Kekuasaan dan Islam Tidak Boleh Dipisahkan
Tinta Media - Pesta demokrasi yang sudah digelar adalah pesta akbar yang begitu dinantikan oleh orang-orang yang ingin duduk di panggung kekuasaan. Kita bisa lihat, saat itu, antusiasme tidak hanya terlihat dari para paslon, tetapi juga masyarakat yang ikut mendukung dan memeriahkan setiap acara yang dibuat oleh para paslon.
Dukungan pun datang dari para tokoh ulama. Ada yang mengatakan bahwa semua orang memiliki hak demokrasi yang sama pada pemilu 2024. Bahkan, sejumlah tokoh ulama di Kabupaten Bandung bersepakat untuk mendeklarasikan calon presiden dan wakil presiden tertentu dan mengampanyekan di wilayahnya.
Di tengah suasana pemilu saat ini, para calon penguasa memang mencari dukungan kepada setiap lapisan masyarakat, mulai dari rakyat bawah hingga kalangan atas, tak terkecuali yang paling diincar adalah para tokoh ulama. Karena mayoritas penduduk negeri ini adalah muslim, maka bisa dipastikan bahwa sosok ulamalah yang paling berpengaruh.
Oleh sebab itu, pesantren-pesantren menjadi tempat favorit yang kerap dikunjungi ketika musim pemilu. Seperti biasa, berkedok 'menjaga silaturahim' menjadi alasan para pengejar kekuasaan untuk menemui para pemimpin pondok pesantren. Tak lupa, dana untuk pesantren pun menjadi bagian dari rangkaian kampanye untuk mendapatkan dukungan dari para ulama.
Inilah kenapa banyak ulama yang ikut berkampanye. Buah busuk sistem sekuler kapitalisme sudah merusak pemahaman umat Islam. Karena itu, kalangan ulama yang seharusnya mampu membawa umat kepada jalan yang diridai Allah, malah ikut menjerumuskan umat pada pesta demokrasi yang jelas-jelas jauh dari syariah.
Apalagi jika yang diusung adalah dari kalangan yang track record perilakunya sangat tidak baik, terutama yang memusuhi Islam. Sejatinya musuh-musuh Islam sampai kapan pun menyimpan kebencian terhadap Islam. Apakah sosok seperti ini pantas dijadikan pemimpin dari sebuah negeri yang mayoritas penduduknya muslim?
Dalam sistem demokrasi kapitalisme, aktivitas cari muka saat ini lumrah dilakukan oleh para calon penguasa. Mereka tebar janji, gratis ini itu, suguhkan kartu ini itu, sebagai iming-iming agar masyarakat terbuai dan mendukung mereka. Padahal, nyatanya itu hanya bahasa pemilu saja.
Dalam sistem ini, cara-cara meraih kekuasaan sering kali menghalalkan segalanya. Ini karena akidah yang diemban di negeri ini adalah memisahkan agama dari kehidupan dan negara. Orientasi mereka hanya pada dunia semata. Pada akhirnya, ketika kekuasaan sudah di tangan, mereka lupa dengan janji-janjinya. Rakyat pun kembali dilupakan dan dibiarkan melanjutkan penderitaan yang tiada akhir.
Para penganut ideologi ini selalu mempropagandakan demokrasi sebagai sistem yang terbaik yang mampu menjamin kesejahteraan, kemakmuran, kesetaraan, dan keadilan. Padahal, realitasnya kemakmuran hanya dirasakan oleh oligarki saja, bukan rakyat kecil.
Ini karena sesungguhnya yang berdaulat dalam sistem ini adalah para elite politik yang mengatasnamakan wakil rakyat. Lagi dan lagi, rakyat kecil menjadi korban ketidakadilan sistem demokrasi yang mengklaim bahwa kekuasaan ada di tangan rakyat. Nyatanya, semua itu hanya ilusi semata.
Berbeda halnya dalam sistem Islam, kekuasaan dan Islam tidak bisa dipisahkan, jika dipisahkan maka akan membahayakan pemimpin dan rakyat yang dipimpinnya. Maka dari itu, Islam mempunyai beberapa syarat menjadi seorang pemimpin negara, di antaranya yaitu: muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka, dan mampu melaksanakan tugas sebagai pemimpin negara.
Selain itu, dalam Islam, begitu penting mengetahui karakter seorang pemimpin. Tidak hanya sekadar terlihat baik, muda, pintar, berwibawa, ramah, alim ataupun gemoy, tetapi harus betul-betul dilihat dari ketakwaan kepada Allah Swt.
Kemudian, apakah kelak kekuasaannya akan digunakan untuk memperkaya diri dan kelompoknya atau sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt?
Rasulullah saw. bersabda,
"Pemimpin yang memimpin rakyat adalah pengatur urusan mereka dan dia dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya." (HR.al-Bukhari).
Peradaban mencatat bahwa Islam mempunyai pemimpin yang menjadi sosok panutan terbaik sepanjang masa. Beliau adalah Rasulullah saw. Beliaulah yang kemudian menjadi suri teladan para pemimpin Islam sepeninggal beliau. Bahkan, Islam selama 13 abad lamanya menjadi mercusuar dunia. Ini karena karena sistem pemerintahannya yang luar biasa mampu meriayah seluruh umat yang hidup dalam daulah Islamiyah.
Maka dari itu, menjadi seorang pemimpin amatlah berat tanggung jawabnya. Amanah yang diemban bukan hanya sekadar menjaga rakyat, tetapi juga menjaga Islam agar tetap tegak sebagai satu-satunya ideologi yang harus diterapkan. Inilah kenapa kekuasaan tidak boleh dipisahkan dari Islam.
Sudah saatnya kita sebagai kaum muslimin berjuang untuk menegakkan Islam secara kaffah dalam sistem pemerintahan Islam. Hanya dengan Islam, rakyat bisa sejahtera dan terbebas dari belenggu ketidakadilan dan kemiskinan yang disebabkan oleh sistem rusak, yaitu sistem demokrasi kapitalisme. Wallahualam.
Oleh: Neng Mae
(Sahabat Tinta Media)