Tinta Media: fpi
Tampilkan postingan dengan label fpi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label fpi. Tampilkan semua postingan

Rabu, 08 Februari 2023

Manuver Nasdem Terkait HT1 dan FP1 karena Kuatnya Tekanan Oligarki

Tinta Media - Pernyataan dari salah satu kader Partai Nasdem tentang manuver soal HTI dan FPI dibenci oleh Anies Baswedan dan Nasdem, menurut Analisis Senior Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) Fajar Kurniawan, karena kuatnya tekanan oligarki.

“Saya menduga demikian, jadi pernyataan yang disampaikan itu menggambarkan betapa kuatnya tekanan dari orang-orang kafir termasuk para oligarki, baik oligarki politik maupun oligarki ekonomi terhadap proses politik yang terjadi di negeri ini,” tuturnya dalam Kabar Petang: Nasdem dan Anies Benci HTI dan FPI? Sabtu (28/1/2023), di kanal Youtube Khilafah News.

Ia menyatakan Nasdem telah terjebak dalam wacana politik identitas yang justru telah digulirkan jauh hari dan wacana ini merupakan skenario yang dibuat oleh para negara kafir termasuk oligarki di dalamnya.
“Hal ini untuk meminggirkan peran umat Islam terutama umat Islam yang memiliki kesadaran politik agar tidak mengambil peran yang signifikan di dalam kontestasi tahun 2024,” ujarnya.

Para oligarki dan kapital global inilah yang mendesain siapa saja yang muncul di dalam kontestasi  2024. Dan mereka menyadari bahwa kunci dari berjalannya skenario tersebut ada di tangan umat Islam. Mereka membutuhkan suara umat Islam namun ia menilai di sisi lain justru mereka terus menerus memojokkan umat Islam.
“Ini kan aneh? Memojokkan umat Islam, memojokkan ajaran Islam bahkan melecehkan simbol-simbol Islam tapi mereka berharap di satu sisi terhadap suara umat Islam agar terlibat dalam kontestasi itu,” ucapnya.

Di sisi lain mereka (para oligarki dan kapital global) ini menyadari apabila umat Islam memiliki kesadaran politik yang benar akan menjadi lonceng kematian bagi mereka. Mereka akan menggunakan sejumlah instrumen, wacana-wacana politik untuk memastikan pemenang dalam kontestasi adalah orang yang sudah dalam genggaman mereka.

“Mereka sadar bahwa Islam politik adalah ancaman bagi mereka di masa depan sehingga berupaya betul agar Islam politik tidak bisa bangkit,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Rabu, 01 Februari 2023

SINGGUNG HT1 DAN FP1 TERLARANG, NASDEM BUNUH DIRI POLITIK?

Tinta Media - Apa yang dikatakan oleh  Wasekjen NasDem Hermawi Taslim,  bahwa organisasi terlarang seperti HTI dan FPI akan tetap terlarang jika Anies Baswedan terpilih menjadi presiden pada Pilpres 2024. Taslim mengatakan hal itu katanya sudah menjadi komitmen bersama menujukkan setidaknya dua hal.

 

Pertama,  wasekjen Nasdem nampaknya tidak memahami konstitusi negeri ini terutama putusan Mahkamah Konstitusi No 82 tahun 2013 bahwa ormas yang dicabut badan hukumnya atau tak memiliki SKT, bukan berarti terlarang. Dalam putusan PTUN dan kasasi di mahkamah agung tidak pernah menyebut HTI dan FPI sebagai organisasi terlarang. Produk hukum ini menguatkan keputusan menteri no 30 tahun 2017 yang mencabut SK Menteri hukum dan HAM 282 tahun 2014 tentang perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia.

 

Sementara di SK Menteri no 30 tahun 2017 yang diperkuat dengan tiga tingkat pengadilan memang mencabut BHP HTI, namun bukan berarti HTI jadi ormas terlarang. Di pasal 80 A UU No 16 tahun 2017 yang dulu perpu, telah memotong jalur proses peradilan yang menempatkan semua warga sama haknya di hadapan hukum sebagai bagian dari hak asasi manusia. Dengan perpu, negara seolah menempatkan diri sebagai lembaga penilai tunggal atas kebenaran dan kesalahan hukum. Alhasil dengan perpu itu, HTI dinyatakan bubar, tapi tidak dinyatakan terlarang. Yang tidak boleh menurut nomenklatur hukum adalah melakukan berbagai kegiatan atas nama HTI, itu saja.

 

Kedua, wasekjen Nasdem tengah melakukan bunuh diri politik dengan ucapan itu. Mungkin umat Islam yang tadinya mendukung Anies akan segera meninggalkan dukungannya, karena ucapan itu selain salah, juga memberikan konfirmasi bahwa Nasdem diduga kuat anti ideologi Islam. Padahal HTI dan FPI hanyalah medakwahkan ajaran Islam, bukan mengjarkan paham komunis yang dilarang di negeri ini. 


Jika ormas seperti FPI, tidak diperpanjang SKT, bukan berarti dilarang, hal ini ditegaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi no 82 tahun 2013 bahwa ormas tidaklah masalah tidak memiliki SKT atau berbadan hukum. Kalau mau mengajukan ke kementerian hukum dan HAM agar ormas berbadan hukum atau bisa juga terdaftar di kementerian dalam negeri yang namanya SKT.  

 

FPI dulu melakukan yang kedua. Hal ini menegaskan bahwa FPI itu tidak terlarang, namun yang jadi persoalan adalah adanya ketidakadilan yang namanya SKB 6 menteri yang membubarkan FPI yang konskuensinya pelarangan kegiatan atas nama FPI, larangan penggunaan atribut, dan penghentian kegiatan FPI. Pembubaran ini lebih cenderung sebagai produk politik, dibandingkan dengan persoalan hukum. FPI sendiri dalam persidangan tidak terbukti melanggar hukum dalam putusan peradilan, terutama saat dikaitkan dengan terorisme.

 

Front Pembela Islam sebagai ormas yang dipimpin HRS telah banyak berkiprah di negeri ini, baik kaitanya dengan dakwah membela kebenaran maupun berbagai kegiatan sosial, seperti tanggap bencana alam. FPI terbukti sangat dicintai oleh umat, bahkan umat agama lainnya. Meski jarang diliput media, namun umat Islam di Indonesia melihat bahwa FPI adalah ormas yang memiliki andil besar di negeri ini.

Begitupun dengan HTI setelah dicabut BHPnya, bukan lantas menjadi organisasi terlarang berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi no 82 tahun 2013 tadi. HTI adalah ormas legal yang sejak lama berdiri di Indonesia dan memiliki kiprah positif bagi kesadaran keislaman bangsa ini. Sebab HTI sama dengan ormas Islam lainnya merupakan organisasi dakwah yang mendakwahkan ajaran Islam dari A sampai Z. Namun, oleh pemerintah, HTI kemudian dipersoalkan hingga dicabut legalitas badan hukumnya dengan didasarkan oleh berbagai asumsi yang dikonstruk pemerintah tanpa melalui proses peradilan. Namun bukan berarti HTI menjadi ormas terlarang setelah pencabutan BHP. Bahkan HTI itu terbukti tidak melanggar hukum. Pencabutan BHP HTI juga merupakan produk politik.

 

HTI hanya dicabut Badan Hukum Perkumpulannya. FPI hanya ditolak penerbitan SKT-nya. Keduanya, hanya mendapat tindakan dari badan atau pehabat TUN (Tata Usaha Negara), berupa keputusan TUN (Beshicking). HTI & FPI berbeda dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). HTI dan FPI mendakwahkan ajaran Islam Khilafah, tidak seperti PKI yang menyebarkan paham Karl Marx. Jika ada orang menganggap HTI dan FPI sebagai organisasi terlarang dan menyamakan dengan PKI, maka orang itu tengah melangalami virus kedunguan tingkat tinggi, jika ada orang yang seperti itu loh....

