Tinta Media: dirty vote
Tampilkan postingan dengan label dirty vote. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label dirty vote. Tampilkan semua postingan

Minggu, 10 Maret 2024

Dirty Vote, Dirty Government



Tinta Media - Kekuasaan politik sangat menggiurkan, bagi orang rakus atau serakah, dunia beserta isinya tidak akan pernah cukup untuk "mengenyangkan” perut dan syahwatnya. Bagi orang model ini, kekuasaan politik dipandang sebagai "jalan tol” untuk mengeruk dan mengumpulkan lebih banyak lagi pundi-pundi kekayaan. Karena itu, ketika berhasil berkuasa, orang model ini akan melakukan berbagai macam cara, termasuk korupsi atau membuat aturan/regulasi hukum dan kebijakan yang menguntungkan dirinya, keluarga, kelompok dan jaringannya dari aspek ekonomi, bisnis dan kekuasaan.

Mereka berupaya keras mempertahankan kekuasaannya termasuk menggunakan jalan pemilu. Apabila dalam suatu negara menyelenggarakan pemilu yang terindikasi kuat terdapat kecurangan, jika kecurangan itu dilakukan oleh pemegang kekuasaan baik secara terstruktur ataupun tidak maka akan menghasilkan pemilu kotor atau dirty vote, sedangkan pelakunya dari unsur Pemerintah disebut Pemerintah kotor (dirty goverment). 
 
Pemilu adalah sumber kehidupan demokrasi, namun tidak semua pemilu bersifat demokratis, di bawah dirty goverment pemilu menjadi sasaran manipulasi negara hingga menghilangkan nilainya. Para pejabat sudah sangat canggih dalam hal ini. Penguasa merancang peraturan pemilu yang diskriminatif, mengecualikan atau mengurangi kekuatan oposisi memasuki arena pemilu, dan membatasi apa yang disampaikan kepada publik. Caranya dapat berubah-ubah namun tujuan akhirnya tetap sama, manipulasi pemilu menjadi institusi paling stabil yang mempertahankan syahwat kekuasaan, bisnis dan ekonomi.

Andreas Schedler, ahli politik Center for Economic Teaching and Research di Mexico City, menelaah gejala Electoral authoritariania. Andreas menyatakan electoral authoritariania yaitu rezim yang menyelenggarakan pemilihan umum. Tapi Pemilu hanya jadi alat untuk terus berkuasa. Pemilu dimanipulasi sedemikian rupa agar penguasa ini terus punya pengaruh. Rezim dirty goverment membunuh demokrasi dengan cara-cara demokratis

Kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut (power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely), aturan formal dimanfaatkan untuk melegitimasi penyelewengan kekuasaan. Kondisi tersebut menyebabkan tidak adanya ruang kompetisi yang seimbang (uneven playing field) antara pemerintah dan oposisi.

Apakah dirty vote dan dirty goverment ini bagian yang tidak terpisahkan dari demokrasi? memang tidak semua praktik demokrasi itu kotor, tetapi di berbagai negara demokrasi telah memberikan ruang atau habitat kekuasaan yang curang. Mungkin sudah saatnya kita berpikir ulang apakah sistem demokrasi masih layak untuk dipertahankan? 

Demikian
IG @chandrapurnairawan

Oleh: Chandra Purna Irawan 
(Ketua LBH PELITA UMAT & Mahasiswa Doktoral) 

Sabtu, 24 Februari 2024

Dirty Vote Dirilis Bukti Krisis Ideologis


Tinta Media - Pekan lalu , tepat tiga (3) hari sebelum pelaksanaan Pemilu 2024 yakni pada tanggal 11/2/2024, publik Indonesia dibuat gempar dengan dirilisnya sebuah film dokumenter yang membongkar tentang dugaan adanya kecurangan-kecurangan yang disinyalir akan mewarnai pelaksanaan pemilu 2024. 

Dalam film yang berdurasi hampir dua jam ini, tiga pakar hukum tata negara turut berkontribusi menjadi narasumber, yaitu, Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar dan Feri Amsari yang ketiganya merupakan para pakar hukum dan ketatanegaraan. Film yang disutradarai oleh Dandhy Dwi Laksono ini berhasil ditonton oleh 9,2 juta viewers setidaknya sampai hari (21/02). 

Dandhy selama ini memang dikenal sebagai  seorang Jurnalis yang sering mengkritik berbagai kebijakan pemerintah melalui film. Kita tentu masih ingat, pada tahun 2019, saat itu masih dalam suasana yang sama yaitu menjelang dilaksanakannya pemilu 2019, Dandhy  dan timnya membuat dan merilis film dokumenter dengan judul “Sexy Killer” yang membongkar sisi gelap eksploitasi batu bara di Indonesia.

Kedua judul film dokumenter yang kami sebutkan di atas adalah dua diantara sekian banyak film yang pernah dibuat dan disutradarai oleh Dandhy. Keduanya sama-sama berhasil membuat publik terkaget-kaget. Bagaimana tidak, di dalamnya kita disuguhi fakta-fakta tentang adanya kongkalikong yang kentara diantara para pengusaha pemilik modal dan penguasa.

Sayangnya, menurut kami film “Sexy Killer” ataupun “Dirty Vote” kemudian hanya memiliki daya kejut sementara bagi masyarakat Indonesia yang ramai memperbincangkannya di awal kemunculan tapi dengan begitu mudah dilupakan tanpa diikuti dengan kesadaran tentang adanya bahaya dan ancaman nyata yang siap menghancurkan Indonesia sampai ke akar-akarnya.

Di tingkat masyarakat grass roots misalnya, film Dirty Vote sendiri hanya dilihat dari sisi adanya pihak-pihak yang berencana mencurangi pemilu 2024. Berbagai fakta dan data disampaikan, akan tetapi efeknya hanya sebatas pada munculnya himbauan-himbauan agar tidak memilih salah satu paslon karena disinyalir merupakan bagian dari pihak-pihak yang melakukan kecurangan. Padahal, lebih dari itu Dirty Vote menjadi bukti nyata bagaimana kondisi kita hari ini yang sedang dikuasai oleh satu kekuatan hegemoni para kapitalis pemilik modal.
Seharusnya, menurut kami film ini harus dilihat dari sisi bagaimana kemudian sistem demokrasi kapitalisme sekuler yang diterapkan hari ini sangat berpeluang menjadi jalan bagi para kapitalis serakah untuk menguatkan hegemoni mereka melalui kekuasaan. Bukan malah sekedar menjadi alasan untuk tidak memilih salah satu paslon peserta pemilu yang baru selesai dilaksanakan hanya karena alasan kecurangan.

Adanya kecurangan dalam pemilu itu sebenarnya adalah akibat dari diterapkannya sistem demokrasi sekuler yang memisahkan peran Agama dalam pelaksanaan kekuasaan, sehingga wajar bila kecurangan demi kecurangan dalam pemilu yang justru melahirkan pemimpin-pemimpin korup itu sampai hari ini tidak bisa dielakkan dan terus berulang.

Dalam hal ini, kami sependapat dengan apa yang disampaikan oleh Joko Prasetyo, salah seorang Wartawan senior Tabloid Media Umat. Menurutnya, “Dirty vote terjadi karena dirty regime, dirty regime subur karena dirty system, dirty system tegak karena evil ideology. Ganti evil ideology dengan Islam untuk mengakhiri segala ke-dirty-an ini! Allahu Akbar!” Tulisnya dalam salah satu status facebook beberapa hari yang lalu.

Oleh karena itu, Inilah yang seharusnya yang kita sadari, bahwa sebenarnya hari ini kita sedang berada dalam satu fragmen pertempuran ideologi, antara sosialisme-komunisme, kapitalisme-sekularisme, dan ideologi Islam.

Islam bukanlah sekedar agama yang membahas aspek ritual ibadah semata. Islam sebagai agama yang sempurna memiliki seperangkat aturan hidup, mulai dari aturan yang mengatur urusan manusia dengan al-Khaliq (Penciptanya), aturan manusia dengan dirinya sendiri yang mencakup urusan makanan, minuman, pakaian dan akhlak, sampai aturan terkait hubungan manusia dengan manusia lainnya dalam bab mua’amalah termasuk di dalamnya terkait dengan urusan tata-kelola kenegaraan (Daulah).

Keseluruhan cakupan aturan Islam ini bisa dibuktikan dan dikuatkan dengan berbagai landasan dalil yang bisa dipertanggungjawabkan. Jadi, tidak hanya didasarkan pada asumsi satu golongan. 

Jadi bagaimana, mau bertahan dengan segala ke-dirty-an ini atau bersegera beralih kepada penerapan Ideologi Islam?

Wallahu a’lam.[]



Oleh : Rahmat S. At-Taluniy
Sahabat Tinta Media 

Senin, 19 Februari 2024

Apakah Demokrasi Indonesia Sekotor Itu?



Tinta Media - Di hari tenang film “Dirty Vote” tayang mengungkap dugaan kecurangan pada Pemilu 2024 yang terstruktur, sistematis, dan masif, yang menguraikan ihwal penunjukan 20 pejabat (PJ) Gubernur dan Kepala Daerah, adanya tekanan untuk setiap kepala desa agar mendukung kandidat tertentu, penyaluran bantuan sosial atau Bansos yang berlebihan, serta kejanggalan dalam hasil sidang putusan Mahkamah Konstitusi (MK). 

Apakah Demokrasi Indonesia sekotor itu? itu pertanyaan saya ketika selesai nonton film dokumenter Dirty Vote, yang sejak di-upload pada hari Ahad (11/2/2024) film dokumenter tersebut telah ditonton jutaan penonton baik di channel YouTube Dirty Vote maupun di channel PSHK Indonesia. 

Banyak fakta yang diungkap pada film dokumenter garapan sutradara Dandhy Dwi Laksono tersebut, dari penjelasan ketiga narasumber yang dihadirkan di situ yakni Zainal Arifin Mochtar, Feri Amsari, dan Bivitri Susanti yang merupakan ahli hukum tatanegara, tergambar jelas bahwa sistem demokrasi yang menjadi harga mati bagi setiap pencintanya itu ternyata sedang tidak baik-baik saja. 

Poin pertama yang diungkap adalah terkait dugaan kecurangan melalui penunjukan 20 pejabat (PJ) Gubernur dan Kepala Daerah, tujuannya tentu agar salah satu kandidat bisa memenangkan pemilu sekali putaran melalui sebaran wilayah, dengan berhasil menang di 20 daerah yang dipimpin PJ Gubernur dan Kepala Daerah tersebut, hal itu dipaparkan jelas oleh Feri Amsari dan Zainal Arifin Mochtar di film tersebut, dan jika benar tentu ini merupakan persekongkolan jahat antara penguasa dan pejabat yang ditunjuknya, ini jadi bukti pertama betapa rusaknya sistem demokrasi jika mengacu pada film "Dirty Vote". 

Kedua, ada tekanan untuk setiap kepala desa agar mendukung kandidat tertentu, ini jadi kejahatan berikutnya yang dipaparkan di film tersebut, dan sepertinya itu benar karena pernah muncul beritanya pada bulan November tahun lalu tentang deklarasi dukungan dari organisasi yang tergabung dalam Desa Bersatu terhadap salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden. 

Ketiga, penyaluran bantuan sosial atau Bansos yang berlebihan, dari data yang dipaparkan Bivitri Susanti begitu terlihat mencolok jumlah peningkatan bansos menjelang pemilu, dengan berbagai macam bantuan sosial yang diberikan oleh pemerintah, bahkan baru bulan Januari sudah menghabiskan dana sebesar 78.06 Triliun untuk bantuan sosial, sehingga diduga kuat ada penyalahgunaan bansos yang dilakukan pemerintah untuk menarik simpati rakyat pada pemilu 2024 agar memilih kandidat tertentu. 

Dan terakhir kejanggalan dalam hasil sidang putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang meloloskan kandidat cawapres termuda sepanjang sejarah demokrasi Indonesia, dan seperti kita ketahui bersama bagaimana dengan mudahnya sebuah peraturan di sistem demokrasi diubah dengan sedemikian rupa untuk memuluskan jalan menuju kekuasaan. 

Lantas jika demokrasi sudah seperti itu, masihkah mengharapkan adanya keadilan dan kesejahteraan? 

