Tinta Media: etika
Tampilkan postingan dengan label etika. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label etika. Tampilkan semua postingan

Minggu, 18 Februari 2024

LBH Pelita Umat: Pejabat yang Hilang Etika dan Rasa Malu, Cenderung Koruptif



Tinta Media - Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan, S.H., M.H, menuturkan, pejabat yang kehilangan etika dan rasa malu, dalam menjalankan kekuasaan akan cenderung berperilaku koruptif.

"Etika di atas hukum. Hilang etika, maka akan hilang rasa malu. Hilang etika dan rasa malu dalam menjalankan kekuasaan akan cenderung menjadi perilaku koruptif terhadap kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki," ujarnya dalam tulisan di akun Instagram @ChandraPurnaIrawan, Rabu (14/2/2024).

Ia mengutip adagium yang cukup terkenal oleh Lord Acton yang berkata, "power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely" (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut)." 

"Pejabat negara dan penegak hukum yang menjalankan kekuasaan dan kewenangan tanpa kontrol etika, dikhawatirkan akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat," ungkapnya.

Menurutnya, ini akan menghasilkan pembangkangan publik yang dapat berakibat runtuhnya atau bubarnya negara. 

"Sejarah telah mencatat banyaknya negara yang bubar akibat perilaku pejabatnya yang tidak memiliki etika dan malu," simpulnya.

Ia menilai, politik sebagai seni menggunakan kekuasaan. Karena kekuasaan politik itu harus diberikan kepada orang-orang bijak atau orang-orang yang punya etika moral yang baik. "Penggunaan kekuasaan tepat dan tidaknya, bergantung dari siapa yang memegang kekuasaan," ujarnya.

Chandra mengungkap, para pendukung moral-etis menjadikan ini tolak ukur persoalan kebangsaan. Bahkan moral politikus yang pada kenyataannya berkorelasi dengan persoalan kemiskinan yang sedang dihadapi rakyat Indonesia. "Moral dan mental politisi yang korup berkontribusi pada kemiskinan rakyat," tegasnya.

Chandra menyitir sindiran dari seorang Filosof Immanuel Kant, ada dua watak binatang terselip di setiap insan politik; merpati dan ular. Politisi memiliki watak merpati yang lembut dan penuh kemuliaan dalam memperjuangkan idealisme. Tetapi, ia juga punya watak ular yang licik dan jahat, serta selalu berupaya memangsa merpati.

Celakanya sesalnya, yang sering menonjol adalah “sisi ular” ketimbang watak “merpati”-nya. Metafora sang filosof yang normatif dan simbolik itu sudah menjadi pengetahuan umum, ketika berbicara soal etika politik. 

"Bahkan ekstremitas watak politisi pun diasosiasikan dengan “watak binatang”," pungkasnya.[] Muhammad Nur

Sabtu, 17 Februari 2024

Etika dan Moral di Atas Hukum


Tinta Media - Etika dan hukum menjadi marak diperbincangkan. Hal ini setidaknya disebabkan dua hal. Pertama, maraknya pelanggaran etik yang dilakukan oleh pejabat negara, khususnya terkait Ketua Mahkamah Konstitusi yang mendapat sorotan akibat pelanggaran etiknya. Kedua, putusan DKPP terhadap KPU terkait pencalonan Gibran. 

Secara teoretis ataupun filosofis, etika dan hukum (dalam pendekatan nonpositivis) adalah dua entitas yang sangat berkaitan, tetapi berbeda dalam penegakannya. Etika adalah ladang tempat hukum ditemukan dan hukum sendiri merupakan pengejawantahan hukum yang telah diberi sanksi dan diformalkan. 

Dalam filsafat hukum, kita mengenal tingkatan hukum yang berawal dari nilai, asas, norma, dan undang-undang. Dalam konsepsi tersebut, etika berada pada tataran norma dan asas, dengan demikian posisi etika adalah jauh di atas hukum. 

Implikasinya, pelanggaran etika secara sosiologis mendapatkan celaan sama atau bahkan lebih dari pelanggaran hukum. 

Etika turut berpengaruh terhadap penegakan hukum. Penegakan etika ini dapat mendorong keberhasilan penegakan hukum. Tegaknya etika di suatu negara, maka tegak pula hukum yang berlaku di sana. 

Etika di atas hukum, hilang etika maka akan hilang rasa malu, hilang etika dan rasa malu dalam menjalankan kekuasaan akan cenderung menjadi perilaku koruptif terhadap kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki. Sebagaimana adagium "power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely" (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut)." 

Pejabat negara dan penegak hukum yang menjalankan kekuasaan dan kewenangan tanpa kontrol etika, dikhawatirkan akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat, kemudian menghasilkan pembangkangan publik yang dapat saja berakibat runtuhnya atau bubarnya negara. Sejarah telah mencatat banyaknya negara yang bubar akibat perilaku pejabatnya yang tidak memiliki etika dan malu. 

Banyak yang mengatakan politik sebagai seni menggunakan kekuasaan. Karenanya kekuasaan politik harus diberikan kepada orang-orang bijak atau orang-orang yang punya etika moral yang baik. Penggunaan kekuasaan tepat dan tidaknya bergantung dari siapa yang memegang kekuasaan. Pijakan berpikir inilah yang digaungkan oleh para pendukung moral-etis sebagai tolak ukur mendiskusikan persoalan kebangsaan. Bahkan moral politikus yang pada kenyataannya terhubung dengan persoalan kemiskinan yang sedang dihadapi rakyat Indonesia. Moral dan mental politisi yang korup berkontribusi pada kemiskinan rakyat. 

Filosof Immanuel Kant pernah menyindir, ada dua watak binatang terselip di setiap insan politik; merpati dan ular. Politisi memiliki watak merpati yang lembut dan penuh kemuliaan dalam memperjuangkan idealisme. Tetapi, ia juga punya watak ular yang licik dan jahat, serta selalu berupaya memangsa merpati. Celakanya, yang sering menonjol adalah “sisi ular” ketimbang watak “merpati”-nya. Metafora sang filosof yang normatif dan simbolik itu sudah menjadi pengetahuan umum, ketika berbicara soal etika politik. Bahkan ekstrimitas watak politisi pun diasosiasikan dengan “watak binatang”. 

Ketidakjelasan secara etis berbagai tindakan politik di negeri ini membuat keadaban publik saat ini mengalami kehancuran. Fungsi pelindung rakyat tidak berjalan sesuai komitmen. Keadaban publik yang hancur inilah yang sering kali merusak wajah hukum, budaya, pendidikan dll. 

Demikian
IG@chandrapurnairawan


Oleh: Chandra Purna Irawan, S.H., M.H.
(Ketua LBH PELITA UMAT dan Mahasiswa Doktoral) 

Sabtu, 23 Desember 2023

Etika Politik “Ndasmu Etik”, IJM: Perlu Standar Moral Para Penguasa



Tinta Media - Pernyataan Prabowo Subianto “ndasmu etik” yang tersebar ke publik, dinilai Direktur Indonesia Justice Monitor Agung Wisnuwardana perlu untuk merenung ulang standar moral para penguasa dalam mengurus negara. 

“Bangsa ini perlu merenung ulang standar moral para penguasa dalam mengurus negara,” ujarnya dalam video: Etika Politik ”Ndasmu Etik” di kanal YouTube Indonesia Justice Monitor, Kamis (21/12/2023). 

Ia menjelaskan bahwa istilah ‘ndasmu etik’ sebuah istilah yang bagi orang Jawa terdengar sangat kasar dan menyoal urusan politik etik. “Ini baru soal MK, hanyalah sebagian dari soal etik yang ada dalam kekuasaan rezim Jokowi,” jelasnya. 

Menurutnya, seorang pemimpin harusnya memperbaiki moralitas politik etik pasca rezim Jokowi bukan malah diam atau malah ingin meneruskannya. “Jangan sampai kehidupan bernegara, memang lebih dikendalikan hawa nafsu berkuasa dan menjalankan kekuasaan untuk kepentingan segelintir orang,” katanya. 

Ia berharap siapa pun yang memimpin bangsa ini ke depan perlu memastikan etika politik dan sistemnya berubah. “Negara harus mempunyai standar moral dan sistem politik yang baik dalam mengarahkan berbagai kebijakan nasional ke depan,” harapnya. 

Menurutnya, etika penegakan hukum yang berkeadilan dan sistem politik yang adil sesuai syariah bukan alat kekuasaan tirani dan diskriminatif. “Oleh karena itu, syariah Islam akan menjadi solusi penting dalam menata moral etik dan juga sistem yang baik ke depan,” pungkasnya. [] Azzaky Ali
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab