Gen Z Terjerumus Doom Spending, Berantas dengan Solusi Tuntas
Tinta Media - Gen Z keracunan gaya hidup bedebah, terlihat gegabah, hilang arah, hingga gelisah atau gundah. Ironis, seakan membantah, memberi isyarat mampu menikmati hidup, dalam bingkai fenomena doom spending.
Fenomena ini memiliki makna secara harfiah, yaitu pengeluaran yamg sia-sia. Artinya, pengeluaran yang dilakukan seseorang secara impulsif, yang sifatnya kesenangan semata. Pemicu lahirnya doom spending adalah rasa kecemasan yang membuncah, kekhawatiran, bahkan stres. (Finansial.bisnis, 17/10/24)
Gambaran sederhananya, ketika Gen Z memiliki tujuan jelas, yaitu ingin menabung untuk membeli rumah, misalnya, dalam konteks ini, rumah adalah properti yang sangat penting selama kehidupan. Memiliki rumah pribadi, terlebih sesuai desain sendiri merupakan impian setiap manusia. Tragisnya, harapan ini pupus bersamaan dengan beban hidup tinggi, income rendah. Jangankan untuk menabung beli rumah, tidak ketemu istilah krisis di akhir bulan saja sudah bersyukur.
Alhasil, makna menabung untuk kepentingan bergeser menjadi keinginan. Didasari maindset nabung untuk beli rumah, seumur hidup pun tidak akan terbeli. Akhirnya, ia menabung untuk membeli sesuatu yang membuat bahagia. Misalnya, fenomena membeli boneka labubu.
Berangkat dari maindset keliru ini, lahirlah berbagai macam fenomena menyesatkan, seperti FOMO, Flexsing, bahkan gaya hidup minimalis dan frugal living yang didamba-dambakan. Hal itu akan membuat kehidupan lebih sederhana, bersahaja, dan cenderung vibes positif. Realitasnya, mereka hanya mengikuti tren semata. Alhasil, ketika sudah berganti mode, aktivitas tersebut dianggap tidak relevan lagi.
Selain konsumtif terhadap fashion dan fun, ternyata mereka juga brutal dalam pembelian food. Berdasarkan survei Populix, dinyatakan bahwa Gen Z cenderung menyukai yang sifatnya instan. Misalnya, lebih suka membeli makanan daripada memasak. Maraknya fast food, frozen food, produk siap masak, makanan rumahan, freshmade, healthy food, sampai beragamnya minuman kekinian, dengan kadar sukrosa tinggi, yang tidak baik untuk tubuh jika dikonsumsi secara abnormal, membuat Gen Z merasa difasilitasi, tetapi berujung malapetaka. (Klasika.kompas, 1/10/24)
Terminologi hidup sehat nampaknya kian sempit dalam kamus Gen Z, terbukti dengan beragam fenomena yang silih berganti. Hal ini menunjukkan maindset seseorang dalam semua hal, akan sangat memberikan impact besar dalam kehidupan.
Ketika maindsetnya benar, tentu hidup akan tenang, bahkan ada istilah "dunia dalam genggaman, akhirat selamat". Ironis, ketika maindset seseorang yang diadopsi keliru, justru ia akan masuk ke dalam lembah kenistaan. Jangankan akhirat selamat, hidup di dunia saja berantakan.
Sejatinya, pondasi awal kehidupan dimulai dari pola pikir (maindset) seseorang. Dari maindset, akan lahir keyakinan dan menghidupkan keimanan.
Pola pikir terbentuk oleh banyak faktor, seperti lingkungan keluarga, circle nongkrong, masyarakat, bahkan media sosial. Terlebih, detik ini, Gen Z hidup dalam era digital nativ.
Faktor utama dari semua itu adalah informasi. Ketika informasi yang masuk dalam tubuh manusia adalah informasi yang sifatnya baik, benar, positif, tentu pribadi yang terbentuk menjadi positif. Misalnya, manusia mendapatkan informasi bahwa segala perbuatan semasa hidup akan dimintai pertanggungjawaban oleh Sang Khalik, tentu tingkah laku kesehariannya akan direncanakan secara matang, seperti memilih gaya hidup yang sesuai nilai dan norma yang berlaku.
Sebaliknya, apabila informasi yang masuk dalam diri manusia, merupakan informasi yang cenderung kesenangan semata, hura-hura, bahkan sifatnya implusif, maka akan timbul kerugian di kemudian hari. Misalnya, merasa FOMO ketika tidak membeli labubu, tidak hits, tidak keren, bahkan cenderung kudet. Alhasil, ia tidak memiliki tabungan, dana darurat, susah untuk sedekah, tidak memiliki pencapaian dalam konteks kebutuhan primer, karena kebutuhan bukan lagi skala prioritas utama.
Sejatinya, sikap konsumtif pada remaja menunjukkan eksistensi kapitalisme karena perbuatan manusia berasas materi, bukan semata-mata keridaan Allah semata. Cara pandang kapitalisme selalu mempertimbangkan keuntungan, sehingga wajar jika banyak generasi terjerumus dan termakan iklan, serta promo yang menggiurkan.
Selain itu, pemikiran liberal dan gaya hidup kebarat-baratan lahir dari paradigma sekuler. Esensi sekuler adalah peran Sang Pencipta tidak dilibatkan dalam seluruh kancah kehidupan. Kehidupan tidak boleh dicampuraduk dengan agama. Mayoritas orang dengan paradigma sekuler beranggapan bahwa porsi agama hanya mengurusi ibadah manusia dengan Tuhan saja.
Padahal jelas, Islam merupakan agama sekaligus mabda. Agama Islam mengatur segala problematik manusia. Menyoal urusan pribadi sampai tataran negara, Islam memiliki solusi sempurna.
Islam mengondisikan seluruh elemen, memberikan informasi positif, bahkan dalam bentuk apa pun yang akan tayang di media. Islam memiliki standarisasi mencerdaskan umat. Tentunya, ini sangat selektif dalam penayangan media.
Berawal dari informasi yang terjaga, akan terbangun pola pikir umat pada kebangkitan, terkhusus generasi muda yang mengalami kemunduran, komorosotan, ketertinggalan, dan keterpurukan.
Islam memiliki sistem ekonomi yang sangat detail, mengatur tata kelola harta, baik harta kepemilikan individu maupun umum. Tidak ada privatisasi dalam pengelolaan. Harta umum hanya berhak dikelola oleh negara untuk kepentingan kesejahteraan rakyat.
Dalam sistem pendidikan, kurikulumnya mencerdaskan bangsa, tidak fokus pada pemberdayaan generasi untuk mencetak devisa negara, bagaimana melahirkan generasi bermoral luhur dengan akidah Islam. Dengan standar akidah Islam, segala perbuatan dititikberatkan pada standar Sang Pencipta, dan pastinya ini akan mencetak generasi yang mampu menaklukkan, sehingga terbentuk peradaban jahiliyan menuju Islamiyah.
Islam memiliki sistem keamanan siber yang detail. Dengan SDM yang berkompeten, Islam akan memastikan bahwa tidak ada indikasi kejahatan digital, bahkan tidak ada aplikasi yang berpotensi menimbulkan kejahatan yang menjembatani, misalnya, misalnya pinjaman online, ribawi, bullying, phone seks, dsb. Wallahu'alam Bisawab.
Oleh: Novita Ratnasari, S.Ak.,
Penulis Ideologis, Pengiat Literasi