Ilusi Bahan Pangan Murah untuk Rakyat di Sistem Kapitalisme
Tinta Media - Rakyat dibuat terkait naiknya sejumlah komoditas, mulai dari beras, cabai, telur, dll. Kenaikan harga bahan pangan tersebut menuai kritikan dan penolakan dari berbagai kalangan, mulai dari pedagang hingga masyarakat berpenghasilan di bawah rata-rata. Naiknya harga kebutuhan bahan pangan membuat masyarakat babak belur dalam memenuhi kebutuhan.
Sekretaris Jenderal IKAPPI Reynaldi Sarijowan mengaku heran dengan kenaikan harga pangan yang terjadi jauh hari sebelum Natal 2023 dan Tahun Baru 2024 (Nataru). Dia mencatat bahwa harga cabai dan gula masih terus mengalami kenaikan. (Liputan6.com 24/11/2023)
Mahalnya kebutuhan pangan semakin menggambarkan bahwa negara terbukti gagal dalam menjamin kebutuhan pangan murah di tanah air. Negara pun berada di bawah kendali korporat atau pemilik modal. Sebab, prinsip kapitalisme adalah membatasi gerak negara dan memberikan ruang pada para pemilik modal untuk menguasai semua bidang, termasuk menguasai semua bahan pangan di dalam negeri.
Ironisnya, negara seolah tidak bersalah. Justru mereka mengatakan bahwa penyebab kenaikan harga adalah karena fenomena El Nino, seolah-olah masyarakat disuruh untuk pasrah menerima kondisi saat ini.
Pun, seharusnya negara melakukan berbagai upaya untuk mengantisipasi kenaikan harga bahan pangan. Sayangnya, hal ini mustahil bisa terwujud dalam kapitalisme, sebab negara hanya menjadi regulator atau pengatur kebijakan, bukan pengurus rakyat. Ini adalah tabiat dari negara kapitalisme dengan sistem ekonomi yang berbasis ekonomi kapitalisme yang menjadi pijakan dalam tata kelolanya.
Padahal, Indonesia terkenal dengan sumber daya alam yang melimpah ruah dan memiliki lahan yang subur serta luas. Seharusnya, dengan kekayaan ini pemerintah mampu membangun kemandirian dalam hal pangan tanpa bergantung kepada negara lain (impor)
Negara pun tidak boleh membiarkan korporasi menguasai rantai penyediaan pangan rakyat atau hanya untuk kepentingan sepihak karena faktanya, korporasi tidak mampu membuat rakyat hidup dalam kesejahteraan.
Hal ini sangat jauh berbeda dengan sistem tata kelola Islam. Islam adalah akidah yang memiliki cara pandang yang khas dan tertentu dalam memberikan solusi bagi persoalan manusia.
Dalam Islam, seorang pemimpin bertindak sebagai pengurus hajat dan hidup rakyat, fidak boleh hanya berperan sebagai regulator. Negara harus menerapkan aturan yang telah diturunkan oleh Allah Swt., termasuk dalam hal pangan.
Rasulullah saw. bersabda,
“Imam atau khalifah adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap apa yang ia pimpin.” (HR. Ahmad, Bukhari)
Islam memiliki mekanisme untuk menjaga kestabilan harga. Konsep ini tertuang dalam sistem ekonomi Islam yang secara praktis akan diterapkan oleh negara khilafah. Terkait dengan harga, secara fakta harga ditentukan oleh penawaran supply and demand.
Dengan demikian, harga akan mengikuti hukum pasar, sementara hukum pasar ditentukan oleh faktor penawaran dan permintaan. Maka, langkah yang logis untuk menjaga kestabilan harga di pasar adalah dengan memastikan penawaran dan permintaan barang dan jasa seimbang, bukan dengan mematok harga sebagaimana penguasa kapitalisme sekarang.
Islam melarang pematokan harga karena akan mengakibatkan inflasi. Pada zaman Rasulullah, harga barang-barang pernah naik dan para sahabat datang kepada Nabi, meminta beliau mematok harga supaya bisa terjangkau. Namun, permintaan tersebut ditolak oleh Rasulullah. Beliau bersabda,
“Allahlah Zat yang Maha Mencipta, Menggenggam, Melapangkan rezeki, Memberi rezeki, dan Mematok harga.” (HR. Ahmad dari Anas).
Khilafah akan memenuhi beberapa kebijakan, yaitu:
Pertama, apabila permintaan dan penawaran berkurang sehingga mengakibatkan harga dan upah naik karena permintaannya besar, maka ketersediaan barang dan jasa bisa diseimbangkan kembali oleh negara dengan menyuplai barang dan jasa dari wilayah lain.
Kedua, apabila berkurangnya ketersediaan barang karena penimbunan, maka khilafah menjatuhkan sanksi ta’zir pada kartel dan mafia pangan tersebut. Mereka juga wajib melepaskan barangnya ke pasar.
Ketiga, apabila kenaikan harga terjadi karena penipuan maka negara bisa menjatuhi sanksi ta’zir sekaligus hak khiar antara membatalkan atau melanjutkan akad.
Keempat, apabila kenaikan harga terjadi karena faktor inflasi, khilafah wajib menjaga mata uangnya dan standar emas dan perak. Selain itu, negara tak boleh menambah jumlah uang yang beredar karena bisa menyebabkan nilai mata uang yang sudah ada jatuh.
Seperti inilah yang dilakukan oleh khilafah untuk menjaga dan mengendalikan harga bahan pangan. Upaya seperti ini jelas akan memudahkan rakyat menjangkau kebutuhan hidup. Oleh karena itu, satu-satunya solusi untuk permasalahan bahan pangan yang mengalami kenaikan secara terus-menerus adalah dengan menerapkan sistem Islam secara kaffah di seluruh dunia, sehingga sistem perekonomian dapat berjalan dengan lancar.
Wallahu a’lam bishawwab.
Oleh: Hamsia
(Pegiat Literasi)