 

Taslim menambahkan bahwa pelarangan HTI dan FPI adalah bagian dari perjuangan NasDem. Selain itu, Taslim mengatakan bahwa NasDem juga akan meneruskan program Presiden Jokowi yang dianggap baik. Ucapan ini menunjukkan bahwa Nasdem telah menjadi salah satu partai yang mengidap islamopobia. Sebab FPI dan HTI itu tidaklah berbahaya sama sekali bagi bangsa ini. Justru sebaliknya, FPI dan HTI telah memberikan konstribusi positif bagi negeri ini.

 

HTI dengan dakwah pemikirannya, telah memberikan pencerahan tingkat tinggi bagi kesadaran politik umat Islam bahkan bangsa Indonesia pada umumnya. HTI mencintai negeri ini dengan memberikan kesadaran bahwa negeri ini tengah dijajah oleh kapitalisme sekuler dibawah kendali oligarki yang menjadikan rakyat semakin miskin dan sengsara.

 

Mengapa islamopobia semakin marak di negeri ini ?. Di satu sisi pemerintah gencar berbicara soal toleransi antar umat beragama, namun disisi lain justru penghinaan atas Islam ini semakin marak dan menggila. Lebih ironis lagi seringkali pelakunya adalah orang-orang yang dekat dengan kekuasaan. Misal gerombolan buzzeRp yang justru sengaja melakukan berbagai tindakan dan ucapan yang mengarah kepada ujaran kebencian, pecah belah bangsa, intoleransi dan penistaan atas Islam dan ajarannya. Namun, sayangnya mereka seolah kebal terhadap hukum. mereka terus melenggang tanpa ada sentuhan hukum, meski telah dilaporkan ke pihak kepolisian.

 

Paradoks kedua adalah di saat dunia Barat telah menyatakan anti Islamophobia yang oleh PBB telah dinyatakan dengan tegas bulan Maret 2022, namun ironisnya di negeri ini seolah baru mulai dan semakin meninggi tensinya. Padahal negeri ini adalah negeri mayoritas muslim, namun Islam dan ajarannya selalu dianggap sebagai masalah. Umat Islam yang mencoba menjalankan agamanya dengan kaffah justru dituduh dengan berbagai tuduhan yang menyakitkan seperti radikal, fundamnetalis dan bahkan teroris. Sangat menyedihkan memang.

 

Secara genealogis, islamopobia memang berawal dari dunia Barat yang memang anti Islam, lantas menjalar sampai negeri-negeri pembebeknya, seperti Indonesia. Islamophobia bisa dikatakan sebagai kejahatan politik Barat dikarenakan permusuhan kepada Islam disatu sisi, dan disisi lain, umat Islam juga tengah mengalami kebangkitan dimana-mana. Narasi Islamophobia itu muncul di Barat yang nyata-nyata anti kepada Islam. Berbagai tindakan Barat yang anti Islam terus dilakukan melalui berbagai strategi. Narasi Islam moderat atau moderasi agama justru dibuat sebagai pertanda bahwa Barat anti Islam. Islam anti Islam karena melihat gejala kebangkitan Islam dimana-mana. Program moderasi beragama disetting Barat sebagai upaya untuk menghadang kebangkitan Islam.

Dunia Barat tidak menginginkan kebangkitan Islam dengan cara selalu memojokkan Islam dan menfitnah Islam. Indonesia sendiri sebagai negara bukan utama seringkali mengikuti narasi yang dibangun oleh negara adi daya. Alhasil, Indonesia meski mayoritas muslim, namun ajaran Islam selalu diframing berbahaya bagi bangsa ini, bahkan para ulama banyak yang dikriminalisasi. Narasi islamophobia itu lahir dari ideologi sekulerisme. Negara-negara yang menerapkan sistem sekulerisme selalu menempatkan Islam sebagai halangan dan ancaman. Dari sini, kebijakan deradikalisasi bisa dipahami alurnya.

 

Tentu saja umat Islam harus semakin yakin bahwa ideologi kapitalisme sekuler dengan politik demokrasi terbukti menolak Islam. Secara filosofis, demokrasi berpaham antroposentrisme dimana manusia dijadikan sebagai sumber segalanya. Istilah manusia sebagai pusat edar kehidupan berasal dari ungkapan Plato. Dengan pemahaman sederhana, bahwa demokrasi menjadikan manusia sebagai sumber kebenaran. Dengan arti lain, sejak awal lahir, demokrasi adalah ideologi anti tuhan, anti agama dan anti Islam.

 

Bahkan demokrasi juga berpaham antropomorpisme dimana manusia berdaulat atas penyusunan hukum dan perundang-undangan. Melalui model trias politica, maka demokrasi menyumberkan konstruksi hukum dan undang-undangnya disusun oleh manusia juga. Kedaulatan hukum ada di tangan manusia dan mengabaikan hukum-hukum Allah adalah perkara aqidah bagi seorang muslim. Sebab aqidah seorang muslim adalah keterikatan dirinya dengan hukum Allah.

 

Jadi ucapan Wasekjen Nasdem ada hikmah dan pelajaran bagi umat Islam mayoritas di negeri ini untuk menolak demokrasi dan istiqomah tetap memperjuangkan Islam di negeri ini untuk agar negeri ini semakin menjadi lebih baik. Sebab Indonesia adalah milik Allah dan hanya hukum Allah yang paling layak mengatur negeri ini. Soal Nasdem dan Anies, maka umat harus semakin cerdas, apakah masih ingin mendukung partai ini ?.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan,19/01/23 : 10.00 WIB)


Oleh: Dr. Ahmad Sastra 

Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa 

 

SINGGUNG HT1 DAN FP1 TERLARANG, NASDEM BUNUH DIRI POLITIK?

Tinta Media - Apa yang dikatakan oleh  Wasekjen NasDem Hermawi Taslim,  bahwa organisasi terlarang seperti HTI dan FPI akan tetap terlarang jika Anies Baswedan terpilih menjadi presiden pada Pilpres 2024. Taslim mengatakan hal itu katanya sudah menjadi komitmen bersama menujukkan setidaknya dua hal.

 

Pertama,  wasekjen Nasdem nampaknya tidak memahami konstitusi negeri ini terutama putusan Mahkamah Konstitusi No 82 tahun 2013 bahwa ormas yang dicabut badan hukumnya atau tak memiliki SKT, bukan berarti terlarang. Dalam putusan PTUN dan kasasi di mahkamah agung tidak pernah menyebut HTI dan FPI sebagai organisasi terlarang. Produk hukum ini menguatkan keputusan menteri no 30 tahun 2017 yang mencabut SK Menteri hukum dan HAM 282 tahun 2014 tentang perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia.

 

Sementara di SK Menteri no 30 tahun 2017 yang diperkuat dengan tiga tingkat pengadilan memang mencabut BHP HTI, namun bukan berarti HTI jadi ormas terlarang. Di pasal 80 A UU No 16 tahun 2017 yang dulu perpu, telah memotong jalur proses peradilan yang menempatkan semua warga sama haknya di hadapan hukum sebagai bagian dari hak asasi manusia. Dengan perpu, negara seolah menempatkan diri sebagai lembaga penilai tunggal atas kebenaran dan kesalahan hukum. Alhasil dengan perpu itu, HTI dinyatakan bubar, tapi tidak dinyatakan terlarang. Yang tidak boleh menurut nomenklatur hukum adalah melakukan berbagai kegiatan atas nama HTI, itu saja.

 

Kedua, wasekjen Nasdem tengah melakukan bunuh diri politik dengan ucapan itu. Mungkin umat Islam yang tadinya mendukung Anies akan segera meninggalkan dukungannya, karena ucapan itu selain salah, juga memberikan konfirmasi bahwa Nasdem diduga kuat anti ideologi Islam. Padahal HTI dan FPI hanyalah medakwahkan ajaran Islam, bukan mengjarkan paham komunis yang dilarang di negeri ini. 


Jika ormas seperti FPI, tidak diperpanjang SKT, bukan berarti dilarang, hal ini ditegaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi no 82 tahun 2013 bahwa ormas tidaklah masalah tidak memiliki SKT atau berbadan hukum. Kalau mau mengajukan ke kementerian hukum dan HAM agar ormas berbadan hukum atau bisa juga terdaftar di kementerian dalam negeri yang namanya SKT.  

 

FPI dulu melakukan yang kedua. Hal ini menegaskan bahwa FPI itu tidak terlarang, namun yang jadi persoalan adalah adanya ketidakadilan yang namanya SKB 6 menteri yang membubarkan FPI yang konskuensinya pelarangan kegiatan atas nama FPI, larangan penggunaan atribut, dan penghentian kegiatan FPI. Pembubaran ini lebih cenderung sebagai produk politik, dibandingkan dengan persoalan hukum. FPI sendiri dalam persidangan tidak terbukti melanggar hukum dalam putusan peradilan, terutama saat dikaitkan dengan terorisme.

 

Front Pembela Islam sebagai ormas yang dipimpin HRS telah banyak berkiprah di negeri ini, baik kaitanya dengan dakwah membela kebenaran maupun berbagai kegiatan sosial, seperti tanggap bencana alam. FPI terbukti sangat dicintai oleh umat, bahkan umat agama lainnya. Meski jarang diliput media, namun umat Islam di Indonesia melihat bahwa FPI adalah ormas yang memiliki andil besar di negeri ini.

Begitupun dengan HTI setelah dicabut BHPnya, bukan lantas menjadi organisasi terlarang berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi no 82 tahun 2013 tadi. HTI adalah ormas legal yang sejak lama berdiri di Indonesia dan memiliki kiprah positif bagi kesadaran keislaman bangsa ini. Sebab HTI sama dengan ormas Islam lainnya merupakan organisasi dakwah yang mendakwahkan ajaran Islam dari A sampai Z. Namun, oleh pemerintah, HTI kemudian dipersoalkan hingga dicabut legalitas badan hukumnya dengan didasarkan oleh berbagai asumsi yang dikonstruk pemerintah tanpa melalui proses peradilan. Namun bukan berarti HTI menjadi ormas terlarang setelah pencabutan BHP. Bahkan HTI itu terbukti tidak melanggar hukum. Pencabutan BHP HTI juga merupakan produk politik.

 

HTI hanya dicabut Badan Hukum Perkumpulannya. FPI hanya ditolak penerbitan SKT-nya. Keduanya, hanya mendapat tindakan dari badan atau pehabat TUN (Tata Usaha Negara), berupa keputusan TUN (Beshicking). HTI & FPI berbeda dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). HTI dan FPI mendakwahkan ajaran Islam Khilafah, tidak seperti PKI yang menyebarkan paham Karl Marx. Jika ada orang menganggap HTI dan FPI sebagai organisasi terlarang dan menyamakan dengan PKI, maka orang itu tengah melangalami virus kedunguan tingkat tinggi, jika ada orang yang seperti itu loh....

 

Taslim menambahkan bahwa pelarangan HTI dan FPI adalah bagian dari perjuangan NasDem. Selain itu, Taslim mengatakan bahwa NasDem juga akan meneruskan program Presiden Jokowi yang dianggap baik. Ucapan ini menunjukkan bahwa Nasdem telah menjadi salah satu partai yang mengidap islamopobia. Sebab FPI dan HTI itu tidaklah berbahaya sama sekali bagi bangsa ini. Justru sebaliknya, FPI dan HTI telah memberikan konstribusi positif bagi negeri ini.

 

HTI dengan dakwah pemikirannya, telah memberikan pencerahan tingkat tinggi bagi kesadaran politik umat Islam bahkan bangsa Indonesia pada umumnya. HTI mencintai negeri ini dengan memberikan kesadaran bahwa negeri ini tengah dijajah oleh kapitalisme sekuler dibawah kendali oligarki yang menjadikan rakyat semakin miskin dan sengsara.

 

Mengapa islamopobia semakin marak di negeri ini ?. Di satu sisi pemerintah gencar berbicara soal toleransi antar umat beragama, namun disisi lain justru penghinaan atas Islam ini semakin marak dan menggila. Lebih ironis lagi seringkali pelakunya adalah orang-orang yang dekat dengan kekuasaan. Misal gerombolan buzzeRp yang justru sengaja melakukan berbagai tindakan dan ucapan yang mengarah kepada ujaran kebencian, pecah belah bangsa, intoleransi dan penistaan atas Islam dan ajarannya. Namun, sayangnya mereka seolah kebal terhadap hukum. mereka terus melenggang tanpa ada sentuhan hukum, meski telah dilaporkan ke pihak kepolisian.

 

Paradoks kedua adalah di saat dunia Barat telah menyatakan anti Islamophobia yang oleh PBB telah dinyatakan dengan tegas bulan Maret 2022, namun ironisnya di negeri ini seolah baru mulai dan semakin meninggi tensinya. Padahal negeri ini adalah negeri mayoritas muslim, namun Islam dan ajarannya selalu dianggap sebagai masalah. Umat Islam yang mencoba menjalankan agamanya dengan kaffah justru dituduh dengan berbagai tuduhan yang menyakitkan seperti radikal, fundamnetalis dan bahkan teroris. Sangat menyedihkan memang.

 

Secara genealogis, islamopobia memang berawal dari dunia Barat yang memang anti Islam, lantas menjalar sampai negeri-negeri pembebeknya, seperti Indonesia. Islamophobia bisa dikatakan sebagai kejahatan politik Barat dikarenakan permusuhan kepada Islam disatu sisi, dan disisi lain, umat Islam juga tengah mengalami kebangkitan dimana-mana. Narasi Islamophobia itu muncul di Barat yang nyata-nyata anti kepada Islam. Berbagai tindakan Barat yang anti Islam terus dilakukan melalui berbagai strategi. Narasi Islam moderat atau moderasi agama justru dibuat sebagai pertanda bahwa Barat anti Islam. Islam anti Islam karena melihat gejala kebangkitan Islam dimana-mana. Program moderasi beragama disetting Barat sebagai upaya untuk menghadang kebangkitan Islam.

Dunia Barat tidak menginginkan kebangkitan Islam dengan cara selalu memojokkan Islam dan menfitnah Islam. Indonesia sendiri sebagai negara bukan utama seringkali mengikuti narasi yang dibangun oleh negara adi daya. Alhasil, Indonesia meski mayoritas muslim, namun ajaran Islam selalu diframing berbahaya bagi bangsa ini, bahkan para ulama banyak yang dikriminalisasi. Narasi islamophobia itu lahir dari ideologi sekulerisme. Negara-negara yang menerapkan sistem sekulerisme selalu menempatkan Islam sebagai halangan dan ancaman. Dari sini, kebijakan deradikalisasi bisa dipahami alurnya.

 

Tentu saja umat Islam harus semakin yakin bahwa ideologi kapitalisme sekuler dengan politik demokrasi terbukti menolak Islam. Secara filosofis, demokrasi berpaham antroposentrisme dimana manusia dijadikan sebagai sumber segalanya. Istilah manusia sebagai pusat edar kehidupan berasal dari ungkapan Plato. Dengan pemahaman sederhana, bahwa demokrasi menjadikan manusia sebagai sumber kebenaran. Dengan arti lain, sejak awal lahir, demokrasi adalah ideologi anti tuhan, anti agama dan anti Islam.

