Tinta Media: faktor
Tampilkan postingan dengan label faktor. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label faktor. Tampilkan semua postingan

Jumat, 08 Desember 2023

UIY: Ada Dua Faktor Pemicu Orang Bunuh Diri


 
Tinta Media -- Menyoroti banyaknya kasus bunuh diri, Cendekiawan Muslim Ustadz Ismail Yusanto (UIY)  mengatakan ada dua faktor pemicu  mengapa orang bunuh diri.
 
“Kita bisa melihat setidaknya ada dua pemicu yaitu faktor eksternal dan faktor internal,”tuturnya di Fokus To The Point: Orang Tua Khawatir, Bunuh Diri Marak! Melalui kanal UIY Official, Senin (4/12/2023).
 
Ia melanjutkan, faktor eksternal turut berpengaruh terhadap ketahanan mental. “Kehidupan yang serba materialistik, hedonistik, pencitraan yang begitu rupa, dia terima melalui media khususnya media sosial itu kan sangat masif,” bebernya.
 
Di media sosial itu, ucapnya, orang menggambarkan kehidupan yang serba enak, liburan, makanan, rumah, keluarga.
 
“Ini akan memberikan pengaruh kepada seseorang tentang bagaimana citra diri yang itu berpengaruh ter hadap harapan-harapan dia di masa yang akan datang. Sementara kehidupan riil dirinya tidak seperti itu, sehingga terjadi gap antara realitas dengan keinginan,” bebernya.
 
Menurutnya, gap ini tidak jadi soal jika mempunyai jalan untuk mencapai cita-cita itu.
“Jika dia punya jalan maka gap itu lambat laun akan menipis sampai akhirnya cita-cita tercapai. Tapi jika tidak punya jalan, maka gap itu akan terus menggantung dan berpengaruh kepada dirinya seolah-olah kehidupan itu tidak mungkin berubah, tidak akan mungkin bisa mencapai apa yang dia inginkan, apalagi kalau mentalitas tidak dibentuk, pada titik ini bunuh diri bisa terjadi,” ulasnya.
 
UIY menjelaskan, mentalitas yang dimaksud yaitu ketahanan di dalam penderitaan, ketahanan di dalam menjalani kesulitan saat berusaha, ketahanan untuk menghadapi tantangan, merupakan faktor internal yang mempengaruhi seseorang dalam hidup.
 
Lemahnya mentalitas generasi saat ini menurutnya, karena generasi sekarang adalah generasi yang sudah lepas dari persoalan dasar yang tidak dialami sebagaimana kakek moyangnya yang lahir tahun 60-an atau 70-an.
 
“Saya lahir tahun 60 itu masih merasakan kesusahan. Jangan lagi makan mewah sekedar makan biasa saja tidak mudah, berpakaian tidak mudah, apalagi membayangkan bisa liburan kesana-kemari. Saya masih mengalami periode sekolah nyeker (tanpa alas kaki). Nah generasi sekarang sudah tidak lagi mengalami situasi itu, segalanya serba mudah,” bebernya.
 
Terakhir UIY menjelaskan,  situasi sekarang telah membawa generasi kepada suatu kehidupan beyond challenging (melampaui tantangan).  “Ditambah mindset yang salah tentang hidup, membuat generasi menjadi lemah,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun.  

Sabtu, 18 November 2023

IJM Sebut 5 Faktor Penyebab Indonesia Akan Jadi Importir Beras


 
Tinta Media - Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana menyebut, setidaknya ada 5 faktor penyebab Indonesia akan menjadi negara importir beras.
 
“Pertama, pertanian banyak beralih fungsi menjadi kawasan industri, perdagangan, perumahan, jalan tol, dan sejumlah infrastruktur lainnya. Alhasil lahan pertanian kian menyusut dan mengakibatkan produksi pertanian kian menurun,” tuturnya dalam video: Pak Jokowi, Beras Mahal – Rakyat Miskin Tetap Beli, melalui kanal Youtube Justice Monitor, Rabu (15/11/2023).
 
Kedua, sebutnya, kerdilnya peran negara dalam merawat, menjaga, dan menyejahterakan petani. Untuk menghasilkan produksi beras berkualitas, terangnya, para petani membutuhkan bibit, pupuk, pengairan, saprotan (sarana produksi tanaman) yang memadai.
 
“Semua ini membutuhkan sumber daya dan biaya yang tidak sedikit. Sayangnya negara mengabaikan peran tersebut. Banyak petani gigit jari setelah panen karena terjadinya harga gabah yang sangat murah sementara biaya produksi beras yang tinggi tidak seimbang dengan hasil penjualan gabah. Pada akhirnya banyak petani menjual sawahnya karena tidak kuat menahan kerugian ketika panen raya,” ulasnya.
 
Agung mengatakan, masalah ini jelas membutuhkan negara dalam memenuhi kebutuhan petani agar bergeliat kembali. Negara bisa memberi subsidi, pemberian, atau pembelian alat-alat produksi pertani dengan harga murah dan terjangkau.
 
“Ketiga, ketidakseriusan negara memberantas mafia pangan. Jika dulu modus mafia pangan mengoplos beras bulog,  kini mengganti karung beras dengan merek lokal premium,” ujarnya.
 
Ia mengutip pernyataan Direktur utama Bulog Budi Waseso bahwa mafia beras ini terus beroperasi meski satgas pangan telah melakukan pengawasan.
 
“Pertanyaannya, mengapa pengawasan dilakukan tapi tidak berjalan efektif? Perangkat hukum tampak mandul dan belum mampu memberantas mafia beras,” sesalnya.
 
Keempat, ucapnya, belum ada upaya terstruktur, terukur dalam melakukan mitigasi krisis pangan. Sejauh ini pemerintah hanya mengandalkan impor beras untuk memenuhi stok pangan di dalam negeri seakan tidak mau ruwet dan ribet untuk mengurusi pertanian. Solusi impor selalu jadi jurus jitu.
 
“Kelima, dari keempat poin di atas masalah pokok pangan sejatinya bermula dari penerapan sistem kapitalisme liberal, sistem yang membuat negeri ini harus tunduk dan terikat pada liberalisasi pasar dan perdagangan bebas,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab