Rohingya, Deritamu Tak Kunjung Sirna
Tinta Media - Masih ingat dengan Rohingya? Belakangan ini perhatian umat Islam tertuju pada genosida yang terjadi di Palestina, serta perjuangan para mujahidin yang berusaha membebaskan Palestina dari cengkeraman Zionis Yahudi. Selain itu, kondisi politik dalam negeri sedang sibuk bagi-bagi kursi kekuasaan yang tentunya membuat masyarakat penasaran. Lantas, apakah keberadaan muslim Rohingya sudah terlupakan dari benak umat Islam?
Nasib muslim Rohingya masih terlunta-lunta tak bisa menetap di wilayah mana pun. Mereka masih hidup terapung-apung di lautan tanpa memiliki arah dan tujuan. Setiap kali tiba di sebuah wilayah, mereka pun harus bersiap untuk pergi lagi karena status mereka yang tidak jelas.
Mereka sudah terusir dari tanah airnya di Myanmar akibat konflik yang terjadi di sana. Baru-baru ini, 96 pengungsi Rohingya mendarat di Pantai Meunasah Asan, Madat, Aceh Timur, Kamis (31/10/2024). Enam orang di antaranya telah meninggal dunia. Diduga, mereka meninggal saat masih berada di kapal.
Menurut keterangan Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Aceh Timur Inspektur Satu Adi Wahyu Nurhidayat, jenazah yang ditemukan tersebut terdiri dari laki-laki dan perempuan berusia 14 hingga 17 tahun dan dimakamkan di TPU Gampong Meunusah Asan. Sementara itu, masih ada 90 orang yang selamat. Tujuh di antaranya adalah anak-anak. (acehkini.ID, Jumat, 1/11/2024).
Sedangkan menurut Kepala bidang Politik Pemerintahan dan Keamanan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Aceh Timur Syamsul Bahri di Aceh Timur, pihaknya belum menerima laporan terkait pengungsi Rohingya yang meninggal dunia. Saat ini, timnya sedang melakukan pendataan terhadap mereka. Puluhan imigran tersebut diturunkan dari kapal dan berenang ke pantai. Untuk penanganan tindak lanjut, keberadaan mereka masih menunggu hasil koordinasi dengan pihak UNHCR, lembaga internasional yang mengurusi pengungsi lintas negara (Antaranews.com, 31/10/2024).
Kedatangan muslim Rohingya di berbagai negara sebagai pengungsi disebabkan karena konflik di negaranya yang tak kunjung selesai. Seperti diketahui, mereka berasal dari Rakhine, negara bagian barat Myanmar. Mereka telah bermukim di sana secara turun-temurun hingga ratusan tahun.
Namun, dalam beberapa dekade ini, militer Myanmar melancarkan operasi militer di wilayah Rakhine dan mereka pun dipaksa meninggalkan Myanmar. Jika tidak, mereka akan mengalami genosida, pembakaran, penyiksaan dan pemerkosaan. Hak kewarganegaraan mereka pun telah dicabut. Hingga hari ini, status muslim Rohingya seperti orang buangan yang tidak dimanusiakan.
Sejatinya, nasib muslim Rohingya adalah tanggung jawab seluruh umat Islam di dunia, sebab antara muslim dengan muslim lainnya adalah saudara dalam ikatan akidah. Namun, banyaknya framing di media sosial maupun berita yang menyudutkan para pengungsi tersebut dengan hal-hal negatif tanpa dipastikan kebenarannya. Banyak umat Islam yang justru menolak kedatangan mereka.
Mereka dianggap sebagai pengganggu yang bisa membuat keonaran di negeri yang disinggahi. Banyak influencer yang menghasut netizen untuk membenci dan anti terhadap Rohingya hingga lupa bahwasanya mereka bersaudara.
Padahal, jika sebagai umat tidak mampu membantu dengan tangan, setidaknya cukup berempati, mendoakan dan menjaga lisan ataupun tulisan dari mencela dan menyakiti hati saudaranya.
Persoalan yang dialami muslim Rohingya memang sangat pelik dan hanya bisa diselesaikan lewat jalur politik. Masyarakat hanya bisa membantu dengan bantuan sekadarnya, seperti makanan, pakaian, dan dukungan moral.
Menurut sistem dunia, saat ini yang bertanggung jawab atas persoalan Rohingya adalah UNHCR dan IOM, badan dunia yang bertugas menganani masalah pengungsi. Selain itu, negara-negara dunia harus turun tangan untuk mengembalikan pengungsi ke negara asalnya, mendorong pemerintah di sana untuk segera menyudahi konflik yang terjadi.
Namun faktanya, upaya-upaya tersebut tidak mampu menolong muslim Rohingya secara nyata. Bahkan, beberapa negara dengan tega mengusir dan mengantisipasi kedatangan mereka. Ada pula pihak-pihak yang memanfaatkan kondisi mereka yang tak punya negara dan menjadikan orang Rohingya sebagai obyek perdagangan manusia.
Lantas, bagaimana rasa kemanusiaan yang konon diagung-agungkan oleh sistem kapitalis-sekuler hari ini?
Jelas tidak mungkin, mengharap solusi hakiki untuk umat Islam pada sistem bernegara yang telah memecah belah kesatuan umat. Saat ini umat tengah terjerembab dalam kubangan lumpur demokrasi yang diciptakan Barat. Mereka tak lagi menjadikan akidah sebagai ikatan umat. Justru ikatan kebangsaan dan nasionalisme yang lebih diutamakan. Semangat patriotisme senantiasa dikobarkan dalam jiwa umat sehingga mereka lupa, bahwa ini bukanlah rumah yang sesungguhnya.
Tempat bernaung bagi seluruh umat sehingga terikat dalam satu kesatuan perasaan, pemikiran dan peraturan yang sama adalah Islam. Sementara, nasionalisme telah menghalangi negeri-negeri muslim untuk membantu muslim lainnya yang teraniaya. Sebab, setiap negara dibatasi oleh peraturan dan batas teritorial sehingga tidak bisa mencampuri urusan negara lain, meskipun negara tersebut telah menzalimi saudara muslimnya.
Selain itu, umat yang sudah tertanam rasa nasionalis dalam dirinya menganggap urusan negerinya lebih penting daripada mengurusi masalah saudara seiman di negara lain. Nasionalisme melahirkan kecintaan yang berlebihan terhadap tanah dan kebangsaan, melebihi kecintaan pada perintah Allah dan Rasul-Nya.
Karena itu, umat Islam perlu diingatkan akan pentingnya kesatuan sebagaimana dahulu dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasallam. Bahwasanya, tatkala umat Islam berada dalam naungan sistem Islam, tidak ada sekat-sekat yang membatasi mereka, baik wilayah maupun ras, bahasa, dan suku. Di dalamnya diterapkan syariat Islam secara kaffah sehingga umat terjaga akidah, kehormatan, harta, serta hak-haknya sebagai warga Daulah.
Umat beragama lain pun diperlakukan sama dalam pengurusan dan jaminan kesejahteraan, sehingga antara muslim dan nonmuslim bisa hidup berdampingan. Saat itulah umat terlindungi, diayomi, dan dilayani dengan penuh amanah oleh pemimpinnya.
Setelah sekian lama, sistem tersebut dirobohkan oleh musuh Islam. Umat seharusnya sadar tengah dipermainkan. Kini, saatnya untuk bangkit berjuang mewujudkan kembali rumah sejati bagi seluruh umat, yakni Khilafah Islamiah. Wallahu a’lam bishawab.
Oleh: Dini Azra
Sahabat Tinta Media