 

Bahkan demokrasi juga berpaham antropomorpisme dimana manusia berdaulat atas penyusunan hukum dan perundang-undangan. Melalui model trias politica, maka demokrasi menyumberkan konstruksi hukum dan undang-undangnya disusun oleh manusia juga. Kedaulatan hukum ada di tangan manusia dan mengabaikan hukum-hukum Allah adalah perkara aqidah bagi seorang muslim. Sebab aqidah seorang muslim adalah keterikatan dirinya dengan hukum Allah.

 

Jadi ucapan Wasekjen Nasdem ada hikmah dan pelajaran bagi umat Islam mayoritas di negeri ini untuk menolak demokrasi dan istiqomah tetap memperjuangkan Islam di negeri ini untuk agar negeri ini semakin menjadi lebih baik. Sebab Indonesia adalah milik Allah dan hanya hukum Allah yang paling layak mengatur negeri ini. Soal Nasdem dan Anies, maka umat harus semakin cerdas, apakah masih ingin mendukung partai ini ?.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan,19/01/23 : 10.00 WIB)


Oleh: Dr. Ahmad Sastra 

Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa 

 

Fitnah FP1 dan HT1 Ormas Terlarang, Advokat: Nasdem Tak Paham Status Hukum

Tinta Media - Menanggapi Fitnah yang dituduhkan Wasekjen Nasdem Hermawi Taslim bahwa FP1 dan HT1 ormas terlarang, Advokat Ahmad Khozinudin menjelaskan status hukum FP1 dan HT1.

"Saya terus terang sangat menyayangkan bahkan agak kaget pula kalau petinggi partai dengan jabatan wasekjen tidak paham status hukum dari ormas yang oleh pemerintah dulu dicabut Badan Hukum Perkumpulannya yakni HT1, dan tidak diterbitkannya perpanjangan Surat Keterangan Terdaftarnya, yakni FP1," tuturnya dalam acara Rubrik Dialogika : FP1- HT1 Korban Politik? Sabtu (21/01/2023) di kanal Youtube Peradaban Islam ID.

Menurutnya, FP1 itu bukan dicabut Surat Keterangan Terdaftarnya, tapi tidak diperpanjang Surat Keterangan Terdafarnya, karena Surat Keterangan Terdaftar itu punya masa kadaluwarsa 5 tahun. "Jadi setiap 5 tahun harus diperpanjang," terangnya.

Ahmad menjelaskan, saat 2019 yang lalu FP1 mau memperpanjang SKTnya itu, namun tidak dikeluarkan oleh pemerintah. Sekarang FP1 tidak memiliki SKT (Surat Keterangan Terdaftar). Hizbut Tahrir Indonesia, lanjut Ahmad punya status Badan Hukum di Kementrian Hukum dan HAM, lalu dicabut melalui keputusan atau beschikking dari Kementrian Hukum dan HAM.

Ia memandang pembahasan status hukum FP1 dan HT1 harus diawali dari Undang-Undang Ormas.

Ahmad menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013, Undang-Undang Ormas itu adalah satu keputusan negara yang mengejawantahkan hak konstitusional warga negara dalam hal berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat.

"Jadi, Undang-Undang Ormas, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 ini merupakan implementasi dari pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 di mana konstitusi kita telah memberikan jaminan hak kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta menyampaikan pendapat," jelasnya.

Menurutnya, Undang-Undang Ormas itu untuk menegaskan bahwa aktivitas organisasi kemasyarakatan itu adalah aktivitas yang legal dan konstitusional.

"Nah, kemudian negara membuat aturan. Dalam aturan di Undang-Undang Ormas ditinjau di pasal 10, pasal 11, pasal 12, pasal 13, dan seterusnya, itu memang diatur bahwa ormas itu bisa berbadan hukum dan bisa juga tidak berbadan hukum. Yang berbadan hukum itu bisa berbasis anggota, nanti masuknya Badan Hukum Perkumpulan. Yang tidak berbadan hukum tapi tidak berbasis anggota itu masuk ke yayasan," paparnya.

Ahmad menerangkan bahwa ormas yang tidak berbadan hukum itu ada dua. 
Ada yang terdaftar dan mendapatkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) Kemendagri. Masa atau jangka waktu keberlakuan SKT itu 5 tahun. Sehingga setiap 5 tahun sekali itu harus diperpanjang.

"Kalau Surat Keputusan yaysan itu, begitu disahkan oleh KemenkumHAM termasuk SK Badan Hukum Perkumpulan, begitu disahkan oleh KemenkumHAM, maka selamanya dia akan aktif sebagai ormas yang memiliki badan hukum atau yayasan," terangnya.

Ahmad memandang, dalam kasus HT1 itu, di tahun 2017 muncul narasi HT1 dianggap melanggar aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, dianggap memiliki kesalahan, tapi pemerintah tidak dapat memberikan penjelasan detil sekaligus bukti kesalahan HT1 itu apa?. 

"Dan pemerintah juga saat itu tidak berani mengikuti prosedur dan tata cara pencabutan Badan Hukum Perkumpulan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang ormas di mana proses pencabutan Badan Hukum Perkumpulan ormas ketika itu harus dilakukan dengan pemanggilan, mediasi, SP 1, SP 2, SP 3 begitu, baru penghentian kegiatan sementara selama 6 bulan oleh Jaksa Agung," sesalnya.

Setelah itu, Ahmad melanjutkan baru kemudian Jaksa Agung selaku wakil negara melakukan proses permohonan pencabutan Badan Hukum Perkumpulan ormas yang dianggap tidak bisa diperbaiki, tidak bisa dibina melalui Pengadilan Negeri di mana domisili hukum ormas itu berada.

"Saat itu saya diskusi dengan sejumlah elemen masyarakat bagaimana ini kalau pemerintah mau mencabut Badan Hukum Perkumpulan HT1?
 Saya bilang ya, silakan saja, tapi akan panjang dan melelahkan bagi pemerintah karena prosesnya dari sejak mediasi sampai inkracht (berkekuatan hukum yang tetap) ya keputusan pengadilan," ujarnya.

Menurutnya, keputusan pengadilan itu langsung kasasi tidak ada banding.
"Itu, saya hitung paling enggak sekitar 425 hari, satu tahun lebihlah..satu tahun setengah. Nah kemungkinan pemerintah waktu itu mau ngotot akan short cut, yaitu menggunakan dua pendekatan," ucapnya

Pertama, diterbitkan Kepres. Yang kedua terbitkan PERPU.

"Cuman, kalau Kepres itu dampaknya bisa ke presiden. Kalau salah, presiden bisa dimakzulkn. Kalau PERPU itu bisa berdalih bahwa ini kebijkan umum tidak hanya untuk HT1 saat itu kan. Dan akhirnya terbitlah PERPU Nomor 2 Tahun 2017 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang ormas di mana diantara perubahan Undang-Undang oleh PERPU tadi diubahlah klausula pencabutan Badan Hukum Perkumpulan, kalau tadinya harus melalui pengadilan, melalui PERPU itu pemerintah menempuh jalan short cut, potong kompas dengan dalih menggunakan asas contrarius actus (asas yang menyatakan bahwa Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (TUN) yang menerbitkan keputusan TUN dengan sendirinya juga berwenang untuk membatalkannya)," pungkasnya. 
[] 'Aziimatul Azka

Fitnah FP1 dan HT1 Ormas Terlarang, Advokat: Nasdem Tak Paham Status Hukum

Tinta Media - Menanggapi Fitnah yang dituduhkan Wasekjen Nasdem Hermawi Taslim bahwa FP1 dan HT1 ormas terlarang, Advokat Ahmad Khozinudin menjelaskan status hukum FP1 dan HT1.

"Saya terus terang sangat menyayangkan bahkan agak kaget pula kalau petinggi partai dengan jabatan wasekjen tidak paham status hukum dari ormas yang oleh pemerintah dulu dicabut Badan Hukum Perkumpulannya yakni HT1, dan tidak diterbitkannya perpanjangan Surat Keterangan Terdaftarnya, yakni FP1," tuturnya dalam acara Rubrik Dialogika : FP1- HT1 Korban Politik? Sabtu (21/01/2023) di kanal Youtube Peradaban Islam ID.

Menurutnya, FP1 itu bukan dicabut Surat Keterangan Terdaftarnya, tapi tidak diperpanjang Surat Keterangan Terdafarnya, karena Surat Keterangan Terdaftar itu punya masa kadaluwarsa 5 tahun. "Jadi setiap 5 tahun harus diperpanjang," terangnya.

Ahmad menjelaskan, saat 2019 yang lalu FP1 mau memperpanjang SKTnya itu, namun tidak dikeluarkan oleh pemerintah. Sekarang FP1 tidak memiliki SKT (Surat Keterangan Terdaftar). Hizbut Tahrir Indonesia, lanjut Ahmad punya status Badan Hukum di Kementrian Hukum dan HAM, lalu dicabut melalui keputusan atau beschikking dari Kementrian Hukum dan HAM.

Ia memandang pembahasan status hukum FP1 dan HT1 harus diawali dari Undang-Undang Ormas.

Ahmad menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013, Undang-Undang Ormas itu adalah satu keputusan negara yang mengejawantahkan hak konstitusional warga negara dalam hal berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat.

"Jadi, Undang-Undang Ormas, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 ini merupakan implementasi dari pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 di mana konstitusi kita telah memberikan jaminan hak kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta menyampaikan pendapat," jelasnya.

Menurutnya, Undang-Undang Ormas itu untuk menegaskan bahwa aktivitas organisasi kemasyarakatan itu adalah aktivitas yang legal dan konstitusional.

"Nah, kemudian negara membuat aturan. Dalam aturan di Undang-Undang Ormas ditinjau di pasal 10, pasal 11, pasal 12, pasal 13, dan seterusnya, itu memang diatur bahwa ormas itu bisa berbadan hukum dan bisa juga tidak berbadan hukum. Yang berbadan hukum itu bisa berbasis anggota, nanti masuknya Badan Hukum Perkumpulan. Yang tidak berbadan hukum tapi tidak berbasis anggota itu masuk ke yayasan," paparnya.

Ahmad menerangkan bahwa ormas yang tidak berbadan hukum itu ada dua. 
Ada yang terdaftar dan mendapatkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) Kemendagri. Masa atau jangka waktu keberlakuan SKT itu 5 tahun. Sehingga setiap 5 tahun sekali itu harus diperpanjang.

"Kalau Surat Keputusan yaysan itu, begitu disahkan oleh KemenkumHAM termasuk SK Badan Hukum Perkumpulan, begitu disahkan oleh KemenkumHAM, maka selamanya dia akan aktif sebagai ormas yang memiliki badan hukum atau yayasan," terangnya.

Ahmad memandang, dalam kasus HT1 itu, di tahun 2017 muncul narasi HT1 dianggap melanggar aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, dianggap memiliki kesalahan, tapi pemerintah tidak dapat memberikan penjelasan detil sekaligus bukti kesalahan HT1 itu apa?. 

"Dan pemerintah juga saat itu tidak berani mengikuti prosedur dan tata cara pencabutan Badan Hukum Perkumpulan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang ormas di mana proses pencabutan Badan Hukum Perkumpulan ormas ketika itu harus dilakukan dengan pemanggilan, mediasi, SP 1, SP 2, SP 3 begitu, baru penghentian kegiatan sementara selama 6 bulan oleh Jaksa Agung," sesalnya.

Setelah itu, Ahmad melanjutkan baru kemudian Jaksa Agung selaku wakil negara melakukan proses permohonan pencabutan Badan Hukum Perkumpulan ormas yang dianggap tidak bisa diperbaiki, tidak bisa dibina melalui Pengadilan Negeri di mana domisili hukum ormas itu berada.

"Saat itu saya diskusi dengan sejumlah elemen masyarakat bagaimana ini kalau pemerintah mau mencabut Badan Hukum Perkumpulan HT1?
 Saya bilang ya, silakan saja, tapi akan panjang dan melelahkan bagi pemerintah karena prosesnya dari sejak mediasi sampai inkracht (berkekuatan hukum yang tetap) ya keputusan pengadilan," ujarnya.

Menurutnya, keputusan pengadilan itu langsung kasasi tidak ada banding.
"Itu, saya hitung paling enggak sekitar 425 hari, satu tahun lebihlah..satu tahun setengah. Nah kemungkinan pemerintah waktu itu mau ngotot akan short cut, yaitu menggunakan dua pendekatan," ucapnya

Pertama, diterbitkan Kepres. Yang kedua terbitkan PERPU.

"Cuman, kalau Kepres itu dampaknya bisa ke presiden. Kalau salah, presiden bisa dimakzulkn. Kalau PERPU itu bisa berdalih bahwa ini kebijkan umum tidak hanya untuk HT1 saat itu kan. Dan akhirnya terbitlah PERPU Nomor 2 Tahun 2017 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang ormas di mana diantara perubahan Undang-Undang oleh PERPU tadi diubahlah klausula pencabutan Badan Hukum Perkumpulan, kalau tadinya harus melalui pengadilan, melalui PERPU itu pemerintah menempuh jalan short cut, potong kompas dengan dalih menggunakan asas contrarius actus (asas yang menyatakan bahwa Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (TUN) yang menerbitkan keputusan TUN dengan sendirinya juga berwenang untuk membatalkannya)," pungkasnya. 
[] 'Aziimatul Azka

Jumat, 20 Januari 2023

Singgung HT1 dan FP1, Ketua FDMPB: Nasdem Bunuh Diri Politik?

Tinta Media - Apa yang dikatakan oleh Wasekjen NasDem Hermawi Taslim, bahwa organisasi terlarang seperti HT1 dan FP1 akan tetap terlarang jika Anies Baswedan terpilih menjadi presiden pada Pilpres 2024 sudah menjadi komitmen bersama, menurut Ketua Forum Muslim Peduli Bangsa(FDMPB) Dr. Ahmad Sastra, M.M. dinilai tengah melakukan bunuh diri politik.

“Wasekjen Nasdem tengah melakukan bunuh diri politik dengan ucapan itu,” tuturnya kepada Tinta Media, Kamis (19/01/2023).

Hal ini, menurutnya, memungkinkan umat Islam yang tadinya mendukung Anies akan segera meninggalkan dukungannya, karena ucapan itu selain salah, juga memberikan konfirmasi bahwa Nasdem anti Islam. “Sementara selama ini Anies dianggap mewakili suara umat Islam,” jelasnya. 

Selain itu, ia melihat bahwa Wasekjen Nasdem tidak memahami konstitusi negeri ini terutama putusan Mahkamah Konstitusi No 82 tahun 2013. “Bahwa ormas yang dicabut badan hukumnya atau tak memiliki SKT, bukan berarti terlarang,” paparnya.

Jika ormas seperti FPI, tidak diperpanjang SKT, bukan berarti dilarang, hal ini ditegaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi no 82 tahun 2013 bahwa ormas tidaklah masalah tidak memiliki SKT atau berbadan hukum. “Kalau mau mengajukan ke kementerian hukum dan HAM agar ormas berbadan hukum atau bisa juga terdaftar di kementerian dalam negeri yang namanya SKT,” terangnya.  

Diungkapkannya FPI dulu melakukan yang kedua. Hal ini menegaskan bahwa FPI itu tidak terlarang, namun yang jadi persoalan adalah adanya ketidakadilan yang namanya SKB menteri yang membubarkan FPI. “Pembubaran ini lebih cenderung sebagai produk politik, dibandingkan dengan persoalan hukum,” ungkapnya.
 
“FPI sendiri dalam persidangan tidak terbukti melanggar hukum dalam putusan peradilan, terutama saat dikaitkan dengan terorisme,” ungkapnya lebih lanjut. 

Menurutnya, Front Pembela Islam sebagai ormas yang dipimpin HRS telah banyak berkiprah di negeri ini, baik kaitannya dengan dakwah membela kebenaran maupun berbagai kegiatan sosial, seperti tanggap bencana alam. FPI terbukti sangat dicintai oleh umat, bahkan umat agama lainnya. “Meski jarang diliput media, namun umat Islam di Indonesia melihat bahwa FPI adalah ormas yang memiliki andil besar di negeri ini,” paparnya.
 
Begitupun dengan HTI, ia menjelaskan setelah dicabut BHPnya, bukan lantas menjadi organisasi terlarang berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi no 82 tahun 2013 tadi. “HTI adalah ormas legal yang sejak lama berdiri di Indonesia dan memiliki kiprah positif bagi kesadaran keislaman bangsa ini. Sebab HTI sama dengan ormas Islam lainnya merupakan organisasi dakwah yang mendakwahkan ajaran Islam dari A sampai Z,” jelasnya.

Namun, oleh pemerintah, HTI kemudian dipersoalkan hingga dicabut legalitas badan hukumnya dengan didasarkan oleh berbagai asumsi yang dikonstruk pemerintah tanpa melalui proses peradilan. “Namun bukan berarti HTI menjadi ormas terlarang setelah pencabutan BHP. Bahkan HTI itu terbukti tidak melanggar hukum. Pencabutan BHP HTI juga merupakan produk politik,” tegasnya. 

Menurutnya, HTI hanya dicabut Badan Hukum Perkumpulannya. FPI hanya ditolak penerbitan SKT-nya. Keduanya, hanya mendapat tindakan dari badan atau pejabat TUN (Tata Usaha Negara), berupa keputusan TUN (Beshicking). “HTI & FPI berbeda dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). HTI dan FPI mendakwahkan ajaran Islam Khilafah, tidak seperti PKI yang menyebarkan paham Karl Marx,” jelasnya.

*Nasdem Mengidap Islamofobia?* 

Taslim menambahkan bahwa pelarangan HTI dan FPI adalah bagian dari perjuangan NasDem. Selain itu, Taslim mengatakan bahwa NasDem juga akan meneruskan program Presiden Jokowi yang dianggap baik. Menurut Dr. Ahmad Sastra, ucapan ini menunjukkan bahwa Nasdem telah menjadi salah satu partai yang mengidap islamopobia. “Sebab FPI dan HTI itu tidaklah berbahaya sama sekali bagi bangsa ini. Justru sebaliknya, FPI dan HTI telah memberikan konstribusi positif bagi negeri ini,” tuturnya.

Dijelaskannya bahwa HTI dengan dakwah pemikirannya, telah memberikan pencerahan tingkat tinggi bagi kesadaran politik umat Islam bahkan bangsa Indonesia pada umumnya. “HTI mencintai negeri ini dengan memberikan kesadaran bahwa negeri ini tengah dijajah oleh kapitalisme sekuler dibawah kendali oligarki yang menjadikan rakyat semakin miskin dan sengsara,” jelasnya. 

“Mengapa islamofobia semakin marak di negeri ini?” tanyanya kemudian.
 
Ia melihat di satu sisi pemerintah gencar berbicara soal toleransi antar umat beragama, namun disisi lain justru penghinaan atas Islam ini semakin marak dan menggila. Lebih ironis lagi seringkali pelakunya adalah orang-orang yang dekat dengan kekuasaan. Misal gerombolan buzzeRp yang justru sengaja melakukan berbagai tindakan dan ucapan yang mengarah kepada ujaran kebencian, pecah belah bangsa, intoleransi dan penistaan atas Islam dan ajarannya. 
“Namun, sayangnya mereka seolah kebal terhadap hukum. mereka terus melenggang tanpa ada sentuhan hukum, meski telah dilaporkan ke pihak kepolisian,” sesalnya. 

Paradoks kedua menurutnya adalah di saat dunia Barat telah menyatakan anti Islamophobia yang oleh PBB telah dinyatakan dengan tegas bulan Maret 2022, namun ironisnya di negeri ini seolah baru mulai dan semakin meninggi tensinya. Padahal negeri ini adalah negeri mayoritas muslim, namun Islam dan ajarannya selalu dianggap sebagai masalah. “Umat Islam yang mencoba menjalankan agamanya dengan kaffah justru dituduh dengan berbagai tuduhan yang menyakitkan seperti radikal, fundamnetalis dan bahkan teroris. Sangat menyedihkan memang,” ungkapnya. 

Diterangkannya secara genealogis, islamofobia memang berawal dari dunia Barat yang memang anti Islam, lantas menjalar sampai negeri-negeri pembebeknya, seperti Indonesia. Islamophobia bisa dikatakan sebagai kejahatan politik Barat dikarenakan permusuhan kepada Islam disatu sisi, dan disisi lain, umat Islam juga tengah mengalami kebangkitan dimana-mana. Narasi Islamophobia itu muncul di Barat yang nyata-nyata anti kepada Islam. Berbagai tindakan Barat yang anti Islam terus dilakukan melalui berbagai strategi. Narasi Islam moderat atau moderasi agama justru dibuat sebagai pertanda bahwa Barat anti Islam. Islam anti Islam karena melihat gejala kebangkitan Islam dimana-mana. “Program moderasi beragama disetting Barat sebagai upaya untuk menghadang kebangkitan Islam,” terangnya. 

Faktanya, ia melihat dunia Barat tidak menginginkan kebangkitan Islam dengan cara selalu memojokkan Islam dan menfitnah Islam. Indonesia sendiri sebagai negara bukan utama seringkali mengikuti narasi yang dibangun oleh negara adi daya. “Alhasil, Indonesia meski mayoritas muslim, namun ajaran Islam selalu diframing berbahaya bagi bangsa ini, bahkan para ulama banyak yang dikriminalisasi,” jelasnya.

Narasi islamofobia itu dikatakannya lahir dari ideologi sekulerisme. Negara-negara yang menerapkan sistem sekulerisme selalu menempatkan Islam sebagai halangan dan ancaman. “Itulah mengapa, kebijakan rezim jokowi periode kedua dengan tegas mengusung program utama deradikalisasi,” paparnya.

*Sikap Umat Islam*

Dr. Ahmad Sastra mengingatkan, umat Islam harus semakin yakin bahwa ideologi kapitalisme sekuler dengan politik demokrasi terbukti menolak Islam. Secara filosofis, demokrasi berpaham antroposentrisme dimana manusia dijadikan sebagai sumber segalanya. Istilah manusia sebagai pusat edar kehidupan berasal dari ungkapan Plato. Dengan pemahaman sederhana, bahwa demokrasi menjadikan manusia sebagai sumber kebenaran. “Dengan arti lain, sejak awal lahir, demokrasi adalah ideologi anti tuhan, anti agama dan anti Islam,” jelasnya. 

Bahkan menurutnya demokrasi juga berpaham antropomorpisme dimana manusia berdaulat atas penyusunan hukum dan perundang-undangan. Melalui model trias politica, maka demokrasi menyumberkan konstruksi hukum dan undang-undangnya disusun oleh manusia juga. “Kedaulatan hukum ada di tangan manusia dan mengabaikan hukum-hukum Allah adalah perkara aqidah bagi seorang muslim. Sebab aqidah seorang muslim adalah keterikatan dirinya dengan hukum Allah,” terangnya.

Jadi ia katakan bahwa ucapan Wasekjen Nasdem ada hikmah dan pelajaran bagi umat Islam mayoritas di negeri ini untuk menolak demokrasi dan istiqomah tetap memperjuangkan Islam di negeri ini untuk agar negeri ini semakin menjadi lebih baik. “Sebab Indonesia adalah milik Allah dan hanya hukum Allah yang paling layak mengatur negeri ini," pungkasnya.[] Raras

Kamis, 19 Januari 2023

Advokat: Sikap Politik NasDem Cederai Umat Islam dan Khianati Komitmen Perubahan

Tinta Media - Pernyataan sikap politik Wasekjen NasDem, Hermawi Taslim yang menyebut bahwa FP1-HT1 tetap menjadi organisasi terlarang walaupun Anies menjadi Presiden, dinilai Advokat Ahmad Khozinudin telah mencederai umat Islam. "Sikap politik NasDem ini telah mencederai umat Islam sekaligus khianat pada komitmen akan perubahan," tuturnya kepada Tinta Media, Rabu (17/1/2023). 

Ia pun menyatakan bahwa NasDem telah merusak kohesi sosial dan ikatan kesatuan pandangan politik umat Islam. "Yang sebelumnya mendukung NasDem dan mengusung Anies Baswedan," imbuhnya.

Khozinudin pun menguraikan tiga hal penyebab kerusakan tersebut.

Pertama, HTI dan FPI adalah ormas Islam, bagian dari umat Islam. "HTI dan FPI selama ini telah ada, dan selalu membersamai umat Islam dalam setiap aktivitas dakwahnya, baik yang berkaitan dengan dakwah amar ma'ruf nahi munkar, maupun aktivitas sosial ditengah-tengah umat," jelasnya.

Komitmen yang memastikan HTI dan FPI terlarang, lanjutnya, jelas sangat menyakiti hati umat Islam karena semua juga paham HTI dan FPI adalah korban kezaliman rezim Jokowi. "Tidak ada satu pun kesalahan HTI maupun FPI. Justru rezim lah yang telah bertindak zalim pada HTI dan FPI," tegasnya.

Kedua, menyebut HTI dan FPI terlarang adalah penyesatan politik yang sangat jahat. "Karena tidak ada satupun dasar hukum maupun putusan pengadilan yang menyatakan HTI dan/atau FPI terlarang," tambahnya.

Ia menguraikan bahwa bisa juga hal ini mengkonfirmasi kebodohan Nasdem yang tidak paham nomenklatur hukum. "Kasihan, jika politisi bodoh terus memimpin negeri ini," sesalnya.

Khozinudin menjelaskan bahwa HTI hanya dicabut BHP-nya. FPI hanya tidak diterbitkan SKT-nya. "Tidak ada satupun putusan pengadilan yang menyatakan HTI dan/atau FPI terlarang," tandasnya.

Ketiga, bahwa semangat perubahan yang digaungkan Nasdem menjadi tidak bernilai, karena NasDem malah mempertahankan legacy kezaliman Jokowi. "Mencabut BHP HTI dan tidak menerbitkan SKT FPI tanpa kesalahan adalah kezaliman, dan malah akan terus dipertahankan," ungkapnya.

"Bahkan, lebih jauh NasDem memberikan garansi akan tetap mempertahankan keputusan zalim Jokowi. Dimana letak mau berubahnya?" tanyanya heran.

Khozinudin pun mengutip komentar Aziz Yanuar, yang mengatakan "Bagaimana mau merestorasi Indonesia jika mentalnya masih seperti inlander begitu sesama anak bangsa?". "Ya, jargon restorasi NasDem menjadi hanya basa-basi karena faktanya NasDem inlander, masih terus berada dibawah ketiak Jokowi," bebernya.

Ia menyayangkan bahwa sikap NasDem ini tentu saja membuat umat Islam khawatir, ketika mau memilih Anies Baswedan sebagai Capres. Alih-alih mau melakukan perubahan. "Umat Islam khawatir kelak Anies setelah menjadi Presiden akan dikendalikan NasDem yang mempertahankan kebijakan politik anti Islam, yang diwariskan oleh rezim Jokowi," pungkasnya.[] Nita Savitri

Rabu, 18 Januari 2023

DAMPAK PERNYATAAN NASDEM SOAL HT1 & FP1 AKAN SANGAT MERUGIKAN BAGI ANIES BASWEDAN

Tinta Media - HTI dan FPI, bukan organisasi kaleng-kaleng. Keduanya, memiliki simpul tokoh dan massa yang besar, bahkan dalam konstelasi aspirasi politk suara umat Islam sangat menentukan.

HTI dan FPI memiliki banyak kader intelek dan militan. HTI dan FPI punya reputasi untuk mengumpulkan massa, apalagi sekedar mengumpulkan suara. 

Berbeda dengan NU dan Muhammadiyah, misalnya. Seolah telah menjadi kapling PKB dan PAN, belakangan suara NU digerogoti PDIP dan Muhammadiyah juga menjadi ceruk pasar Partai Umat. Sementara, HTI & FPI tidak terafiliasi dan bukan market politik dari partai tertentu.

Posisi 'floating mass' di HTI dan FPI ini sangat strategis untuk pemenangan Pilpres. Calon yang dapat mengkondisikan suara HTI dan FPI berpotensi mendapatkan kemenangan.

Yang harus dihitung bukan saja suara HTI dan FPI, tetapi juga kemampuan konsolidasi dan dakwah keduanya. Keduanya, tentu akan menyampaikan pada umat untuk tidak memilih Capres yang akan melanggengkan kebijakan zalim Jokowi terhadap ormas dan umat Islam.

Pernyataan Waketum NasDem Hermawi Taslim, yang akan komitmen meneruskan kebijakan rezim Jokowi yang mencabut BHP HTI dan tidak menerbitkan SKT FPI saat Anies Baswedan menjadi Presiden, mengecewakan dan membuat gelisah Umat Islam. HTI maupun FPI tentu saja tidak akan setuju dengan kebijakan NasDem ini.

NasDem tidak paham, bahwa HTI dan FPI masih memiliki hak politik, untuk memilih dalam Pilpres. NasDem tidak paham, HTI dan FPI bisa saja mengalihkan dukungan, karena khawatir Anies Baswedan kelak akan disetir oleh NasDem dan melanjutkan kebijakan zalim Jokowi.

NasDem tidak paham, dampak bagi anies bukan hanya kehilangan ceruk pasar pemilih dari HTI dan FPI, tetapi juga dari umat Islam yang tidak ridlo kebijakan zalim Jokowi terhadap FPI dan HTI dipertahankan oleh NasDem. Nasdem telah menjauhkan Anies Baswedan dari umat Islam.

Mungkin juga, ini adalah kehendak Allah SWT, agar umat Islam tidak tertipu oleh NasDem. Melalui Hermawi Taslim, Nasdem membongkar jatidirinya yang masih setia pada kebijakan zalim Jokowi.

Nampaknya, selain umat Islam harus mengevaluasi pernyataan NasDem maka Anies Baswedan juga perlu mempertimbangkan pilihan politik maju bersama NasDem. Suara NasDem saja belum tentu bisa jadi tiket nyapres, tapi sudah pasti menggerus elektabilitas Anies di kalangan suara umat Islam.

Anies harus memilih partai yang bukan sekedar mengantarkan tiket pencapresan, tapi juga mendongkrak elektabilitas Anies. Partai Islam atau setidaknya partai berbasis massa Islam lebih direkomendasikan ketimbang NasDem yang dulu pernah mendukung Ahok, narapidana penista agama. [].

Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

https://youtu.be/oCci1gVcLoQ


Rabu, 06 April 2022

Dari Vonis 6 Tahun hingga Bebas Dakwaan, di Mana Keadilan untuk Laskar F*P*1 Berada?

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1Onnh1hGySqkmv_waF1Nf3MHa0meuPG8e

Tinta Media - Betapa lucunya hukum yang ada saat ini, “Pembunuh bebas dari dakwaan.” Apakah privilege hukum ini didapat karena mereka kelompok 'berbaju cokelat'?

Sebelumnya, jaksa penuntut umum (JPU) menilai bahwa Brigadir Polisi Satu (Briptu) Fikri Ramadhan dan Inspektur Polisi Dua (Ipda) Mohammad Yusmin Ohorella, terbukti dengan dakwaan primer yakni Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan secara sengaja juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Akibat perbuatan tersebut, JPU menjerat kedua terdakwa ini dengan hukuman 6 tahun penjara.

Namun, ketika kasus berada di tangan Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), terdakwa pembunuhan sewenang-wenang (unlawful killing) ini justru divonis bebas. Ketua majelis hakim M Arif Nuryanta dalam putusan sidang di PN Jaksel, Jalan Ampera Raya, Jumat (18/3/2022), mengatakan bahwa kedua terdakwa tidak dijatuhi hukuman karena pembenaran dan pemaaf. Sehingga, sekalipun kedua terdakwa tersebut terbukti dalam dakwaan primer, tetapi masuk dalam kategori pembelaan diri yang terpaksa.

Selain bebas dari tuntutan, Arif juga memerintahkan agar kemampuan, hak, dan martabat kedua polisi itu dipulihkan. Tak cukup sampai di situ, majelis hakim juga merintahkan sejumlah barang bukti dikembalikan ke Polda Metro Jaya, ke keluarga korban, dan sisanya dimusnahkan.

Tidakkah dari keputusan vonis ini, nyawa manusia seperti benda yang mudah dipermainkan? Hanya sekadar klaim pembelaan diri dari kedua terdakwa, maka yang bersangkutan terbebas vonis hukuman 6 tahun penjara? Hukuman yang sebenarnya juga tidak pantas jika disandingkan dengan nyawa manusia?

Jika karena klaim pembelaan diri dan permintaan maaf mereka bisa terbebas dari tuntutan, maka seharusnya hal yang sama juga berlaku untuk seorang suami yang membunuh pemerkosa istrinya. Seharusnya juga berlaku bagi seorang gadis yang membunuh karena membela diri dari orang yang hendak memperkosanya. Namun, nyatanya hukum berlaku berbeda untuk kedua rakyat jelata itu.

Sistem sanksi hukum sekuler yang diterapkan menjadikan keadilan hanya impian. Hukum berlaku seolah pisau dapur, tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Produk hukumnya berubah-ubah, dibolak-balik, dan disesuaikan dengan situasi dan tersangka yang ada.

Nyawa manusia tak ada artinya dalam sanksi sistem ini. Untuk kasus pembunuhan di atas, dari tuntutan 6 tahun penjara ternyata bisa bebas dari dakwaan. Padahal, Allah Al Khalik, pencipta semua manusia di muka bumi ini, menghargai nyawa manusia lebih tinggi dari dunia.

Rasulullah ﷺ bersabda:
“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Tirmidzi 1455, dan disahihkan al-Albani).

Lantas, bukankah sangat lancang jika manusia yang notabene adalah hamba Allah itu sendiri, membuat produk hukum, dan menghargai nyawa manusia dengan 6 tahun penjara, bahkan bebas dari dakwaan?

Inilah produk hukum yang dihasilkan dari sistem sekularisme demokrasi. Sistem ini tidak menjadikan Allah dan Rasul-Nya sebagai pemutus hukum (sanksi), melainkan kesepakatan, mufakat, dan diskusi antar manusia. Oleh karena itu, selamanya tidak akan ada keadilan jika kaum muslimin tetap berada dalam sistem yang batil ini.

Keadilan tidak akan terwujud kecuali jika diterapkan sistem sanksi yang didasari akidah yang sahih, yaitu Islam. Dalam sistem sanksi Islam, jika ada kasus pembunuhan tanpa hak, maka ini termasuk kasus jinayat (penyerangan terhadap manusia) hingga terbunuh. Maka, sanksi yang diberikan kepada pelaku bisa qishash (hukuman yang setimpal), diyat, atau kafarah. Syaikh Dr. Abdurrahman al-Maliki dalam kitabnya “Nizhâm al-’Uqûbât”, menjelaskan:

Jika kasus pembunuhan itu disengaja, wali korban boleh meminta qishash atau memaafkan dengan mengambil diyat dari pelaku sebanyak 100 ekor onta dan 40 ekor di antaranya telah bunting.

Jika kasus pembunuhan itu mirip disengaja (syibh al-’amad), maka diyatnya 100 ekor unta, dan 40 ekor di antaranya bunting.

Jika kasus pembunuhan tidak sengaja (khatha’), misalnya perbuatan itu tidak ditujukan untuk membunuh seseorang, tetapi tanpa sengaja membuat terbunuhnya orang lain, maka kasus ini sanksinya  membayar diyat 100 ekor unta dan membayar kafarah dengan cara membebaskan budak. Jika tidak memiliki budak, pelaku harus berpuasa selama 2 bulan berturut-turut. Misal, menembak hewan buruan, tetapi justru terkena manusia dan menyebabkan orang itu meninggal.

Contoh kedua, Misalnya seseorang membunuh orang yang dikira kafir harbi di dar al kufr, tetapi ternyata dia sudah masuk Islam. Maka, sanksinya adalah membayar kafarat saja, dan tidak wajib diyat.

Sanksi ini tidak bisa diganggu gugat, direvisi, atau dihapus sesuka hakim, karena hukum ini sudah ditetapkan Allah dan Rasul. Jadi, bisa dipastikan bahwa masyarakat tidak akan bermain-main dan mereka tercegah dari perbuatan mungkar. Sanksi ini juga akan membuat pelaku jera. Inilah fungsi dari diberlakukannya sistem sanksi Islam, yakni zawajir atau pencegahan.

Adapun fungsi lainnya yaitu sebagai jawabir atau penebus, artinya pelaku tidak akan mendapat hukuman lagi di akhirat karena sudah diberi sanksi di dunia. Namun, semua ini hanya bisa bisa dirasakan jika umat kembali hidup dengan penerapan  syariah kaffah, di bawah naungan khilafah.

Oleh: Nonik
Mahasiswa Pascasarjana dan Aktivis Dakwah Kampus

Selasa, 22 Maret 2022

Vonis Bebas Polisi Penembak Laskar F*P*1, Kuasa Hukum: Putusan Itu Sesat!

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1hP14BhqlAivZ0havz3sQEN7czqyvnhLe

Tinta Media - Putusan Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Arif Nuryanta yang memberikan vonis bebas terhadap kedua terdakwa polisi yakni Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda M Yusmin Ohorella atas penembakan laskar F*P*1 dinilai sesat.

“Itu sesat,” tegas Kuasa Hukum Keluarga Laskar F*P*1 Aziz Yanuar kepada Tinta Media, Senin (21/3/2022)

Aziz mengatakan, pihaknya sudah menduga sejak awal keputusannya akan demikian. “Kita sudah jauh hari menduga sejak awal,” ujarnya.

Menurutnya, putusan ini digunakan untuk menjustifikasi dugaan pembunuhan. “Dan dijadikan instrumen untuk menjustifikasi dugaan pembunuhan," katanya.

Aziz menyesal karena tidak ada yang bisa diharapkan dari rezim saat ini yang tidak mampu menjaga nyawa kaum Muslim. “Tidak ada yang bisa diharapkan,” pungkasnya.[] Raras
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab