpapar radikalisme dikaitkan dengan mereka yang memiliki pemahaman Islam yang benar dan lurus.
 
“Pasalnya ajaran jihad dan Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam yang ada di dalam kitab muktabar para ulama Salafush Shalih. Khilafah merupakan kepemimpinan yang satu untuk umat Islam yang menerapkan semua hukum Islam,” ungkapnya.
 
Khilafah, lanjutnya, merupakan mahkota kewajiban yang menjadikan umat Islam bisa melaksanakan ajaran Islam secara menyeluruh.
 
“Karena itu radikalisme sejatinya mengarah pada ajaran Islam kafah yaitu ajaran yang menghendaki agar syariat Islam diterapkan secara keseluruhan atau kafah dalam semua aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara,” simpulnya.
 
Narator lalu mempertanyakan, apakah orang yang memiliki paham ini yang mereka maksud ingin menggulingkan kekuasaan?

“Seharusnya tidak, sebab Islam kafah adalah solusi atas semua persoalan bangsa. Kaum muslimin mencapai masa kejayaan di berbagai bidang pada saat kekhilafahan tegak. Saat  itu tidak ada kemiskinan dan keterpurukan hidup. Yang ada adalah keadilan, kesejahteraan, hingga keamanan yang terwujud di tengah-tengah masyarakat,” ucapnya berargumen.
 
"Karena itu, harusnya mereka yang menginginkan bangsa ini maju dan berkah dengan aturan Allah tidak diberi stikma negatif," tambahnya. 
 
Cengkeraman Kapitalisme
 
Narator menegaskan, umat Islam harus menyadari bahwa dunia hari ini termasuk Indonesia berada dalam cengkraman kapitalisme global. “Radikalisme sejatinya adalah proyek barat untuk menjaga kepentingan mereka agar tetap menguasai dunia dengan ideologi kapitalismenya,” imbuhnya.
 
 Proyek ini, katanya,  hanya memunculkan islamofobia terhadap masyarakat, bahkan umat Islam sendiri terutama pada ide Islam kafah dan Khilafah yang merupakan bagian dari ajaran Islam. Tujuannya adalah dalam rangka menghadang kebangkitan Islam, sebab hanya Khilafah yang bisa menghentikan hegemoni barat atas dunia Islam.
 
 “Ini juga diduga kuat sebagai bentuk pengalihan masalah kegagalan rezim, misalnya kegagalan rezim di bidang pendidikan. Rezim menjanjikan adanya revolusi industri 4.0 akan meningkatkan kualitas pendidikan dan daya saing di bidang pendidikan.Namun kenyataannya konsekuensi logis dari penerapan kapitalisme berdampak pada mahalnya biaya pendidikan dan pengalihan fungsi pendidikan tinggi dan arah riset,” ungkapnya.  
 
Demikian pula, tambahnya,  pada bidang kesehatan,  BPJS dinilai gagal melayani kesehatan rakyat. Fakta yang terjadi BPJS justru hanya merupakan iuran yang dipaksakan. Jika tidak ada BPJS maka rakyat tidak mendapatkan beberapa layanan, dan masih banyak lagi bukti kegagalan rezim.  
 
“Semua ini menunjukkan kegagalan rezim dalam menjalankan fungsi kepemimpinan yang disebabkan karena dua faktor yaitu rezim tidak memiliki konsep bernegara yang kuat dan tangguh. Selanjutnya rezim dibangun atas asas yang  keliru yaitu asas sekulerisme,” bebernya.  
 
Jadi, simpulnya,  yang gagal adalah rezim tapi yang  dijadikan sasaran adalah masyarakat dan mahasiswa yang mengkritik kebijakan penguasa yang gagal mengurusi rakyat dengan tuduhan intoleransi, radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme.
 
 “Jika ditelusuri lebih mendalam, radikalisme ingin menjadikan Islamopobhia melenyapkan pemikiran ideologi Islam. Bagaimana mungkin mereka memisahkan ideologi yang melekat dengan akidah Islam?” tanyanya.
 
Tidak Butuh Moderasi
 
Narator menilai, umat tidak butuh proyek melawan radikalisme, karena bukan radikalisme problem mendasar negeri ini. Umat juga tidak butuh moderasi yang digadang-gadang menjadi solusi tuntas atas berbagai problem negeri ini.
 
“Problem mendasar negeri ini adalah karena tidak mau taat pada aturan Allah. Maka solusi tuntasnya adalah dengan taat kepada Allah yaitu dengan menerapkan syariah Islam kafah dalam bingkai negara Khilafah,” tegasnya.
 
Narator menutup penuturannya dengan membacakan Al-Quran surat al-Baqarah ayat 85 yang artinya, “Apakah kamu beriman kepada sebagian Al-Kitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia.  Dan pada hari kiamat mereka dikembalikan dengan siksa yang sangat berat.  Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” [] Irianti Aminatun
 
 
 
 

Senin, 08 Agustus 2022

Isu Terorisme Mewarnai Tahun Politik


Tinta Media - Lagi-lagi isu terorisme kembali mencuat menjelang tahun politik. Penangkapan teroris kembali menjadi perbincangan hangat. Masyarakat yang semula tenang setelah sekian lama tak mendengar isu terorisme, kini kembali terusik.

Seperti yang diberitakan oleh Detik.com (22/7/2022), Densus 88 Antiteror Polri telah menangkap sebanyak 17 tersangka teroris di wilayah Aceh hingga Riau. Sepuluh di antaranya katanya merupakan jaringan Jamaah Islamiyah (JI) dan tujuh lainnya merupakan jaringan Jamaah Anshorut Daulah (JAD). Sampai saat ini aksi terorisme di Indonesia selalu dikaitkan dengan Jamaah Islamiyah (JI).

Menjelang Pemilihan Umum tahun 2024 mendatang, pemerintah merasa perlu untuk meningkatkan lagi kewaspadaannya terhadap serangan teroris. Biasanya, tahun-tahun politik seperti saat ini dianggap menjadi kesempatan jaringan teroris membuat rencana untuk menunjukkan eksistensi. Mereka memandang bahwa pemilu adalah perhelatan yang mengundang banyak perhatian masyarakat dan aparat keamanan. Ini adalah waktu yang paling tepat untuk melancarkan aksi mereka. 

Hal ini seperti yang disampaikan oleh pengamat terorisme dari Universitas Malikussaleh, Al Chaidar pada media Kompas (24/7/2022), ”Tahun-tahun sekarang juga sangat berbahaya. Kalau di tahun-tahun politik, sumber daya kepolisian sudah tergerus ke banyak isu persiapan pemilu sehingga dikhawatirkan polisi lengah dan para teroris ini tak terpegang. Jadi, harus ditingkatkan kewaspadaannya karena agak riskan.” 

Pemilu dalam Wadah Sistem Demokrasi

Sudah menjadi agenda rutin 5 tahunan masyarakat Indonesia melakukan pesta demokrasi. Agenda ini melibatkan semua pihak yang memiliki hak untuk dipilih dan memilih calon penguasa. Dengan  adanya pelaksanaan pemilu, demokrasi dianggap sebagai sistem yang menjamin kebebasan warganya. 

Padahal, seperti kita ketahui bahwa pelaksanaan pemilu ini membutuhkan dana yang tidak sedikit, terutama untuk kampanye dan membentuk tim sukses. Tidak mungkin calon penguasa bisa mandiri untuk membiayai kampanye maupun mahar politik. 

Maka, sudah menjadi rahasia umum jika banyak calon penguasa menggandeng para pemilik modal yang tak lain adalah pengusaha. Tentu ada konsekuensi yang mereka berikan. Salah satunya adalah balas jasa ketika mereka sudah berhasil meraih kekuasaan. Para penguasa nantinya akan membuat peraturan yang pro terhadap para kapital, serta memberikan kemudahan-kemudahan lain yang mereka dapatkan. 

Para penguasa juga disibukkan dengan berbagai cara untuk mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan. Ini yang menjadi sebab kenapa di indonesia, kasus korupsi tidak pernah ada habisnya.

Kedudukan yang mereka dapatkan tidak digunakan untuk kepentigan rakyat. Padahal, dari suara rakyatlah mereka mendapat kekuasaan. Rakyat hanya dibutuhkan ketika mendekati pemilu saja dengan beragam janji manis. Namun, setelah mendapatkan kekuasaan, mereka lupa dengan janjinya. 

Begitu pun menjelang tahun politik ini, penangkapan teroris menjadi isu strategis. Tujuannya adalah untuk menggiring pemahaman bahwa kelompok Islam yang ingin menegakkan syariat Islam sangat berbahaya dan bukan merupakan pilihan yang tepat untuk memimpin dalam pemerintahan saat ini. 

Ini menunjukkan bahwa sistem demokrasi kapitalis tidak akan memberikan tempat bagi umat Islam. Sistem demokrasi adalah sistem yang rusak dan tidak layak untuk dijadikan sebagai jalan untuk membawa perubahan yang hakiki dan tidak akan membawa pada kebangkitan. 

Kepemimpinan dalam Islam

Masyarakat seharusnya menyadari bahwa saat ini kita butuh pemimpin dan sistem yang bisa menyelesaikan semua permasalahan. Namun, hanya pemimpin  yang paham akan realitas masyarakatlah yang pantas mengemban amanah kepemimpinan tersebut. 

Ibnu Umar ra. dari Nabi saw. sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, "Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang kepala negara adalah pemimpin atas rakyatnya dan akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyat yang dipimpinnya.

Rasulullah bersabda," Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya atas pertanggungjawabannya." (HR. Muslim)

Di dalam Islam, ada hal yang wajib dilaksanakan oleh seorang pemimpin, yaitu menjadikan keimanan sebagai pondasi atas segala tindak-tanduknya. Artinya, ketika ia memimpin, seluruh aktivitasnya akan bersandar pada Islam semata, termasuk seluruh kebijakan yang ditetapkan sehingga mengantarkan pada kesejahteraan rakyat. 

Tentunya, agar syariat Islam bisa dijalankan dengan baik, maka sistem pemerintahan yang digunakan haruslah yang sesuai, yaitu sistem pemerintahan Islam. 

Wallahu'alam bishawab

Oleh: Yanik Inaku
Anggota Komunitas Setajam Pena



Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab