HRS Center: Stigma Negatif Senantiasa Disematkan bagi Pejuang Islam Kaffah
Tinta Media - Direktur HRS Center Dr. Abdul Chair Ramadhan S.H., M.H., menyatakan umat Islam yang istiqamah dalam perjuangan menerapkan ajaran Islam secara kaffah selalu dilekatkan dengan stigma negatif.
“Umat Islam yang itiqomah dalam perjuangan menerapkan ajaran Islam secara kaffah karena keyakinannya, ketaatannya pada ajaran agamanya itu selalu dilekatkan dengan stigma negatif,” tuturnya dalam Live Streaming FGD #29 FDMPB (Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa): Radikalisme Dan Terorisme Dalam Konstruksi Kebijakan dan Kajian, Sabtu (19/3/2022) di kanal Youtube Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa.
Menurutnya, pelekatan stigma negatif seperti pelabelan intoleran, fundamentalisme, ekstrimisme, radikalisme sampai terorisme merupakan bentuk upaya pelemahan terhadap perjuangan dalam menerapkan syariat Islam.
“Patut diduga pelabelan intoleran, fundamentalisme, ekstrimisme, radikalisme sampai terorisme merupakan salah satu bentuk upaya pelemahan terhadap perjuangan menerapkan nilai-nilai maslahat dalam syariat Islam secara legal konstitusional,” katanya.
Sebagaimana Habib Rizieq Syihab yang memperjuangkan pemikiran-pemikiran untuk keagamaan, kebangsaan, kemaslahatan dalam konteks penerapan syariat Islam secara legal konstitusional, kata Abdul Chair, justru ditolak bahkan dilarang disebabkan tudingan membahayakan eksistensi Pancasila.
“Padahal antara syariat Islam dengan Pancasila itu adalah dua kalimat yang sama, kalimatun sawa. Causa prima Pancasila itu adalah syariat Islam. Pada akhirnya berbagai pemikiran dan perjuangan tentang Islam politik itu harus ditolak dan bahkan dilarang,” ungkapnya.
Ia mengatakan, pada intinya syariat Islam hendak dijauhkan dari sistem politik. "Itu yang terjadi. Terlebih lagi syariat Islam dipandang tidak sejalan dengan modernisasi. Pada yang demikian ini tercipta polarisasi,” ucapnya.
Menurutnya, polarisasi ini menghasilkan pihak yang pro syariat Islam dan ada pihak yang kontra syariat Islam.
“Pihak yang pro syariat Islam selalu dilabelkan dicap anti Pancasila. Di sisi lain pihak yang kontra syariat Islam mengklaim dirinya sebagai seorang Pancasilais,” ujarnya.
“Pada yang demikian itu diskursus tentang Islam politik dan konkretisasinya dipandang sebagai ancaman dengan sebutan paham lain yang bertentangan dengan Pancasila adalah suatu paham yang ingin mengubah Pancasila dan UUD 1945. Itu terdapat dalam UU Ormas dan itu memang yang selalu menjadi jargon,” ungkapnya.
Di sisi lain pihak yang selalu berseberangan atau pihak yang kontra terhadap syariat Islam, menurutnya, selalu mendapat porsi bahkan terlindungi keberadaannya. Lain halnya dengan pihak yang kritis, pro syariat Islam selalu dipersekusi sampai dikriminalisasi.
“Para buzzer selalu mendapatkan porsi bahkan terlindungi keberadaannya, diakomodasi sehingga penerapan hukum, penegakan hukum sangat sumir menjangkau mereka ketika mereka dihadapkan kepada suatu delik. Menjadi lain halnya dengan pihak yang kritis, mereka selalu saja dipersekusi dan bahkan dikriminalisasi. Banyak yang telah menjadi korban,” tuturnya.
Ia mengkritisi kondisi ini yang memperlihatkan keterbelahan dan sekaligus membawa kita kepada jurang perpecahan. “Sudah banyak kita tahu aktivis, alim ulama diproses pidana itu hanya sekedar menyampaikan pikiran dan gagasan yang seharusnya bukan ada ancaman hukum itu menjadi delik. Namun tidak berlaku bagi pendukung rezim,” ujarnya.
Ia berpendapat terjadi ketimpangan yang mengarahkan suatu penerapan hukum cenderung direkayasa.
“Sesuatu hal yang diada-adakan dalam rangka seseorang itu memang harus dihadapkan kepada proses hukum hingga putusan pengadilan,” katanya.
Terlebih lagi ia mengkhawatirkan politik adu domba melalui polarisasi Islam Nusantara dan Islam Arab. Di mana Islam Arab oleh salah satu tokoh diidentikkan, dipersepsikan sebagai penakluk bahkan dengan bahasa disebut penjajah. “Propaganda ini mengandung makna simbolik dan terkait dengan kepentingan politik,” katanya.
Ia menilai pernyataan tersebut bentuk kesesatan berpikir. “Jadi, pernyataan tersebut bukan saja bentuk kesesatan berpikir namun ada maksud terselubung. Patut kita catat,” pungkasnya.[] Ageng Kartika