Oleh: Herdi Kurniawan 
Sahabat Tinta Media

“Dirty Vote” Lahir dari “Dirty System”



Tinta Media - Beberapa hari ini Indonesia dibuat gempar dengan kemunculan film Dirty Vote. Baru sehari rilis di channel Youtube, jumlah penontonnya sudah mencapai 7,2 juta. Konon hingga sekarang jumlah penontonnya telah mencapai 20 juta. 

Rezim dan deretan pro status quo, cukup berhasil dibuat gerah dengan film ini. Salah satu indikasinya film Dirty Vote sudah tidak bisa dicari di kolom pencarian Youtube. Dirty Vote adalah film dokumenter yang bercerita tentang bukti-bukti kecurangan yang dilakukan menjelang Pemilu, 14 Februari 2024. 

Film ini berusaha untuk membuka kecurangan yang dilakukan semua pasangan calon. Namun memang porsi terbesar adalah menguliti kecurangan yang dilakukan oleh pasangan calon 02, Prabowo-Gibran. Jadi kebanyakan yang menonton akan berkesimpulan kalau film ini adalah “pukulan telak” bagi pasangan calon Prabowo-Gibran. 

Sebenarnya data yang ditampilkan di film Dirty Vote adalah data yang terbuka. Siapa pun bisa mendapatkan dan mengaksesnya. Bukan data intelijen yang sifatnya rahasia. Hanya saja karena kemasan yang kreatif, dibuat dalam bentuk film, dan fakta-fakta itu berusaha disulam oleh tiga pakar hukum tata negara, membuatnya  tersajikan sangat menarik. Bahkan bisa menghadirkan kesimpulan yang cukup menghentak. 

Banyak kesimpulan yang bisa kita peroleh dari film Dirty Vote. Salah satunya adalah begitu kotornya proses Pemilu hari ini. Beragam kecurangan terpampang begitu jelas. Rezim penguasa secara terang benderang ikut cawe-cawe di dalamnya. 

Jika prosesnya sudah sekotor yang diungkap oleh Film Dirty Vote, maka ke depan Pemilu 2024 ini tidak akan banyak membawa perubahan kepada Indonesia. Pun andaikan prosesnya bersih, Pemilu bukanlah jalan perubahan hakiki. Karena Pemilu tidak dihadirkan untuk mengubah permasalahan mendasar yang ada di negeri ini, yaitu sistem kehidupan yang sudah sedemikian rusak dan bertentangan dengan syariat Islam. 

Jalan Lain Perubahan 

Hari ini, tidak perlu analisis yang terlalu mendalam dan rinci, untuk sampai pada kesimpulan kalau negeri ini tidak sedang baik-baik saja. Tidak perlu menghadirkan pakar ilmu papan atas untuk memperlihatkan rusaknya pengelolaan pemerintahan oleh rezim saat ini. Karena sudah sedemikian terbukanya berbagai ketimpangan hari ini. 

Untuk mereka yang sadar telah bertaburannya masalah, maka pasti akan menuntut perubahan. Kata “Perubahan” inilah yang menjadi jualan pasangan calon 01, Anies dan Muhaimin. Namun pertanyaan kritis selanjutnya adalah perubahan seperti apa yang kita inginkan? Apakah perubahan itu hanya cukup pada pergantian pemimpin ataukah harus sampai pada pergantian sistem? 

Setiap orang tentu akan punya kesimpulan yang beda-beda, tergantung kedalaman analisis yang dia punya. Indonesia memang butuh pemimpin baru, sekaligus juga sistem pemerintahan yang baru. Sudah berkali-kali Indonesia berganti pemimpin, namun cita-cita bangsa ini tampaknya semakin menjauh. Mau sampai kapan kita berganti pemimpin terus, tanpa disertai pergantian sistem? 

Krisis yang terjadi di Indonesia adalah krisis multidimensi. Hampir di seluruh aspek kehidupan negeri ini bermasalah. Politiknya penuh intervensi, ekonominya begitu rapuh, pemerintahnya banyak yang korup, dan sejumlah masalah yang lainnya. Kalau sudah begitu, artinya kerusakan bukan hanya pada individu pemimpin, tetapi kesalahan mengadopsi sistem. 

Maka perlu digagas arah perubahan yang lain. Pemilu telah didesain untuk mencari pemimpin baru, tetapi tidak diformat untuk menghasilkan sistem yang baru. Saatnya kita memperluas cakrawala berpikir. Mau legowo untuk menerima ada jalan perubahan yang lain. 

Pemilu adalah jalur perubahan “Konstitusional Formal”. Disebut formal karena mekanisme perubahannya “dari dalam” sistem. Dan jangan lupa pada jalan perubahan kedua, yaitu “Konstitusional Non Formal” yang mencoba menggagas perubahan “dari luar” sistem. 

Konstitusional Formal vs Konstitusional Non Formal

Konstitusional formal adalah model perubahan yang cocok diterapkan jika tidak ada masalah pada sistemnya. Karena perubahan dari dalam sistem hasil akhirnya adalah suksesi kepemimpinan tanpa mengganggu keberadaan sistem yang sudah ada. 

Jalan perubahan konstitusional formal ini tidak cocok untuk yang berkesimpulan kalau kerusakan hari ini sifatnya sistemik. Yang mau mengganti sistem, maka seharusnya menempuh jalan perubahan konstitusional non formal. Sulit membayangkan perubahan sistem dilakukan dari dalam sistem. Karena setiap sistem punya sistem imunitasnya sendiri. Sebuah sistem akan memproteksi dirinya untuk tidak tergantikan dengan sistem yang lain. 

Hari ini sistem yang eksis adalah demokrasi. Maka yakinlah demokrasi punya 1001 cara untuk melindungi dirinya dari ancaman ditumbangkan oleh sistem yang lain. Jadi tidak mungkin menegakkan syariat Islam, lewat jalur demokrasi. Maka untuk yang punya kerinduan untuk kembalinya kehidupan Islam yang kaffah, kehidupan yang diatur oleh sistem Islam, maka seharusnya mengambil jalan perjuangan konstitusional non formal. Inilah jalan yang secara logika paling masuk akal dan secara syari paling aman. 

Jalan perubahan konstitusional formal (dari dalam sistem) pasti akan memaksa pejuangnya untuk melakukan kompromi pada banyak hal. Dia harus sejalan dengan mekanisme demokrasi yang ada. Padahal telah jelas di dalam Al Quran, larangan untuk mencampurkan antara yang hak dan batil. Islam itu hak, sementara demokrasi itu batil.

“Dan janganlah kalian campur adukkan antara kebenaran dan kebatilan, dan kalian sembunyikan yang benar padahal kamu mengetahuinya.” (Q.S. Al Baqarah: 42). 

Sejarah juga sudah membuktikan, bahwa perubahan yang sifatnya sistemik, berasal dari desakan jalan konstitusional non formal. Misalnya Revolusi Bolshevik, berasal dari jalan perubahan konstitusional non formal yang digagas oleh Karl Marx dan kawan-kawan. Revolusi Prancis juga bukan dari dalam parlemen. Tetapi bermula dari ruang-ruang kafe. 

Termasuk perubahan yang dicontohkan oleh Rasulullah. Beliau tidak lantas masuk dalam “parlemen” orang-orang Quraisy. Yang Rasulullah lakukan adalah istikamah dengan jalan konstitusional non formal-nya. Menggagas kekuatan umat, memunculkan kesadaran akan pentingnya hadir satu sistem baru (sistem Islam) yang menggantikan sistem jahiliyah buatan kafir Quraisy. 

Dirty Vote is Dirty System 

Dari film Dirty Vote, seharusnya bisa mengantarkan kita pada kesimpulan betapa rusaknya praktik pemerintahan hari. Kerusakan dan kecurangan Pemilu adalah gambaran bobrok dan kotornya sistem demokrasi hari ini.
Demokrasi berdiri di atas asas manfaat, tanpa mempertimbangkan lagi halal dan haram. Silakan tempuh jalan apa saja untuk meraih kekuasaan. Buang jauh-jauh agama, karena politik “haram” dicampuradukkan dengan agama. 

Jadi fakta yang begitu gamblang diungkapkan dalam film Dirty Vote lahir dari rahim dirty system saat ini. Tidak ada jalan lain kecuali mengganti dirty system dengan clean system, barakah system. Dan itulah sistem Islam. 

Oleh: Adi Wijaya 
(Aktivis Dakwah, tinggal di Makassar)

Kamis, 15 Februari 2024

Wajah Asli dari Konsep Ilusi



Tinta Media - Film dokumenter eksplanatory "Dirty Vote" menghebohkan masyarakat Indonesia. Pasalnya, Film ini berisi data, analisis, bedah, dan kritik terhadap pelaksanaan sistem demokrasi dan Pemilu di Indonesia yang terjadi dalam beberapa tahun belakangan, khususnya jelang Pemilu 14 Februari 2024. Film besutan sutradara Dandhy Dwi Laksono berdurasi 117 menit ini, sudah ditonton hampir lima juta orang di Youtube pada sehari pertama perilisannya. 

Dalam film ini, dikritik masalah-masalah mendasar dalam demokrasi dan Pemilu di Indonesia, Mulai dari soal penyalahgunaan kekuasaan, mobilisasi birokrasi hingga manipulasi politik yang tampaknya telah dianggap sebagai hal lumrah. Tiga pakar hukum tata Negara ditampilkan, masing-masing Dr. Zainal Arifin Mochtar dari UGM, Dr. Feri Amsari dari Universitas Andalas dan Dr. Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, dengan harapan meningkatkan kesadaran publik serta demi adanya perbaikan penyelenggaraan Pemilu ke depan. 

Ketiga pakar ini menyoroti banyak persoalan, di antaranya data penyelewengan dana desa serta distribusi bantuan sosial menjelang Pemilu yang semakin meningkat. Muncul kecurigaan dana desa tidak digunakan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat, melainkan dimanfaatkan untuk mendulang suara Pemilu. Hal ini juga menimbulkan dugaan penyalahgunaan bantuan sosial dengan menjadikannya sebagai alat politik menjelang Pemilu. Distribusi bantuan sosial sering kali tidak tepat sasaran dan hanya dimaksudkan sebagai strategi populis untuk meraih dukungan. Dalam film ini juga dikritik mobilisasi massal yang dilakukan kepala desa untuk menuntut revisi UU Desa agar anggaran desa ditingkatkan. Persoalan ini pun dinilai sekadar memanfaatkan momentum politik menjelang Pemilu untuk mencari keuntungan pribadi dan kelompok. 

Masih soal menggunakan harta milik negara, selain banyaknya menteri dan pejabat pemerintahan yang diduga terlibat kampanye, meski seharusnya mereka bersikap netral sebagai pelayan publik, banyak di antara para pejabat itu yang terindikasi kuat menyalahgunakan kewenangan dan fasilitas negara untuk kepentingan kampanye. Contohnya penggunaan pesawat militer dan mobil dinas untuk keperluan kampanye Pemilu. Padahal dalam Undang-Undang, pejabat negara tidak boleh ikut menjadi tim kampanye politik kecuali terlebih dahulu mengambil cuti serta sama sekali tidak boleh menggunakan fasilitas negara. 

Selain itu, penunjukan 20 PJ Gubernur dan 82 PJ Walikota/Bupati oleh Presiden dianggap sebagai praktik politik balas budi dan menciptakan loyalitas pada petahana yang mendukung anaknya sebagai cawapres. Rendahnya independensi lembaga penyelenggara dan pengawas pemilu seperti KPU dan Bawaslu juga disoroti. Lembaga ini sering dianggap hanya menjadi corong kepentingan penguasa dan tidak bersikap netral serta independen. Dalam hal verifikasi partai politik tertentu misalnya, ada partai yang tidak memenuhi syarat namun tetap diloloskan menjadi peserta Pemilu. Termasuk soal penanganan pelanggaran kampanye yang marak terjadi. 

Independensi MK yang notabene berperan sebagai pengawal demokrasi juga menjadi sorotan. Bagaimana tidak, Ketua MK, Anwar Usman dianggap memberi perlakuan istimewa pada perkara perubahan syarat usia calon Presiden. Ia diduga memiliki konflik kepentingan karena keponakannya mencalonkan diri sebagai cawapres. Selain itu, ada dugaan transaksi politik di balik putusan MK ini. 

Semua hal yang disajikan dalam Film Dirty Vote sebenarnya tidak ada yang baru atau mengejutkan. Bagi mereka yang sudah malang melintang dalam mengamati perpolitikan, terutama yang hidup pada masa orde baru, praktik menghalalkan segala cara demi kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok bukan sesuatu yang asing. Pada masa rezim Suharto, usaha melanggengkan kekuasaan ditempuh dengan cara dibuatnya aturan berisi kewajiban setiap pegawai negeri memilih partai penguasa di setiap Pemilu dan penggunaan strategi dwifungsi ABRI. Selain mengurus keamanan dan pertahanan, seluruh jabatan elite dalam politik diisi petinggi ABRI, sehingga mereka loyal kepada Presiden. 

Sebenarnya, apa pun jenis sistem demokrasi yang diterapkan sejak orde lama, orde baru hingga orde reformasi, substansinya tetap sama yakni kedaulatan di tangan manusia yang menjadi pilar dasarnya. Sistem ini tegak atas asas sekularisme (memisahkan agama dari mengatur urusan bermasyarakat dan bernegara). Manusialah yang diberi hak membuat aturan. Satu macam aturan Islam saja jika ingin diterapkan, demokrasi memberi syarat harus ikut dan menang voting dulu, dan itu prosesnya sangat lama. Padahal masih banyak syariat lainnya. Sikap seorang hamba seharusnya sami’na wa ato’na (dengar dan taat) pada perintah menerapkan syariat, bukan malah memberi syarat. 

Jika dalam demokrasi aturan bisa dibuat sesuai selera manusia (elite politik) lewat DPR atau MK, dalam sistem Islam, Khalifah tidak boleh membuat aturan yang bertentangan dengan syariat Islam. Khalifah atau pejabat yang melakukan KKN disiapkan hukuman penjara dalam waktu yang sangat lama hingga hukuman potong tangan dan kaki secara bersilangan dan bisa sampai hukuman mati. Berbeda dengan demokrasi, bukan rakyat yang memberhentikan Khalifah dalam sistem Islam. Khalifah akan diberhentikan oleh Qadhi Madzalim jika Khalifah melanggar syariat. 

Ada tiga pilar agar sistem Islam tetap tegak. Pertama, individu-individu muslim yang bertaqwa maupun non-muslim yang taat aturan Negara. Kedua, adanya kelompok yang melakukan kontrol atau amar ma’ruf nahi munkar. Ketiga, Negara yang menerapkan syariat/hukum Islam. Adapun demokrasi, tidak memberi kesempatan untuk penerapan syariat Islam yang bersifat komunal, hanya membolehkan (bahkan seharusnya mewajibkan) sebagian penerapan pada kewajiban individual seperti shalat, haji atau puasa. Akibatnya lahirlah masyarakat yang perasaan, peraturan dan pemikirannya tidak sesuai Islam. Sehingga merekapun dipimpin oleh pemimpin yang tidak bertaqwa dengan ketaqwaan hakiki. 

Oleh karena itu, isi Film Dirty Vote sesungguhnya hanya menunjukkan wajah demokrasi sebenarnya. Pragmatisme sudah menjadi bagian (built in) dari sistem ini. Keuntungan material jadi target utama tanpa mempertimbangkan halal atau haram. Karakter asli demokrasi adalah sekuler, yakni memisahkan agama dari urusan bernegara. Kedaulatan yang seharusnya di tangan Syara’ (hukum-hukum Allah), dalam demokrasi diserahkan kepada rakyat. Walaupun pada faktanya, yang berdaulat adalah segelintir elite partai politik yang juga tunduk pada kapitalis/oligarki (pemilik modal). Ketergantungan mereka pada kapitalis disebabkan besarnya biaya politik yang dibutuhkan untuk menjabat dalam sistem demokrasi. Akibatnya lahirlah kebijakan-kebijakan yang tidak menguntungkan rakyat. Kebijakan dibuat hanya didasarkan kepentingan para pemilik modal dan demi mempertahankan jabatan semata.  Hal ini seharusnya membuat kita sadar bahwa persoalan-persoalan yang terjadi, bukan disebabkan oleh pelaksanaan demokrasi yang keliru, melainkan karena konsep demokrasi sesungguhnya memang hanya ilusi belaka. []


Oleh: Sujarwadi Suaib, S.H.I 
(Ketua LBH Pelita Umat Korwil Kepton) 

Rabu, 14 Februari 2024

Dirty Vote: Sebuah Film Penguak Tabir Kecurangan Pemilu Demokrasi di Indonesia


Tinta Media - Menjelang pertengahan Februari 2024, publik disuguhkan dengan sebuah film dokumenter yang berjudul Dirty Vote. Film ini dirilis tepatnya pada tanggal 11 Februari 2024 di kanal Youtube PSHK Indonesia. Bisa dibilang, film dokumenter Dirty Vote 'keren pake banget' karena lumayan detail menggambarkan bagaimana perjalanan politik demokrasi di Indonesia menjelang Pemilu 2024. 

Tiga narasumber sekaligus aktor utama dari film ini adalah Zainal Arifin Mochtar (dosen FH UGM), Feri Amsari (dosen FH Universitas Andalas), dan Bivitri Susanti (dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera. Ketiganya juga merupakan pakar hukum tata negara. 

Rangkaian peristiwa, nama-nama orang di dalam peristiwa tersebut, data-data penunjang, baik berupa angka, diagram, suara, bahkan video tersaji dengan runut dan apik. Film diawali dengan ungkapan harapan dan maksud dibuatnya film ini. Setelahnya, berlanjut dengan paparan penjelasan dari ketiga aktor utama, khususnya terkait kecurangan-kecurangan pemilu demokrasi di Indonesia dalam 10 tahun terakhir. Durasi film 1 jam 57 menit 21 detik mungkin bisa dibilang belum cukup mengungkap semua fakta kecurangan yang terjadi. Akan tetapi, sudah cukup lumayan mewakili dan menggambarkan kecurangan yang terjadi. 

Bagi yang sudah menonton, tercengangkah Anda? Atau merasa tidak heran dengan paparan dalam film tersebut? Mungkin sebagian besar sudah mengetahui semua kecurangan-kecurangan tersebut karena memang dilakukan secara terang-benderang, seterang siang panas terik di bawah sinar matahari.  

Melihat kecurangan itu, seolah kita tidak berdaya untuk menghilangkannya. Para ahli saja tidak mampu, apalagi kita, masyarakat awam. Kenapa? Karena kita bisa melihat semua alat negara serta peraturan-peraturan hukum sudah didesain untuk menunjang kecurangan tersebut. Akhirnya, kita pasrah saja, padahal itu terjadi di depan mata. 

Pasrah? Jangan sampai ini melanda kaum muslimin.  Coba kita lihat, apa yang disampaikan dalam film Dirty Vote sebenarnya baru mengungkap dan membongkar fakta rusak demokrasi kapitalis. Film ini juga menunjukkan dengan terang benderang betapa rusaknya sistem buatan manusia, sistem yang akan menindas dan melindas lawan ataupun kawan. 

Pada tahap awal dalam membangun sebuah persepsi, setelah membongkar fakta rusak, tentu kita harus membangun sebuah konstruksi pemikiran yang kuat dan kokoh. 

Membangun konstruksi yang kuat dan kokoh ini diawali dengan memiliki sebuah standar pemikiran yang pasti, tetap, dan tentunya benar. Standar pemikiran yang memenuhi syarat ini tentunya adalah pemikiran yang berbasis akidah Islam. 

Pemikiran Islam akan membangun kembali atas fakta rusak dan bobrok dengan bangunan pemikiran yang benar dan tepat. Dengan pemikiran Islam ini pula, umat akan bergerak untuk meraih perubahan dengan Islam. Perubahan revolusionerlah  yang akan mengantarkan umat pada kebenaran yang hakiki. Bukan sekadar mengubah rezim, tetapi perubahan yang akan mengganti sistem buruk demokrasi kapitalis menjadi sistem Islam.


Oleh: Erlina YD
Pegiat Literasi 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab