Tinta Media: dilema
Tampilkan postingan dengan label dilema. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label dilema. Tampilkan semua postingan

Jumat, 08 November 2024

Dilema Surga Pariwisata


 
Tinta Media - Perbatasan Indonesia-Malaysia membawa harapan dan tantangan karena keindahan alam di sana bertemu dengan kehadiran warga negara asing (WNA) yang ingin mengeksplorasi pesonanya. 

Kantor Imigrasi Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu, semakin memperkuat peran Tim Pengawasan Orang Asing (Timpora) dalam memastikan keamanan dan kenyamanan di wilayah ini. Kabupaten Kapuas Hulu, dengan potensi pariwisata dan sumber daya alam yang menarik, menjadi magnet bagi wisatawan. 

Namun, kehadiran WNA juga memunculkan tantangan terkait aktivitas dan keselamatan mereka (suarakalbar.co.id 20/10/2024). Oleh karena itu,  peran negara sangat penting untuk mengawasi dan menjaga keamanan, terutama bagi para wisatawan asing yang berkunjung ke daerah yang kaya akan keindahan ini.

Siapa yang tidak mengenal kekayaan sumber daya alam (SDA) Kalimantan Barat? Dengan 14 kabupaten yang memukau, kawasan ini merupakan surga pariwisata. Namun, seiring dengan pesatnya perkembangan sektor pariwisata, praktik korupsi di kalangan pejabat semakin marak, memanfaatkan peluang bisnis yang menjanjikan keuntungan besar, sering kali dengan mengabaikan etika demi mengejar cuan yang masuk ke dalam APBN negara.

Dalam konteks ini, keberadaan pihak asing dan aseng pun tak bisa diabaikan. Ketika aset SDA negara mulai menipis, perhatian mereka beralih ke dunia pariwisata. Di sini, batas halal-haram sering kali dilanggar demi kelancaran usaha. Hal ini mencerminkan dampak kapitalisme-sekuler yang semakin mendominasi. Sementara, masyarakat malah menjadi korban dari eksploitasi yang tidak terhindarkan. 

Ini berbeda dengan pengelolaan dalam peradaban Islam. Dalam Islam, pengelolaan pariwisata dilakukan oleh negara khilafah dengan tujuan dakwah dan propaganda. Tidak hanya sekadar untuk keuntungan, tetapi juga untuk membangun dan menguatkan keimanan umat. 

Pengelolaan pariwisata berbasis hadharah (peradaban) Islam sangat penting, mengingat negara memiliki kas keuangan yang cukup dari pengelolaan SDA dan zakat, yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan umat dan menjaga keindahan ciptaan Allah.




Oleh: Maimurah
Sahabat Tinta Media

Kamis, 07 Desember 2023

Kurikulum Merdeka dan Dilema Guru di Hari Jadinya



Tinta Media - Maju tidaknya suatu bangsa ditentukan oleh kualitas pendidikannya. Jika kualitas pendidikannya rendah, maka suatu bangsa akan tertinggal, begitu pun sebaliknya, jika kualitas pendidikannya tinggi maka bangsa pun akan maju. Hal tersebut tampak pada sosok generasinya, yang  memiliki ilmu pengetahuan dan mampu mengembangkan teknologi yang tinggi. Hal ini tentu tidak terlepas beberapa faktor utama, yakni dari peran pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan, guru sebagai pengajar dan pendidik, serta  kurikulum yang mendukung teraihnya tujuan pendidikan.

Berdasarkan SE Mendikbudristek Nomor 36927, pada 25 November 2023 yang diperingati sebagai Hari Guru Nasional yang mengusung tema Bergerak Bersama Merdeka Belajar, maka  seluruh guru harus melaksanakan upacara. Tema yang diusung pada peringatan Hari Guru kali ini selaras dengan tema kurikulum yang dibuat oleh kementerian pendidikan. Hal ini dilakukan sebagai bentuk keseriusan pemerintah dalam menerapkan kurikulum merdeka.  

Sayangnya, kurikulum yang silih berganti justru menjadikan kualitas generasi semakin tidak jelas bahkan lemah, sehingga melahirkan berbagai masalah serius. Generasi penerus bangsa kita sebagai output pendidikan di negeri ini, tampak sedang sakit dan penuh problematika. Lihat saja betapa maraknya aksi kriminal yang dilakukan oleh para pelajar, mulai dari tawuran, begal, perzinaan, fenomena klitih, narkoba, hingga pembunuhan. Belum lagi aksi bullying yang semakin hari semakin mengerikan. Bahkan kesehatan mental pelajar yang semakin rusak dengan alasan keluarga, percintaan bahkan terlilit utang yang menjadikan generasi kita bermental tempe sehingga marak kasus bunuh diri.  

Fenomena rusaknya generasi kita saat ini seyogyanya dijadikan bahan introspeksi dan evaluasi pemerintah sebagai penguasa dalam menentukan kurikulum pendidikan. Namun, alih-alih mencari akar penyebab kerusakan, penguasa malah fokus memperingati Hari Guru untuk memuluskan Program Merdeka Belajar yang notabene bertujuan untuk mencetak lulusan yang sekadar siap bekerja dan menjadi  ”kupu-kupu industri”. Padahal berbagai kerusakan ini jelas menunjukkan bahwa kurikulum yang diterapkan tidak tepat dan bermasalah, karena  berasaskan pada sekularisme yang mencampakkan peran  agama dari kehidupan, termasuk pendidikan. Oleh karena itu, keimanan dan ketakwaan tidak perlu diajarkan di sekolah karena dianggap sebagai masalah pribadi manusia. Maka lahirlah generasi yang tidak berakhlak, bahkan tidak beradab, selalu mengedepankan egonya, tanpa peduli terhadap apakah perilakunya benar atau salah, bahkan tidak peduli terhadap berdosa atau kah tidak.

Sekularisme yang menjadi asas kapitalisme yang diterapkan di negeri ini, menjadikan materi dan manfaat sebagai orientasi dalam kehidupannya, termasuk dalam proses pendidikan.

Generasi terus didorong menjadi pekerja yang mencetak uang tanpa mempedulikan kemaslahatan umat. Jelas hal ini menunjukkan bahwa pendidikan dengan penerapan kurikulumnya gagal mencetak dan melahirkan generasi mulia. Inilah akibatnya jika konsep pendidikan hanya berdasarkan akal manusia yang terbatas dan mencampakkan aturan Allah. Alhasil sesering apa pun mengganti kurikulum, selama sistem yang digunakan masih kapitalisme- sekularisme sebagai landasan dalam berbuat, generasi akan sulit untuk diperbaiki. 

Islam sebagai agama yang mayoritas dianut oleh penduduk di negeri ini, memandang generasi  sebagai aset besar dan tonggak peradaban. Merekalah calon pemimpin masa depan yang akan menegakkan peradaban Islam yang mulia. 

 Tak heran jika sejarah umat manusia menunjukkan bagaimana peradaban Islam telah melahirkan sosok-sosok hebat dan mengagumkan yang berkepribadian Islam seperti, para pemimpin besar semisal Salahuddin Al-Ayubi, Muhammad Al-Fatih, juga lahir para imam mahzab seperti Imam Syafi’i, juga para cendekiawan dan ilmuwan besar, seperti Ibnu Sina, al-Khawarizmi, al-Jabar, dan masih banyak lagi, yang mampu memajukan kehidupan manusia, bukan hanya kaum muslimin. Hal ini tak lepas dari kurikulum pendidikan yang diajarkan berdasarkan akidah Islam, yang mampu menjadikan pribadi-pribadi manusia memiliki pola pikir dan pola sikap Islam, sehingga mereka menjadi sosok mulia.

 Terlebih pembelajaran Islam merupakan proyek  amal, sehingga setiap yang dipelajari harus diamalkan dan bermanfaat bagi diri maupun orang lain. Alhasil generasi akan selalu melakukan inovasi-inovasi baru untuk menghasilkan karya yang memberikan kemaslahatan bagi umat. Rasulullah pernah bersabda : "Barang siapa yang mempelajari ilmu yang dengannya dapat memperoleh keridhaan Allah SWT, (tetapi) ia tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan kesenangan duniawi, maka ia tidak akan mendapatkan harumnya surga di hari kiamat nanti," (HR Abu Daud).

Para guru pun merupakan sosok mulia yang wajib untuk dihormati dan dihargai.  Penghargaan Islam kepada para guru bukan hanya sebatas seremonial dan gelar saja, melainkan memberikan penghargaan dengan memberikan upah yang fantastis. Saat masa Khalifah Umar bin Khaththab  sekitar 1300 tahun yang lalu gaji guru jika dikonversikan rupiah sekitar 60 juta setiap bulannya. Bahkan saat kekhalifahan Abbasiyah guru digaji sebesar 320 juta/per bulan. Penghargaan seperti ini tentu menjadikan seorang guru akan maksimal untuk memberikan pengajaran kepada para murid. Hanya dengan menerapkan kembali sistem Islam dalam seluruh aspek kehidupan, maka kerusakan generasi akan bisa diselesaikan secara tuntas, dan menjadi generasi cemerlang,  dan kemuliaan guru pun akan tetap ditinggikan. Wallahu’alam bishawwab

Oleh: Thaqiyunna Dewi, S.I.Kom.
Sahabat Tinta Media
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab