Demokrasi, Masihkah Bisa Diperbaiki?
Tinta Media - Hadir dalam acara Mandiri Investment Forum (MIF) 2024 yang dilaksanakan di Hotel Fairmont, Jakarta, Selasa (5/3), Prabowo Subianto dalam kapasitasnya sebagai Menteri Pertahanan (Menhan) RI menyampaikan pidatonya di hadapan ribuan peserta yang hadir. Dalam pidatonya yang disampaikan dalam Bahasa Inggris, Prabowo menyampaikan bahwa demokrasi di Indonesia sangatlah melelahkan, berantakan, dan juga mahal. Akan tetapi, Prabowo yang juga merupakan Calon Presiden RI 2024 ini juga mengatakan bahwa masih ada harapan perbaikan terhadap demokrasi yang hari ini dijalankan.
Apa yang disampaikan oleh Menhan tersebut tentu bukan tanpa dasar. Apabila kita mengacu pada pelaksanaan pemilu 2024 yang baru selesai dilaksanakan 14 Februari yang lalu, tentu kita akan dengan sangat mudah menyepakati pernyataan yang disampaikan oleh Capres Nomor urut 2 tersebut. Bagaimana tidak, untuk menyukseskan pelaksanaan pemilu 2024 Pemerintah menggelontorkan anggaran yang tidak main-main, jumlahnya mencapai 71,3 triliun rupiah.
Dalam pelaksanaannya, demokrasi yang lahir dari rahim ideologi kapitalisme sekuler memang telah banyak menciptakan masalah, carut-marutnya pelaksanaan pemilu, banyaknya politisi korup, budaya suap dan juga politik transaksional yang kerap terjadi seakan sudah membudaya dan terus berulang, sampai hari ini.
Berbagai masalah kehidupan yang terjadi di Indonesia, seperti angka kemiskinan yang semakin bertambah, menurunnya moral masyarakat dalam kehidupan sosial, maraknya korupsi, penguasaan Sumber Daya Alam oleh swasta bahkan asing, maraknya kriminalitas, dan masih banyak masalah lain yang terjadi, sejatinya muncul akibat diterapkannya sistem demokrasi sekuler yang telah menepikan peran agama dalam pengaturan kehidupan individu, masyarakat dan bernegara.
Hal ini tentu harus menjadi bahan pemikiran kita semua yang sampai hari ini masih keukeuh menaruh harapan akan datangnya perubahan dan perbaikan melalui jalan demokrasi, walaupun sudah bisa dipastikan hal itu mustahil bisa diwujudkan. Demokrasi sedari awal memang tidak diciptakan sebagai jalan perubahan, keberadaannya tidak lebih hanya sebagai ilusi yang sengaja diciptakan oleh hegemoni para pemilik modal (kapitalis) untuk bisa melanggengkan kekuasaan.
Demokrasi telah menjadi semacam lahan basah yang menyuburkan korupsi, jual beli kebijakan, dan praktik money politik atau politik uang. Kemudian di dalamnya terwujudlah semacam simbiosis mutualisme antara politisi dan para pemilik modal yang membidani lahirnya berbagai kebijakan-kebijakan publik yang merugikan dan menzalimi rakyat.
Jargon “Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” yang selama ini selalu digembar-gemborkan nyatanya tidak lebih dari sekedar tipu muslihat.
Oleh karena itu, maka menjadi penting bagi kita untuk mulai mengkaji ulang, apakah benar demokrasi memang satu-satunya jalan yang bisa kita gunakan untuk mewujudkan harapan akan datangnya perubahan yang didambakan?
Dalam pandangan Islam, demokrasi adalah sebuah sistem kufur yang haram diadopsi dan diterapkan oleh kaum Muslimin di mana pun. Hal ini disebabkan karena demokrasi telah mengambil peran Allah SWT sebagai satu-satunya Dzat yang berhak membuat hukum. (Lihat Qs.Al-An’am : 57)
Di dalam Islam, kedaulatan berada di tangan Hukum Syara bukan ditangan manusia (rakyat). Halal-haram ditentukan melalui ijtihad (penggalian hukum) yang dilakukan oleh para Mujtahid berdasarkan dalil, baik Al-Qur’an maupun As-Sunnah, bukan lantas diserahkan kepada mekanisme suara terbanyak yang menjadikan asas maslahat sebagai landasan pengambilan hukum dan kebijakan.
Demokrasi dari awal sejarah diterapkannya memang tidak pernah menghendaki adanya peran agama dalam pengaturannya, padahal Islam telah menetapkan kewajiban agar umat Islam bisa berislam secara total (kaffah) dalam setiap urusan kehidupannya (Lihat Qs.Al-Baqarah : 208).
Akan tetapi, tentu penerapan Syariah Islam secara kaffah itu mustahil bisa terlaksana dalam atmosfer demokrasi seperti hari ini, kedaulatan diserahkan pada manusia bukan hukum syara.
Islam Kaffah hanya bisa terwujud di bawah institusi pelaksana hukum syariah yang sesuai dengan manhaj nubbuwah, yakni khilafah Islamiyah.
Negara Khilafah yang nanti akan menerapkan hukum-hukum Syariah Islam di segala bidang, baik dalam urusan ekonomi, Pendidikan, hukum, persanksian, politik dan sosial.
Khilafah dengan kekuasaannya tidak akan menjalankan perekonomian dengan asas perekonomian ribawi. Dalam hal Pendidikan, Khilafah akan menetapkan bahwa satu-satunya landasan Pendidikan yang wajib diadopsi hanyalah akidah Islam.
Khilafah tidak akan pernah membiarkan sekelompok orang menguasai dan mengintervensi negara demi keuntungannya pribadi sebagai mana demokrasi. Maka, mari kita renungkan salah satu potongan ayat dibawah ini :
أَفَحُكْمَ ٱلْجَٰهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini?
Jadi, bukan hanya sekedar diperbaiki. Demokrasi memang sudah seharusnya diganti! Wallahu a’lam.[]
Oleh : Rahmat S. At-Taluniy
(Aktivis Dakwah)