Tinta Media: film
Tampilkan postingan dengan label film. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label film. Tampilkan semua postingan

Minggu, 09 Juni 2024

Liberalisasi Tontonan Kian Menyesatkan

Tinta Media - Begitu sulit mencari tontonan yang bisa menjadi teladan pada saat ini. Banjirnya tontonan negatif semakin meresahkan. Unsur Hak Asasi Manusia menjadi hal yang mendominasi. Film-film yang marak ditayangkan semakin jauh dari nilai dan norma yang dulu dijunjung tinggi.

Parahnya lagi, tontonan yang kini laris di pasaran justru tontonan yang bergenre kekerasan, perilaku bebas atau horor yang jauh dari nilai edukasi. Dampaknya sangat berbahaya, terutama bagi anak-anak dan remaja yang masih dalam proses menjajaki nilai kehidupan.

Tontonan Racun

Psikolog anak dan remaja dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia, Vera Itabiliana, mengungkapkan bahwa akibat buruk ketika anak menonton film yang tidak sesuai usianya. Salah satunya, mereka bisa belajar hal-hal yang salah (detiknews.com, 16/4/2024). Sehingga merusak pemahaman sejak awal perkembangan pemikiran dimulai.

Media hiburan menjadi salah satu sasaran empuk dalam mengemas suatu ide. Tidak terkecuali ide-ide negatif yang mampu merusak pemahaman dan standar yang telah lebih dulu dipahami sebagai ide yang benar dan positif.

Kita tengok saat ini, begitu banyak film yang memuat ide rusak. Diantaranya, pergaulan bebas, hedonisme, kekerasan, religi berbau misteri, religi berbau pornografi, hingga religi yang benar-benar mewajarkan pelanggaran aturan agama. Tontonan "sampah" ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Karena muatannya berbahaya dan mampu menggiring opini masyarakat agar Sang Pencipta melonggarkan aturan terkait esensi syariat. Memaksa agar kelonggaran tetap diterapkan meskipun ada usaha untuk tetap taat. Tentu saja, arus ini lambat laun akan menggerus pemikiran dan pemahaman.

Manipulasi hiburan saat ini dilirik sebagai jalan ampuh untuk memasukkan suatu budaya dalam tatanan masyarakat. Strategi ini pun begitu mudah dilakukan, mengingat sekarang media menjadi hal yang sangat berpengaruh di tengah masyarakat. Tak ayal, proses demoralisasi pun terus berjalan dengan proses yang cepat dan pasti merusak kepekaan dan pemikiran.

Inilah bahayanya liberalisasi tontonan yang kian bablas. Konsepnya yang bebas tanpa batas menjadikan rusaknya tatanan. Semua ini tidak lepas dari konsep yang hanya berkiblat pada kesenangan, kepuasan dan keuntungan materi. Industri film kian kapitalistik dalam sistem sekuler yang makin liberal.

Islam Menjamin Penjagaan

 Negara sebagai pemangku kebijakan mestinya memiliki regulasi kuat terkait konten tontonan. Karena secara langsung, saat ini tontonan akan diterapkan masyarakat sebagai tuntunan. Konsep penjagaan yang sempurna hanya mampu diterapkan dalam bingkai institusi yang menjadikan rakyat sebagai prioritas penjagaan yang utama. Yakni negara yang menerapkan sistem yang berpijak pada nilai dan aturan agama sebagai panduan. Satu-satunya  sistem amanah yang menempatkan manusia sesuai fitrahnya.

Konsep ini hanya mampu diterapkan dalam sistem Islam dalam wadah khilafah. Satu-satunya sistem bijaksana yang menjadikan umat sebagai satu-satunya tujuan perlindungan.

Sebagaimana Rasulullah SAW. bersabda,

"Imam adalah ra'in (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya" (HR. Al Bukhori).

Tidak hanya itu, sistem sanksi dalam khilafah ditetapkan sebagai kebijakan yang tegas dan mengikat. Setiap rumah produksi yang menciptakan tontonan non edukasi dan jelas melanggar syariat, akan dieliminasi secara otomatis melalui sistem dan ditindak tegas oleh khilafah. Dengan demikian, negara akan menjamin tontonan yang aman dan ideal menjadi tuntunan bagi seluruh individu.

Wallahu'alam bisshowwab.

Oleh: Yuke Octavianty, Forum Literasi Muslimah Bogor

Rabu, 03 April 2024

‘Kiblat’, Film yang Bagus, Kenapa Harus Dibanned?


Tinta Media - "Film ‘Kiblat’ itu bagus, buktinya mampu mendatangkan keuntungan. Meskipun bawa-bawa agama, tetapi cuannya banyak." 

Itulah yang ada di pikiran para pembuat film yang berideologi sekuler. Mereka tidak mengenal namanya halal-haram dan cenderung menampilkan gaya hidup bebas, banyak yang mengedepankan kekerasan dan kejahatan. Yang terpenting adalah apa pun yang dapat menghasilkan keuntungan materi, maka itu dikategorikan bagus.

Memang, awal rilis trailernya sempat viral. Trailer film tersebut dirilis di media YouTube dengan akun Hits Entertainment pada tanggal 24 Maret 2024, dan langsung mendapatkan tanggapan sinis dari netizen. Bukan hanya judulnya yang dipermasalahkan, tetapi juga dari berbagai hal. Salah satunya adalah ide cerita yang dianggap tidak kreatif karena menggunakan agama, terutama Islam, hanya untuk hiburan semata tanpa mempertimbangkan baik buruknya.

Bahkan, dari peluncuran trailernya saja sudah dicap oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah KH Cholil Nafis bahwasanya film tersebut adalah kampanye hitam terhadap ajaran agama Islam. Di dalam trailer tersebut ditunjukkan bagaimana seorang yang sedang salat mendadak kesurupan dan dengan posisi rukuk yang membelakangi kiblat.

Padahal, rukuk di waktu salat sudah identik dengan Islam. Sangat jelas bahwa adegan tersebut sebenarnya tak pantas dijadikan ajang hiburan, apalagi dijadikan alat untuk meraih cuan.

Bagi pembuat film, hal tersebut dikategorikan menyeramkan. Namun secara akal, jelas bahwa adegan tersebut sangat menyesatkan. Adegan tersebut secara tidak langsung mampu membuat orang takut untuk melakukan salat. Padahal, salat adalah gerakan ibadah. Bagi seorang muslim, gerakan tersebut merupakan interaksi kepada Sang Khalik, Allah Rabbul Izzah.

Sebenarnya, bukan hanya film ‘Kiblat’ saja yang mengeksploitasi agama Islam. Masih banyak film yang menjual atau sudah masuk ke ranah eksploitasi agama, terutama agama Islam. Bisa dilihat di berbagai situs, kebanyakan film-film yang bergenre horor sekarang ini menggunakan hal-hal yang berbau Islam, seperti pondok pesantren, salat, zikir, dan lain-lain. Itulah suatu hal yang dianggap murahan untuk menarik audiens. 

Padahal, efek dari film yang menggunakan agama sebagai penarik audiens tanpa mengenal kesesuaian dan baik buruknya menurut syariat adalah kelemahan iman. Hal ini bukan lagi dianggap sebagai sesuatu yang mengkhawatirkan. Faktanya, banyak dari film tersebut  yang mengajarkan pada masyarakat bahwa taat agama pun tidak mampu menundukkan kekuatan dari iblis.

Memang begitulah film yang berideologi sekuler, yang hanya 'mengiblatkan' materi daripada kebermanfaatan, apalagi mengajarkan 'keakhlakan', terutama akhlak Islami. Ini karena mindset film sekuler adalah 'apa pun itu, yang penting adalah mencari keuntungan besar'.

Film sekuler harusnya tidak layak ditayangkan di media hiburan Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Hal ini karena film-film tersebut mampu membentuk penonton melakukan penyimpangan, kesyirikan, juga membentuk opini publik bahwa eksploitasi agama adalah hal biasa.

Film-film seperti ini sangat berbahaya jika ditonton oleh orang-orang yang awam, apalagi anak-anak. Sepatutnya negara menjamin masyarakat untuk menyuguhkan tontonan yang mampu memotivasi dan memperkuat akidah masyarakat, bukan malah meloloskan film-film yang mengeksploitasi agama untuk meraih keuntungan.



Oleh: Setiyawan Dwi 
Jurnalis

Rabu, 14 Februari 2024

Dirty Vote: Sebuah Film Penguak Tabir Kecurangan Pemilu Demokrasi di Indonesia


Tinta Media - Menjelang pertengahan Februari 2024, publik disuguhkan dengan sebuah film dokumenter yang berjudul Dirty Vote. Film ini dirilis tepatnya pada tanggal 11 Februari 2024 di kanal Youtube PSHK Indonesia. Bisa dibilang, film dokumenter Dirty Vote 'keren pake banget' karena lumayan detail menggambarkan bagaimana perjalanan politik demokrasi di Indonesia menjelang Pemilu 2024. 

Tiga narasumber sekaligus aktor utama dari film ini adalah Zainal Arifin Mochtar (dosen FH UGM), Feri Amsari (dosen FH Universitas Andalas), dan Bivitri Susanti (dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera. Ketiganya juga merupakan pakar hukum tata negara. 

Rangkaian peristiwa, nama-nama orang di dalam peristiwa tersebut, data-data penunjang, baik berupa angka, diagram, suara, bahkan video tersaji dengan runut dan apik. Film diawali dengan ungkapan harapan dan maksud dibuatnya film ini. Setelahnya, berlanjut dengan paparan penjelasan dari ketiga aktor utama, khususnya terkait kecurangan-kecurangan pemilu demokrasi di Indonesia dalam 10 tahun terakhir. Durasi film 1 jam 57 menit 21 detik mungkin bisa dibilang belum cukup mengungkap semua fakta kecurangan yang terjadi. Akan tetapi, sudah cukup lumayan mewakili dan menggambarkan kecurangan yang terjadi. 

Bagi yang sudah menonton, tercengangkah Anda? Atau merasa tidak heran dengan paparan dalam film tersebut? Mungkin sebagian besar sudah mengetahui semua kecurangan-kecurangan tersebut karena memang dilakukan secara terang-benderang, seterang siang panas terik di bawah sinar matahari.  

Melihat kecurangan itu, seolah kita tidak berdaya untuk menghilangkannya. Para ahli saja tidak mampu, apalagi kita, masyarakat awam. Kenapa? Karena kita bisa melihat semua alat negara serta peraturan-peraturan hukum sudah didesain untuk menunjang kecurangan tersebut. Akhirnya, kita pasrah saja, padahal itu terjadi di depan mata. 

Pasrah? Jangan sampai ini melanda kaum muslimin.  Coba kita lihat, apa yang disampaikan dalam film Dirty Vote sebenarnya baru mengungkap dan membongkar fakta rusak demokrasi kapitalis. Film ini juga menunjukkan dengan terang benderang betapa rusaknya sistem buatan manusia, sistem yang akan menindas dan melindas lawan ataupun kawan. 

Pada tahap awal dalam membangun sebuah persepsi, setelah membongkar fakta rusak, tentu kita harus membangun sebuah konstruksi pemikiran yang kuat dan kokoh. 

Membangun konstruksi yang kuat dan kokoh ini diawali dengan memiliki sebuah standar pemikiran yang pasti, tetap, dan tentunya benar. Standar pemikiran yang memenuhi syarat ini tentunya adalah pemikiran yang berbasis akidah Islam. 

Pemikiran Islam akan membangun kembali atas fakta rusak dan bobrok dengan bangunan pemikiran yang benar dan tepat. Dengan pemikiran Islam ini pula, umat akan bergerak untuk meraih perubahan dengan Islam. Perubahan revolusionerlah  yang akan mengantarkan umat pada kebenaran yang hakiki. Bukan sekadar mengubah rezim, tetapi perubahan yang akan mengganti sistem buruk demokrasi kapitalis menjadi sistem Islam.


Oleh: Erlina YD
Pegiat Literasi 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab