Tinta Media: hutang
Tampilkan postingan dengan label hutang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hutang. Tampilkan semua postingan

Minggu, 17 Maret 2024

Dominasi Asing Menguat, Akibat Utang Negara Meningkat



Tinta Media - Utang luar negeri Indonesia menjadi salah satu permasalahan yang belum terselesaikan hingga saat ini. Faktanya, negara terus meningkatkan utang untuk pembangunan negara. Pemerintah bahkan berdalih bahwa utang yang dimiliki negara masih dalam batas aman. 

Padahal, berdasarkan info dari Kementerian Keuangan atau Kemenkeu sebagaimana yang dikutip dari tempo.co (01/03/24), utang pemerintah saat ini sebesar Rp8.253 triliun per 31 Januari 2024. Kondisi tersebut dianggap masih dalam rasio aman, karena katanya berada di bawah ambang batas 60 persen dari produk domestik bruto atau PDB. Jumlah yang sangat fantastis! Angka tersebut naik sekitar 1,33 persen bila dibandingkan per Desember 2023 sebesar Rp8.144,69 triliun.

Dalam hitungan ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, jika utang pemerintah ditanggung oleh tiap warga negara Indonesia, maka setiap orang akan menanggung beban utang pemerintah Rp30,5 juta. (tempo.co, 29/02/24) 

Sebagian pengamat menilai, tren penambahan utang negara dan biaya bunganya bisa dikatakan seperti besar pasak daripada tiang. Tanggungan utang yang harus dibayar akan menjadi beban berat APBN. Pinjaman utang negara sendiri muncul karena berbagai hal, salah satunya adalah karena belanja dan penerimaan negara tidak seimbang. Belanja negara membengkak, sementara penerimaan negara tidak mengalami penambahan. Untuk menutupi pengeluaran tersebut, maka negara memutuskan berutang.

Mengutip pendapat Wakil Rektor II Universitas Paramadina Handi Risza yang dilansir oleh cnbcindonesia.com (05/02/24), besarnya utang negara seharusnya dibarengi dengan kemampuan pemerintah dalam meningkatkan pendapatan. Namun, sayangnya penerimaan negara terutama dari pajak masih stagnan selama bertahun-tahun. Penerimaan negara pada 2014 berada di angka sekitar Rp1.500 triliun. Pada 2023, angka penerimaan meningkat menjadi Rp2.600 triliun. Peningkatan penerimaan negara kalah jauh dari peningkatan utang pemerintah.

Dengan besarnya utang negara di akhir masa kepemimpinan presiden Joko Widodo yang terus bertambah, dipastikan ini akan menjadi beban warisan yang pasti dilanjutkan oleh kepemimpinan berikutnya. Sudah barang tentu ini semakin menambah beban rakyat dengan naiknya berbagai pajak yang ada. 

Negara Rugi Akibat Utang

Di tengah meroketnya harga beras, ditambah mahalnya berbagai kebutuhan pokok masyarakat, rakyat Indonesia harus kembali menelan pil pahit dengan mengetahui fakta bahwa utang Indonesia juga ikut melambung tinggi. Ketika negara berutang, maka rakyat harus bersiap menerima kenaikan pajak, atau rakyat dituntut untuk bersiap dengan adanya kebijakan-kebijakan pajak baru. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa tingginya angka utang yang dimiliki negara akan berkelindan dengan naiknya kebijakan pajak di negeri ini. 

Kita ketahui bersama bahwa salah satu sumber penerimaan pendapatan negara adalah melalui pajak. Pajak dalam sistem kapitalisme seperti sekarang memiliki peran besar untuk kepentingan pembangunan sekaligus untuk menutupi pengeluaran pemerintah, termasuk pembayaran utang luar negeri.

Padahal, utang dalam sistem kapitalisme saat ini sangat membahayakan kedaulatan negara, karena dapat menghantarkan pada dominasi dan intervensi asing. Terlebih, utang yang diambil berpijak pada muamalah yang didasari pada riba, yang jelas telah diharamkan oleh Allah Ta'ala.

Mirisnya, dalam sistem ekonomi kapitalis, utang adalah satu keniscayaan yang harus ditempuh negara untuk pembangunan. Hal ini diakibatkan karena negara selalu berdalih kurang anggaran. 

Adalah sesuatu yang sangat berbahaya jika menarasikan utang luar negeri Indonesia aman dan terkendali. Narasi ini akan menidurkan kewaspadaan masyarakat. Meskipun saat ini utang luar negeri masih di bawah rasio 60 persen, tetapi faktanya jumlah utang terus bertambah setiap tahun. Antara utang dan pendapatan negara tidak sepadan.  

Kapitalisme Sumber Masalah

Kondisi ini tak bisa dihindari dalam sistem kapitalisme yang menjadikan utang sebagai alternatif untuk membiayai pembangunan infrastruktur sebuah negara jika anggaran negara tidak mampu mendanai. Bukan hanya utang pokok yang menjadi beban rakyat, tetapi juga bunga dari utang (riba) tersebut yang semakin membengkak. 

Padahal, Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam (SDA). Namun sayangnya, kekayaan alam yang melimpah tersebut tidak dimanfaatkan sebagai pemasukan negara. Negara justru menyerahkannya kepada swasta dan asing. Alhasil, mereka bisa menguasai kekayaan alam yang tidak ada. 

Dalam paradigma kapitalisme, penilaian positif akan terus diberikan dunia kepada negara yang berutang. Ini karena semakin banyak utang suatu negara, maka akan semakin untung negara-negara pemberi utang. Sejatinya, hal ini akan membahayakan kedaulatan sebuah negara (yang berutang). 

Abdurrahman al Maliki pernah berkata, "Utang luar negeri adalah cara paling berbahaya untuk merusak eksistensi suatu negara." 

Bahaya yang mengintai negara yang memiliki utang luar negeri yaitu rusak bahkan hilangnya kedaulatan negara jika gagal membayarnya. Bahkan, lepasnya aset-aset dalam negeri menjadi keniscayaan demi melunasi utang yang ada dalam sistem ini. 

Beberapa negara telah merasakan "jebakan utang" ini, sehingga mereka terpaksa kehilangan wilayah, bahkan kedaulatannya, seperti yang terjadi di Zimbabwe dan Angola yang akhirnya harus menggunakan mata uang Yuan. Begitu pun dengan Srilanka yang terpaksa menandatangani kontrak penyewaan sewa pelabuhan Hambantota selama 99 tahun dengan perusahaan milik Tiongkok dikarenakan miliaran utangnya terhadap Beijing. Kondisi tersebut terjadi akibat para penguasa negara-negara tersebut awalnya merasa aman dengan kondisi utang luar negeri mereka. 

Jika melihat contoh yang sudah ada terkait jebakan utang ini, maka sudah seharusnya kita merasa khawatir. Bukan tidak mungkin, jebakan utang seperti di atas akan menimpa Indonesia. Masyarakat tidak boleh merasa aman dengan narasi pemerintah yang berbahaya terkait utang luar negeri yang katanya aman dan terkendali. 

Umat Harus Sadar, Islam Satu-satunya Solusi

Khilafah Islamiah merupakan sistem pemerintahan yang khas. Khilafah memiliki mekanisme jitu agar negara bebas dari utang luar negeri. Adapun mekanisme tersebut, yaitu:

Pertama, Khilafah memiliki konsep bahwa utang bukanlah cara Khilafah untuk memenuhi keuangan negara. Khilafah paham bahwa utang luar negeri merupakan salah satu cara yang dilakukan negara kuffar untuk melakukan penjajahan atas kaum muslimin. Selain itu, utang luar negeri juga mampu menghilangkan kedaulatan Khilafah, oleh karenanya, utang luar negeri hukumnya haram untuk dilakukan. 

Kedua, Khilafah memiliki lembaga pengelola keuangan negara yang disebut baitul maal. Baitul maal akan mengelola kas sesuai hukum syara'. Adapun, sumber keuangan Khilafah pada baitul maal berasal dari tiga pos, yakni pos kepemilikan umum, pos kepemilikan negara, dan pos zakat. 

Pada pos kepemilikan umum, salah satunya berasal dari pengelolaan kekayaan alam yang dimiliki Khilafah secara mandiri, kemudian hasilnya akan dimasukkan ke baitul mal, yakni pada pos kepemilikan umum. 

Pos ini diperuntukkan bagi kepentingan warga negara Khilafah yang bentuknya bisa berupa jaminan langsung seperti subsidi, ataupun jaminan secara tidak langsung untuk kebutuhan dasar (seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan). Selain itu, dalam Khilafah juga tidak mengenal istilah kontrak karya, atau profit sharing dalam mengelola SDA. Sebab cara-cara tersebut merupakan cara kapitalisme menguasai kekayaan alam yang dimiliki kaum muslimin. 

Kedua, Pos kepemilikan negara (seperti kharaj, usyur, jizyah, ghanimah, dan sejenisnya). Alokasi pos ini adalah untuk membangun infrastruktur negara, menjamin kesejahteraan pegawai negara, membiayai dakwah dan jihad yang dilakukan oleh negara dalam membebaskan sebuah wilayah, dan sejenisnya. 

Ketiga, yaitu pos zakat, baik zakat fitrah, zakat mal, shodaqoh, infaq, dan wakaf kaum muslim. Pos ini diperuntukkan bagi mereka yang berhak menerima sesuai ketentuan syariat Islam. 

Dengan sumber kas yang dimiliki Khilafah, maka negara akan mampu menjamin seluruh kebutuhan dasar warga negara, melakukan pembangunan, dan pemenuhan sarana dan prasarana rakyat tanpa harus berutang pada negara lain. Begitu pun dengan pajak, Khilafah tidak akan memungut pajak pada rakyat kecuali dalam kondisi tertentu. Itu pun tidak diberlakukan pada seluruh warga negara. 

Demikianlah mekanisme Khilafah dalam pengaturan pemasukan negara yang mampu menjamin kesejahteraan rakyat sekaligus menghindari bahaya jebakan utang luar negeri. Tidak seperti negara dalam sistem kapitalisme, Khilafah tidak mengandalkan pajak dan utang untuk modal pembangunan infrastruktur ataupun yang lainnya, karena utang hanya akan menjadikan negara kehilangan kedaulatan. Dengan mekanisme di atas, Islam mendorong negara Khilafah menjadi negara adidaya, yang berdaulat, kuat, berpengaruh, mandiri, dan terdepan. Wallahu a'lam bi ash-shawab.[]


Oleh: Wiwit Irma Dewi, S.Sos.I.
(Pemerhati Sosial dan Media)

Minggu, 07 Januari 2024

HUTANG AMAN TERKENDALI MEMBAHAYAKAN



Tinta Media - Pernyataan dari Direktur Pinjaman dan Hibah, Direktorat Jenderal Pengelolaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, Dian Lestari menyatakan pinjaman pemerintah baik dalam dan luar negeri masih aman terkendali. Pertanyaan positif terhadap hutang sangat membahayakan. Dengan  kata lain negara akan ketergantungan, mengemis pinjaman untuk memenuhi ambisius pemangku kepentingan. 

Negara terlilit hutang rakyat pula dipaksa bayar lewat perpajakan kian menyengsarakan. Rakyat tidak menolak pembangunan. Infrastruktur apa saja silakan dibangun asal penuhi dulu kebutuhan masyarakat terkait pangan.
Percuma juga tol mulus licin puluhan kilometer panjangnya kalau kelaparan, kemiskinan menjadi program tahunan, memberikan bantuan tunai dan bentuk barang bukan solusi tuntas yang menyentuh akar permasalahan justru membuktikan ketidakmampuan seseorang penguasa dalam menjalankan amanah jabatan. 

Kebijakan di ambil sering kali tidak mengutamakan kepentingan umat melainkan menganakemaskan oligarki. Inilah contoh dari negara yang menerapkan sistem hukum bukan berdasarkan syariat Islam, negara abai akan tanggung jawabnya  sebagai pengurus, pelindung umat yang mana itu akan diminta pertanggungjawaban. 

Wallahu alam 

Oleh: Yeni Aryani
Sahabat Tinta Media

Kamis, 04 Januari 2024

Terperosok dalam Hegemoni Kapitalis dan Terjerat Utang Berkedok Investasi


Tinta Media - Purworejo kini diketahui sedang merintis web Purworejo Investment Center  (PIC) melalui Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPTMPTSP), Dilansir dari Radarjogja.com (25/12/2023). 

PIC adalah wadah informasi tentang probabilitas investasi yang ada di Purworejo. Selain memudahkan para investor yang masuk ke wilayah Purworejo, diharapkan ke depannya PIC ini mampu memikat para investor untuk investasi dengan mudah dan cepat. PIC juga menyediakan data mulai tenaga kerja, upah minimum kabupaten (UMK), tata ruang, pertanian, dll. 

Mampukah Investasi Mendongkrak Perekonomian?

Investasi adalah kegiatan menanam modal dengan tujuan menabung jangka panjang dengan catatan mendapatkan persentase keuntungan dari modal awal dan polanya pun sama seterusnya. 

Kalau dicek kelapangan teori dengan fakta tidak ballance, Karena di Purworejo sendiri banyak sekali kasus investasi bodong yang sampai detik ini undang-undang belum bisa menjerat pelaku dengan hukuman setimpal dan masih melegalkan investasi yang sebenarnya menjadi akar permasalahan. Contoh; kasus investasi bodong yang melibatkan oknum Persit Kartika Chandra Kirana (KCK) dan korban guru hingga puluhan pensiun TNI." Dilansir dari Radarjogja.com, (31/12/2022) 

Investasi ini merupakan corak khas dari negara-negara yang mengadopsi ideologi sekularisme dengan sistem ekonomi kapitalisme menggunakan standar laba-rugi alih-alih untuk meningkatkan kesejahteraan. Sirkulasi dalam investasi sebenarnya hanya berkubang pada circle pemilik modal. Ibarat catur, para pemilik modal yang mengendalikan permainan. 

Negara dengan ideologi ini harus mengatur strategi dan menyusun berbagai instrumen pemulihan ekonomi. Hakikatnya, berburu investasi bukan kali pertama yang dilakukan pemerintah. Sebab sebelumnya UU penanaman modal asing sendiri sangat nyata, melihat peluang kepada investor asing untuk masuk ke negeri ini dianggap masih menemukan kendala. 

Pemerintah yang terlanjur tergantung pada kehadiran investor, misalnya memandang penting menggodok UU omnibus law yang akhirnya disahkan pada akhir 2020 lalu, meski memantik kritik dari berbagai kalangan, pemerintah ngotot mengetok palu. Pelegalan UU tersebut, pemerintah berargumen bahwa berbagai kebijakan yang telah ada sebelumnya masih menghambat masuknya investasi, alhasil undang-undang sapu jagat ini pada akhirnya melibas seluruh kebijakan yang menyulitkan masuknya investasi. 

UU omnibus Low memang pantas disebut sebagai karpet merah bagi para investor sayangnya setelah disahkannya UU omnibus law tidak serta-merta investasi membanjiri negeri, sebab suhu perpolitikan adalah salah satu barometer yang juga dianalisis oleh para investor Fancy perpolitikan Indonesia yang syarat akan manuver politik seolah membuat para investor enggan menanam investasi. 

Kalau kita berkaca dari sejarah gagalnya investasi ini, harusnya tahu seperti apa PIC ini akan melaju karena berada pada kubangan sistem yang sama. 

Meskipun demikian, mereka berasumsi hadirnya para investor dianggap sebagai jalan keluar atas problem ekonomi yang dihadapi masyarakat kapitalisme, menganggap bahwa makin banyak para pemodal masalah ekonomi rakyat kecil pun akan teratasi.  Sayangnya, teori ini tidak sejalan dengan kenyataan alih-alih mengurai masalah ekonomi, kapitalisme justru menciptakan problematika antara pemilik modal dan rakyat. 

Kekayaan suatu negara bisa saja dimiliki oleh segelintir orang sementara rakyat lainnya harus mati-matian berjuang untuk bertahan hidup. Belum lagi kebijakan kapitalisme yang membuka celah investasi pada ranah kepemilikan umum, seperti tambang, hutan, eksploitasi bawah laut,  juga beberapa aset-aset strategis lainnya semakin menambah kesulitan rakyat memenuhi kebutuhan hidup.


Seseorang dengan ideologi ini akan berpikir bahwa solusi dari kesenjangan kesejahteraan adalah investasi, dengan investasi di duga kuat mampu mendongkrak roda perekonomian padahal investasi sendiri jeratan menuju kesengsaraan, karena Investasi bercorak kapitalis berpotensi besar membawa negara jatuh terperosok dalam hegemoni kapitalis atau penjajahan ekonomi dan terjerat dalam utang berkedok investasi, ditambah aktivitasnya tidak mencerminkan syariat Islam.  Problem hari ini, mayoritas orang maunya hidup idealis tapi menggunakan sistem toghut. 

Hal ini berbeda dengan karakter dari kebijakan sistem Islam. Khalifa tidak akan mengadopsi kebijakan kerja sama dan kepentingan apa pun yang bermuara pada penyerahan kepentingan umat Islam ke tangan orang-orang kafir. 

Investasi Dalam Syariat Islam

Syariah Islam telah memberikan mapping yang jelas, tentang negara mana saja yang boleh bekerja sama dan negara mana yang justru haram untuk bekerja sama, Syariat juga telah mengatur dibidang mana saja boleh membuka investasi dan dibidang mana yang Justru harus dihalangi dari investasi asing. Walaupun sebuah tawaran investasi sepintas tampak menguntungkan namun negara tidak akan serta-merta menyetujuinya menerapkan regulasi sesuai standar investor asing. 

Jika ingin melakukan investasi dengan negara Islam harus memperhatikan beberapa hal, yaitu pertama, investor asing tidak diperbolehkan melakukan investasi dalam bidang yang strategis atau sangat vital karena investasi di bidang ini membuka peluang praktik bisnis yang merugikan rakyat. Keadaan ini dikatakan haram sebab bisa menjadi wasilah atau sarana bagi orang kafir untuk menguasai kaum muslimin. Allah berfirman dalam Al-Qur'an surat an-nisa ayat 141 yang artinya dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. 

Kedua, investasi asing tidak boleh dalam bidang yang membahayakan seperti investasi dalam pembalakan hutan, budidaya ganja, produksi khamer maupun ekstasi, dsb. 

Ketiga, investor hanya diperbolehkan dalam bidang yang halal dan tidak boleh membahayakan aqidah kaum muslim. Seperti karakter pengusung ekonomi kapitalisme cenderung mengkhayalkan segala cara untuk mencapai kepentingan meraup keuntungan sebanyak mungkin. 

Keempat, investasi asing tidak diperbolehkan pada kepemilikan umum atau harta rakyat. Syariat Islam telah menetapkan konsep kepemilikan sedemikian rupa sekaligus menetapkan pengelolaannya kepemilikan umum atau harta milik umum sepenuhnya dikelola oleh negara dengan tetap berorientasi kelestarian sumber daya sehingga akan menghasilkan pemasukan kas negara yaitu baitul mal yang sangat besar. Syariah Islam melarang kepemilikan umum ini untuk dikelola dengan basis swasta baik dalam bentuk konsesi ataupun privatisasi. 

Kelima, investor yang akan berinvestasi tidak boleh berasal dari negara kafir muhaariban fi'lan yaitu negara yang secara nyata memerangi Islam dan kaum muslimin seperti Amerika Serikat, Inggris, Zionis Isriwil, dan India. 

Keenam, Negara Islam tidak akan melakukan hubungan diplomatik maupun ekonomi dengan negara sekutu, warga negara mereka pun tidak diizinkan memasuki wilayah negara islam, karena dampak lainnya yaitu mempermudah masuknya pemikiran dan budaya asing kepada masyarakat, seperti yang terjadi pada dominasi sektor komunikasi dan media serta dampak paling fatal adalah penjajahan ekonomi dan politik atas negeri kaum muslimin. 

Sesungguhnya Khilafah menjadikan negara yang kuat di sektor ekonomi bukan hanya menjalin kerja sama dengan asing seperti investasi karena penerapan sistem ekonomi Islam akan memberikan pemasukan maksimal bagi daulah dan menutup pintu ketergantungan. Hal ini akan menjamin perekonomian yang berdaulat dan mandiri serta membuahkan kesejahteraan bagi rakyat.


Wallahu'alam bisowab.

Oleh: Novita Ratnasari, S.Ak. 
(Pegiat Literasi) 

Minggu, 31 Desember 2023

Pengamat: Hutang Terus-Terusan Akan Mengantarkan Resesi Ekonomi



Tinta Media - Pengamat Ekonomi Dr. Fahrul Ulum, MEI membeberkan hutang yang terus-terusan akan mengantarkan negara pada kondisi resesi ekonomi. 

"Kalau kemudian terus ditambah hutang itu maka akan mengurangi pos-pos yang lain biasanya, karena kita sibuk membayar cicilan hutang dan bunga, cicilan hutang kita saja sekarang sudah 500 triliun, dan suku bunganya 455 triliun itu uang yang sangat banyak sekali dan itu jika terus-terusan maka ini bisa mengantarkan resesi ekonomi," ujarnya dalam acara Kabar Petang dengan tema Parah! Ini Yang Akan Terjadi Jika RI Krisis Utang di kanal Youtube Khilafah News Kamis (28/12/2023). 

Menurut Fahrul, resesi ekonomi adalah satu keadaan ekonomi yang mengalami penurunan secara kuartal berturut-turut, dan jika sudah terlalu banyak hutang apa pun bisa dilakukan oleh pemerintah. 

"Termasuk biasanya akan mengurangi cost untuk kesehatan, mengurangi cost pendidikan, cost pemberian infrastruktur, terus otomatis ekspor juga akan berdampak karena nilai modal yang berkurang, dan pajak akan dinaikkan gitu biasanya," tuturnya. 

Ketika pajak dinaikkan, kata Fahrul, ekonomi akan menjadi lesu, otomatis ekspor juga akan lesu belum lagi transparansi ekspor akan menjadi salah. 

"Misalnya kita ini ekspor barang-barang mentah seperti batu bara, itu akan berisiko tinggi karena apa? Ketika negara mengambil dagangan kita agak berlebihan, kan bisa anjlok bisa jatuh sejatuh-jatuhnya. Jadi, kalau ekspor ya ekspor barang jadi," bebernya. 

Jadi, ujarnya, kalau sampai krisis ekonomi akan banyak rentetan-rentetan yang harus dialami secara ekonomi. 

"Kalau sampai terjadi krisis keuangan, awalnya dari keuangan tapi nanti bisa merembet ke perdagangan sampai politik," tandasnya.[] Setiyawan Dwi.

Inilah Penyebab Ketergantungan Utang kepada Negara Lain..



Tinta Media - Pengamat Ekonomi Dr. Fahrur Ulum mengungkap, penyebab
ketergantungan utang kepada negara lain dan itu sangat berbahaya bagi satu negara, adalah politik keuangan yang dianut oleh negara-negara berkembang. 

"Penyebabnya adalah politik keuangan yang dianut oleh negara-negara berkembang," ujarnya dalam Kabar Petang: Parah! Ini Yang Akan Terjadi Jika RI Krisis Utang, Kamis (28/12/2023) di kanal Youtube Khilafah News. 

Fahrur menilai negara berkembang secara politik ekonominya, politik keuangannya selalu menggunakan defisit anggaran dengan mengejar pertumbuhan ekonomi. 

"Mengorbankan banyak hal termasuk harus terus menambah hutang untuk mengejar pertumbuhan ekonomi," ulasnya. 

Menurutnya, pertumbuhan ekonomi yang terjadi di negara-negara miskin, negara-negara berkembang itu sering kali pertumbuhan yang menggelembung saja. 

"Pertumbuhan tersebut tidak langsung berkaitan dengan ekonomi riil masyarakat tetapi pertumbuhan di situ adalah pertumbuhan dalam sektor keuangan," imbuhnya. 

Fahrur menyimpulkan politik keuangan yang dianut dengan mengedepankan pertumbuhan apalagi pertumbuhannya pada sektor keuangan, kemudian harus melakukan hutang itu yang menjadikan penyebab hutang terus bertambah dan krisis tidak akan pernah selesai. [] Muhammad Nur

Jumat, 15 Desember 2023

Utang Luar Negeri Warisan Jokowi Tinggi, IJM: Ini Sangat Berbahaya!



Tinta Media - Menyoroti tingginya utang luar negeri Pemerintah Republik Indonesia (RI) selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Direktur Indonesia Justice Monitor Agung Wisnuwardana mengingatkan, agar negara ini berhati-hati karena sangat berbahaya. 

"Waspadalah! Hati-hati dengan utang luar negeri. Ini sangat-sangat Berbahaya!" ujarnya dalam program Aspirasi: Meroket Tinggiiii... Utangnya? Di kanal YouTube Justice Monitor Kamis (14/12/2023). 

Agung menyampaikan, Ekonom dari Bright Institute Awalil Rizki memperkirakan bahwa jumlah utang Pemerintah RI yang akan diwariskan saat Jokowi lengser Oktober nanti nyaris menyentuh angka Rp9.000 triliun. 

"Dengan penambahan utang yang terus terjadi setiap tahunnya, utang Pemerintah pada 2024 akan mencapai Rp8.900 triliun, mendekati Rp9.000 triliun," ucapnya. 

Berkaitan dengan utang luar negeri untuk pendanaan proyek, Agung pun menilai, hal itu adalah cara paling berbahaya terhadap eksistensi negara miskin dan berkembang. 

"Utang merupakan jalan menjajah suatu negara. Utang luar negeri berpotensi menghasilkan kerugian dan bertambahnya kemiskinan pada negara yang berutang, walaupun utang tersebut digunakan untuk pembiayaan produktif," ungkapnya. 

Ia juga menegaskan, utang suatu negara terhadap pihak lain berbeda kedudukannya dengan utang piutang antar warga. 

Belum lagi, kata Agung, jika utang negara tersebut sangat besar dan harus dibayar terus-menerus bunganya sebelum pokoknya dilunasi. 

"Secara hukum ini adalah dosa besar dan membahayakan umat manusia, khususnya kaum Muslimin," tegasnya. 

Maka Agung memandang, cara pembiayaan yang demikian sangat berbahaya. 

Pada utang jangka pendek dampaknya, jelas Agung adalah kekacauan monoter ketika jatuh tempo masa pelunasan. 

"Mata uang negara yang berutang akan 'diserang', sehingga anjlok dan gagal melunasi," ungkapnya lagi. 

Sedangkan utang jangka panjang, sambung Agung, negara donor bersikap toleran saat pelunasan hingga utang menjadi menumpuk. 

"Sehingga APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) yang berutang pun menjadi kacau. Akibatnya, harus dilunasi dengan berbagai aset negara dan harus menerima didikte oleh negara atau lembaga pemberi hutang," terangnya. 

Ia pun memungkasi bahwa Negeri ini perlu sistem pengganti yang baik. "Tanpa pajak dan tanpa utang," tutupnya mengakhiri. [] Muhar
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab