Demi Apresiasi, Materi, dan Oligarki, Rakyat Dikhianati
Tinta Media - Sebuah apresiasi yang diberikan terhadap suatu kinerja yang baik tentu menjadi kebanggaan tersendiri. Siapa pun akan terpacu bekerja lebih maksimal agar 'award' tersebut bisa diraihnya kembali. Apalagi, jika sebuah apresiasi WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) ini diberikan oleh Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) RI kepada Pemkab Bandung atas kinerja yang dinilai baik.
BPK RI menilai bahwa Pemkab Bandung telah berhasil memberikan early warning atau peringatan dini dalam penyelenggaraan tugas-tugas OPD (Organisasi Perangkat Daerah), sehingga tindakan korupsi bisa dicegah dan mampu mengeliminasi potensi pelanggaran hukum.
Kang DS sebagai Bupati Bandung pun optimis mampu meraih WTP untuk kedelapan kalinya, dengan terus mendukung inspektorat dalam memberantas praktik korupsi dan mampu memperbaiki kinerja seluruh jajaran Pemkab Bandung. Alhasil menurutnya, di bawah kepemimpinannya, Pendapatan Asli Daerah (PAD) semakin meningkat dan kinerja seluruh OPD semakin baik dan kini APBD meningkat menjadi Rp7,4 T.
Menyoal tentang kinerja yang baik, tentu erat hubungannya dengan dedikasi tinggi terhadap tugas atau amanah yang diemban. Akan tetapi, bagaimana jika kinerja yang baik ini dilakukan oleh seorang pemimpin untuk mendapatkan 'award'?
Sebetulnya kinerja baik yang dilakukan oleh penguasa atau pemimpin adalah wajib hukumnya. Ada atau tidaknya sebuah 'award', seorang penguasa atau pemimpin tetap harus bekerja keras untuk kesejahteraan rakyat. Hasil dari kinerja baik ini pun harus betul-betul dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali.
Selain itu, ukuran baiknya kinerja penguasa daerah tidak bisa hanya diukur dengan tingginya PAD. Meskipun PAD-nya tinggi, jika belum bisa terserap oleh masyarakat (melalui APBD) tersebut, tetap saja akan menyisakan masalah.
Faktanya, meningkatnya PAD belum berkorelasi dengan kesejahteraan masyarakat. Hal itu adalah klaim semata tanpa melihat kenyataan yang terjadi di lapangan. Kesejahteraan hanya dirasakan oleh kalangan tertentu saja. Buktinya, ketimpangan ekonomi dan sosial semakin tinggi antara kelompok orang kaya dan orang miskin.
Sistem sekuler kapitalisme yang saat ini kita pijak hanya berorientasi pada manfaat duniawi saja. Jadi, sangat mungkin jika penguasa hanya mementingkan apresiasi dan materi saja dan tidak serius dalam mengurus rakyat. Buktinya, banyak kasus penyalahgunaan anggaran yang mengatasnamakan kesejahteraan rakyat, padahal sesungguhnya para penguasa mengkhianati mereka.
Tercatat kasus korupsi sepanjang tahun 2004-2022 ada 344 pimpinan dan anggota DPR dan DPRD, 38 menteri dan kepala lembaga, 31 hakim konstitusi, 8 komisioner, 24 gubernur, 162 bupati dan wali kota, serta masih banyak lagi kasus korupsi lainnya.
Maraknya kasus korupsi menunjukkan betapa buruknya sistem yang diterapkan. Kejahatan ini sudah begitu mengakar dan membudaya dari generasi ke generasi. Berbagai perangkat hukum maupun undang-undang tak mampu memberantas korupsi hingga akarnya.
Harus kita sadari bahwa perilaku korup ini adalah imbas dari penerapan sistem sekuler liberal yang menafikan agama dalam mengatur kehidupan, sehingga halal haram tidak menjadi patokan dalam melakukan amal perbuatan. Akhirnya, banyak penguasa yang mengkhianati rakyat dengan kekuasaannya. Penguasa bekerja keras dan menunjukkan kinerja baiknya hanya demi kepentingan diri dan kelompoknya saja.
Selain itu, anggaran yang harusnya dialokasikan untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan rakyat, nyatanya belum bisa dirasakan oleh rakyat. Angka pengangguran semakin meningkat. PHK di mana-mana. Kasus stunting tak teratasi. Kasus agraria semakin meningkat dan banyak lagi bukti dari abainya seorang penguasa yang materialistis.
Padahal, pembangunan infrastruktur sedang dilakukan secara besar-besaran. Namun, kenapa di balik gedung-gedung bertingkat dan megah, masih banyak rakyat yang kesulitan mencari pekerjaan dengan upah yang layak? Di mana tanggung jawab negara, melihat banyak rakyatnya menderita di tengah kemajuan infrastruktur dan perekonomian? Sebetulnya rakyat mana yang disejahterakan oleh penguasa dengan APBD Rp7,4 T?
Berbeda halnya ketika kehidupan diatur dengan sistem Islam (khilafah). Sistem paripurna ini mampu memecahkan problematika kehidupan. Sistem ini berdiri di atas akidah Islam sehingga setiap individu mempunyai keyakinan yang kuat dan terhindar dari perbuatan melanggar hukum syara.
Dalam Islam, kinerja penguasa dipertanggungjawabkan pada Allah Swt, sehingga penguasa tidak mesti mengklaim bahwa kinerjanya sudah baik. Harusnya, yang menilai baik atau buruknya penguasa adalah rakyat, bukan dirinya sendiri.
Selain itu, keseriusan kinerja pemimpin Islam dalam mengurusi rakyatnya bukan karena mengejar 'award' dari manusia, tetapi betul-betul sebagai bentuk ketakwaan kepada Allah Swt. Dalam Islam, kepemimpinan tidak sekadar mendudukkan seseorang di panggung kekuasaan, tetapi yang lebih utama adalah bagaimana kekuasaan itu digunakan untuk menjaga, menerapkan dan mendakwahkan Islam, serta bertanggung jawab dunia akhirat dalam mengurus rakyat dengan hukum-hukum Islam.
Seluruh penerapan aturan hidup hanya bersandar pada hukum syara, bukan hukum buatan manusia yang sarat akan kemudaratan. Jika terjadi suatu pelanggaran hukum pun, maka akan ada sanksi yang membuat jera sehingga tidak akan menjadi budaya. Contohnya adalah kejahatan korupsi. Mereka yang berbuat harus siap-siap disita hartanya. Namanya akan diumumkan kepada khalayak dan menjadi sanksi sosial. Hukuman pun akan diberikan sesuai kadar kesalahan, bisa pula potong tangan atau hukuman mati.
Oleh karena itu, begitu urgennya penerapan syariah secara kaffah oleh suatu negara, karena mampu menjadikan penguasa dan rakyat memiliki keimanan yang kuat dan menyadari ada Sang Khalik yang mengawasi.
Allah berfirman, "Dan barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh dia akan mengalami kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta." (TQS.Thaha ayat 124).
Maka, hanya pemimpin dalam sistem Islam yang mampu memberikan kinerja baik tanpa mengharap penilaian dari manusia atau pujian sesaat yang mampu menjerumuskan pada kesombongan. Kekuasaannya adalah amanah dari Allah Swt. yang harus dia pertanggungjawabkan di dunia dan akhirat. Semua yang dilakukan semata-mata mengharap rida Allah Swt. Wallahualam.
Oleh: Neng Mae
Sahabat Tinta Media