“Dirty Vote” Lahir dari “Dirty System”
Tinta Media - Beberapa hari ini Indonesia dibuat gempar dengan kemunculan film Dirty Vote. Baru sehari rilis di channel Youtube, jumlah penontonnya sudah mencapai 7,2 juta. Konon hingga sekarang jumlah penontonnya telah mencapai 20 juta.
Rezim dan deretan pro status quo, cukup berhasil dibuat gerah dengan film ini. Salah satu indikasinya film Dirty Vote sudah tidak bisa dicari di kolom pencarian Youtube. Dirty Vote adalah film dokumenter yang bercerita tentang bukti-bukti kecurangan yang dilakukan menjelang Pemilu, 14 Februari 2024.
Film ini berusaha untuk membuka kecurangan yang dilakukan semua pasangan calon. Namun memang porsi terbesar adalah menguliti kecurangan yang dilakukan oleh pasangan calon 02, Prabowo-Gibran. Jadi kebanyakan yang menonton akan berkesimpulan kalau film ini adalah “pukulan telak” bagi pasangan calon Prabowo-Gibran.
Sebenarnya data yang ditampilkan di film Dirty Vote adalah data yang terbuka. Siapa pun bisa mendapatkan dan mengaksesnya. Bukan data intelijen yang sifatnya rahasia. Hanya saja karena kemasan yang kreatif, dibuat dalam bentuk film, dan fakta-fakta itu berusaha disulam oleh tiga pakar hukum tata negara, membuatnya tersajikan sangat menarik. Bahkan bisa menghadirkan kesimpulan yang cukup menghentak.
Banyak kesimpulan yang bisa kita peroleh dari film Dirty Vote. Salah satunya adalah begitu kotornya proses Pemilu hari ini. Beragam kecurangan terpampang begitu jelas. Rezim penguasa secara terang benderang ikut cawe-cawe di dalamnya.
Jika prosesnya sudah sekotor yang diungkap oleh Film Dirty Vote, maka ke depan Pemilu 2024 ini tidak akan banyak membawa perubahan kepada Indonesia. Pun andaikan prosesnya bersih, Pemilu bukanlah jalan perubahan hakiki. Karena Pemilu tidak dihadirkan untuk mengubah permasalahan mendasar yang ada di negeri ini, yaitu sistem kehidupan yang sudah sedemikian rusak dan bertentangan dengan syariat Islam.
Jalan Lain Perubahan
Hari ini, tidak perlu analisis yang terlalu mendalam dan rinci, untuk sampai pada kesimpulan kalau negeri ini tidak sedang baik-baik saja. Tidak perlu menghadirkan pakar ilmu papan atas untuk memperlihatkan rusaknya pengelolaan pemerintahan oleh rezim saat ini. Karena sudah sedemikian terbukanya berbagai ketimpangan hari ini.
Untuk mereka yang sadar telah bertaburannya masalah, maka pasti akan menuntut perubahan. Kata “Perubahan” inilah yang menjadi jualan pasangan calon 01, Anies dan Muhaimin. Namun pertanyaan kritis selanjutnya adalah perubahan seperti apa yang kita inginkan? Apakah perubahan itu hanya cukup pada pergantian pemimpin ataukah harus sampai pada pergantian sistem?
Setiap orang tentu akan punya kesimpulan yang beda-beda, tergantung kedalaman analisis yang dia punya. Indonesia memang butuh pemimpin baru, sekaligus juga sistem pemerintahan yang baru. Sudah berkali-kali Indonesia berganti pemimpin, namun cita-cita bangsa ini tampaknya semakin menjauh. Mau sampai kapan kita berganti pemimpin terus, tanpa disertai pergantian sistem?
Krisis yang terjadi di Indonesia adalah krisis multidimensi. Hampir di seluruh aspek kehidupan negeri ini bermasalah. Politiknya penuh intervensi, ekonominya begitu rapuh, pemerintahnya banyak yang korup, dan sejumlah masalah yang lainnya. Kalau sudah begitu, artinya kerusakan bukan hanya pada individu pemimpin, tetapi kesalahan mengadopsi sistem.
Maka perlu digagas arah perubahan yang lain. Pemilu telah didesain untuk mencari pemimpin baru, tetapi tidak diformat untuk menghasilkan sistem yang baru. Saatnya kita memperluas cakrawala berpikir. Mau legowo untuk menerima ada jalan perubahan yang lain.
Pemilu adalah jalur perubahan “Konstitusional Formal”. Disebut formal karena mekanisme perubahannya “dari dalam” sistem. Dan jangan lupa pada jalan perubahan kedua, yaitu “Konstitusional Non Formal” yang mencoba menggagas perubahan “dari luar” sistem.
Konstitusional Formal vs Konstitusional Non Formal
Konstitusional formal adalah model perubahan yang cocok diterapkan jika tidak ada masalah pada sistemnya. Karena perubahan dari dalam sistem hasil akhirnya adalah suksesi kepemimpinan tanpa mengganggu keberadaan sistem yang sudah ada.
Jalan perubahan konstitusional formal ini tidak cocok untuk yang berkesimpulan kalau kerusakan hari ini sifatnya sistemik. Yang mau mengganti sistem, maka seharusnya menempuh jalan perubahan konstitusional non formal. Sulit membayangkan perubahan sistem dilakukan dari dalam sistem. Karena setiap sistem punya sistem imunitasnya sendiri. Sebuah sistem akan memproteksi dirinya untuk tidak tergantikan dengan sistem yang lain.
Hari ini sistem yang eksis adalah demokrasi. Maka yakinlah demokrasi punya 1001 cara untuk melindungi dirinya dari ancaman ditumbangkan oleh sistem yang lain. Jadi tidak mungkin menegakkan syariat Islam, lewat jalur demokrasi. Maka untuk yang punya kerinduan untuk kembalinya kehidupan Islam yang kaffah, kehidupan yang diatur oleh sistem Islam, maka seharusnya mengambil jalan perjuangan konstitusional non formal. Inilah jalan yang secara logika paling masuk akal dan secara syari paling aman.
Jalan perubahan konstitusional formal (dari dalam sistem) pasti akan memaksa pejuangnya untuk melakukan kompromi pada banyak hal. Dia harus sejalan dengan mekanisme demokrasi yang ada. Padahal telah jelas di dalam Al Quran, larangan untuk mencampurkan antara yang hak dan batil. Islam itu hak, sementara demokrasi itu batil.
“Dan janganlah kalian campur adukkan antara kebenaran dan kebatilan, dan kalian sembunyikan yang benar padahal kamu mengetahuinya.” (Q.S. Al Baqarah: 42).
Sejarah juga sudah membuktikan, bahwa perubahan yang sifatnya sistemik, berasal dari desakan jalan konstitusional non formal. Misalnya Revolusi Bolshevik, berasal dari jalan perubahan konstitusional non formal yang digagas oleh Karl Marx dan kawan-kawan. Revolusi Prancis juga bukan dari dalam parlemen. Tetapi bermula dari ruang-ruang kafe.
Termasuk perubahan yang dicontohkan oleh Rasulullah. Beliau tidak lantas masuk dalam “parlemen” orang-orang Quraisy. Yang Rasulullah lakukan adalah istikamah dengan jalan konstitusional non formal-nya. Menggagas kekuatan umat, memunculkan kesadaran akan pentingnya hadir satu sistem baru (sistem Islam) yang menggantikan sistem jahiliyah buatan kafir Quraisy.
Dirty Vote is Dirty System
Dari film Dirty Vote, seharusnya bisa mengantarkan kita pada kesimpulan betapa rusaknya praktik pemerintahan hari. Kerusakan dan kecurangan Pemilu adalah gambaran bobrok dan kotornya sistem demokrasi hari ini.
Demokrasi berdiri di atas asas manfaat, tanpa mempertimbangkan lagi halal dan haram. Silakan tempuh jalan apa saja untuk meraih kekuasaan. Buang jauh-jauh agama, karena politik “haram” dicampuradukkan dengan agama.
Jadi fakta yang begitu gamblang diungkapkan dalam film Dirty Vote lahir dari rahim dirty system saat ini. Tidak ada jalan lain kecuali mengganti dirty system dengan clean system, barakah system. Dan itulah sistem Islam.
Oleh: Adi Wijaya
(Aktivis Dakwah, tinggal di Makassar)