Tinta Media: gas LPG
Tampilkan postingan dengan label gas LPG. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label gas LPG. Tampilkan semua postingan

Selasa, 31 Mei 2022

JAWA BARAT BERSUARA : TOLAK KENAIKAN BBM



Tinta Media - Saya sangat bersyukur kepada Allah SWT dan merasa sangat bahagia, karena masih banyak yang peduli terhadap nasib umat, khususnya nasib rakyat kecil. Ditengah ketidakpedulian DPR dan partai politik pada isu rencana kenaikan BBM (pertalite & solar), gas LPG 3 kg dan Tarif dasar listrik, ternyata masih ada kelompok masyarakat yang menyuarakan penolakan dan membela kepentingan umat.

Di Jawa Barat, sejumlah tokoh & ulama berkumpul. Ada DR. ARIM NASIM, M.SI (Pakar Ekonomi Syariah), KH ALI BAYANULLAH, (Koordonator Forum Ulama, Tokoh dan Aktivis Jawa Barat), DR. JULIAN, SH, M.Sy* (Ketua Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia/HILMI) hingga sahabat saya, rekan sejawat Advokat AGUS GANDARA, SH, MH selaku Ketua LBH Pelita Umat Jawa Barat, pada Rabu, 25 Mei 2022, mengadakan press conference yang disiarkan oleh RayahTV dalam rangka menolak kebijakan zalim tersebut.

Modus untuk membebani rakyat dalam sektor kebijakan energi ini sudah nampak terbongkar. Diantaranya memaksa pelanggan listrik 450 VA agar naik daya ke 1300 VA. Untuk urusan pertalite, Pertamina akan mengeluarkan peraturan yang menetapkan syarat untuk membelinya. Semua ujungnya sama : menyusahkan dan membebani rakyat.

Modus membuat pertalite langka bahkan akhirnya menghilang seperti premium juga terbuka. Artinya, ada dua potensi ancaman bagi rakyat :

Pertama, pemerintahan presiden Jokowi benar-benar menaikkan harga BBM jenis pertalite dan solar, menaikkan tarif listrik dan menaikan harga gas melon (3 kg).

Kedua, BBM jenis pertalite tidak dinaikkan tapi dibuat syarat ketat pembelian, dikurangi pasokannya, hingga dihilangkan dari peredaran yang akhirnya masyarakat terpaksa membeli BBM jenis Pertamax yang sudah duluan naik menjadi Rp 12.500 - Rp 13.000 per liter.

Ditambah, modus memaksa migrasi listrik pelanggan dari 450 VA menjadi 1300 VA. Kebijakan ini sama saja menghilangkan subsidi listrik 450 VA.

Ada yang berpendapat, mau protes apapun kalau pemerintah tetap ngotot bisa apa ? faktanya, semua harga-harga sudah merangkak naik. Apa gunanya mengajukan kritik ?

Untuk menjawab hal ini, rasanya saya perlu menyampaikan pandangan sebagai berikut :

Pertama, mengajukan kritik atau muhasabah kepada penguasa adalah kewajiban syar'i. Niat utamanya adalah menjalankan perintah untuk menggurkan kewajiban, mengharapkan ridho Allah SWT.

Rasulullah Saw bersabda : 

"Barang siapa dari kalian melihat kemungkaran maka hendaklah dia merubah kemungkaran tersebut dengan tangannya, apabila tidak sanggup, (rubahlah) dengan lisannya, apabila tidak sanggup, (rubahlah) dengan hatinya, yang demikian adalah selemah-lemah keimanan " 

(H.R. Muslim dan lainnya dari Abi Said Al Khudri.)

Mengajukan kritik adalah untuk mengkonfirmasi bahwa kita termasuk orang-orang yang beriman. Tidak diam melihat kemungkaran, apalagi melegitimasi kezaliman.

Kedua, tujuan kritik adalah untuk membatalkan rencana zalim pemerintah yang akan menaikkan BBM jenis pertalite, solar, TDL dan gas melon. Kalau tercapai, Alhamdulillah.

Namun, ada juga target mengedukasi umat, mendidik umat dengan pemahaman syariat tentang bagaimana mengelola sektor energi dalam Islam. Tujuan ini jelas akan dapat terpenuhi, karena dengan adanya diskusi dan penyampaian pandangan umat menjadi tercerahkan.

Ketiga, ada pula tujuan untuk membongkar makar penguasa zalim, sejatinya mereka tidak pro rakyat melainkan pro oligarki.

Misalnya saat pemerintah mencari celah untuk menaikkan harga pertalite. Jokowi, berulangkali mengeluhkan harga pertalite di Indonesia hanya Rp. 7.650 per liter. Kalah jauh dengan Singapura yang sudah Rp 35.000/liter, Jerman Rp 31.000/liter, atau Thailand yang Rp 20.000/liter.

Padahal, pendapatan per kapita Singapura nyaris US$ 60.000. Sementara Indonesia, hanya US$ 3000-4000. Itu artinya, penghasilan rakyat Singapura nyaris 90 juta per bulan, sehingga enteng beli bensin Rp 35.000/liter. Sementara Indonesia, penghasilannya cuma 5 jutaan per bulan.

Kalau penghasilan rakyat Indonesia Rp 90 juta perbulan, ga ada masalah harga pertalite disamakan dengan Singapura Rp 35.000/liter. Kalau penghasilan cuma 5 jutaan, dipaksa 35.000 per liter, ini gila. Membayar Rp 7.650 per liter saja kepayahan.

Lagipula, Singapura tidak punya tambang minyak. Beda dengan Indonesia yang memiliki tambang minyak. Aneh dan konyol, kalau harga BBM Indonesia dipaksakan sama atau setidaknya dibanding-bandingkan dengan Singapura.

Al hasil dakwah tetap harus disampaikan apapun respon penguasa. Kaum muslimin diharamkan diam melihat kemungkaran. Karena alasan itulah, kami di Jakarta dan malam ini di Jawa Barat juga menyuarakan penolakan terhadap rencana kenaikan BBM, listrik dan gas LPG 3 kg.[]

Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Ketua KPAU

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab