Tinta Media: depresi
Tampilkan postingan dengan label depresi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label depresi. Tampilkan semua postingan

Kamis, 07 Maret 2024

Caleg Gagal Depresi, Bukti Rusaknya Politik Demokrasi



Tinta Media - Pesta Demokrasi telah usai. Meninggalkan berbagai fenomena miris lagi menyedihkan di kalangan para caleg (calon anggota legislatif) dan juga timsesnya. Dikutip dari tvOnenews.com (18/02/2024) terdapat dua timses gagal yang mengalami tekanan berat sehingga mengambil kembali amplop yang sebelumnya telah dibagikan kepada warga pada Sabtu sore. 

Tak hanya itu, warga desa Jambewangi, Kecamatan Sempu Banyuwangi, Jawa Timur dihebohkan oleh salah satu caleg yang menarik kembali material paving lantaran tidak mendapat dukungan suara seperti yang dikehendaki. (Kompas.com, 19/02/2024)

Hal serupa juga terjadi di Subang, Jawa Barat. Seorang caleg membongkar kembali jalan yang telah ia bangun karena mengalami kekalahan saat pemilu kemarin. Tak hanya membongkar jalan, ia juga melakukan aksi teror petasan siang dan malam di kawasan yang perolehan suaranya anjlok hingga menyebabkan satu orang lansia meninggal dunia terkena serangan jantung. (Newsokezone.com, 25/02/2024). 

Lebih parahnya lagi, terdapat seorang caleg yang gantung diri di kebun karet miliknya lantaran caleg yang diusungnya kalah. (mediaindonesia.com, 19/02/2024)
Berbagai fenomena tersebut menggambarkan lemahnya kondisi mental para caleg ataupun tim suksesnya yang hanya siap menang dan tidak siap kalah. Inilah bukti rusaknya penerapan sistem politik Demokrasi Kapitalisme. Sistem yang menegasikan aturan Allah Ta’ala sehingga politik tampak begitu kotor dan keji.

Pemilu politik Demokrasi Kapitalisme meniscayakan pemilu berbiaya tinggi, “Lu punya duit, lu punya kuasa”, itu katanya. Rela menghalalkan berbagai macam cara demi mendapat jabatan dunia yang sementara. Mereka ‘membeli suara’ rakyat dengan modal tinggi dengan pamrih mendapat suara rakyat. Mereka juga menjadikan jabatan sebagai sesuatu yang sangat diharapkan, berebut kursi pemerintahan demi keuntungan yang nanti akan didapatkan.

Hal ini sangat bertolak belakang dengan sistem politik dalam Islam. Semua kejadian itu juga tidak akan pernah terjadi jika sistem yang diterapkan sahih, yaitu sistem Islam yang diatur langsung oleh Allah SWT Sang Pencipta manusia Al-Khaliq Al-Mudabbir. 

Dalam Islam, kekuasaan adalah sesuatu yang akan dipertanggungjawabkan kepada Allah kelak di yaumul hisab nanti. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Wahai Abu Dzar, engkau adalah pribadi yang lemah, sedangkan kekuasaan itu adalah amanah, dan kekuasaan itu akan menjadi penyesalan dan kehinaan di hari akhirat, kecuali mereka yang dapat menjalankannya dengan baik” (HR Muslim).

Kekuasaan di dalam Islam digunakan untuk menegakkan syariat Allah dan Rasul-Nya di muka bumi ini, bukan untuk mendapat pengakuan dari masyarakat apalagi untuk memperkaya diri dan golongan.

Imam Al-Ghazali pernah menulis dalam kitabnya Al-Iqtishad fi al-I’tiqd bab 1 halaman 78 “Agama dan kekuasaan itu ibarat dua saudara kembar, agamanya adalah fondasi sedangkan kekuasaan adalah penjaganya, apa saja yang tidak memiliki fondasi akan hancur, apa saja yang tidak memiliki penjaga akan lenyap.”

Pemilu dalam Islam hanya sebatas uslub (cara) untuk mencari pemimpin atau majelis ummah. Mekanismenya sederhana, praktis, tidak berbiaya tinggi, tanpa tipuan atau janji-janji dan penuh dengan kejujuran. Individu yang terpilih adalah individu yang bermental kuat serta berkepribadian islami termasuk amanah pada jabatannya, sehingga ia akan berhati-hati dalam mengemban amanahnya, semata-mata hanya mengharapkan ridha Allah SWT.

Metode untuk mengangkat Khalifah adalah baiat, tanpa baiat maka kekuasaan Khalifah tidak sah.  Para calon tidak diwajibkan untuk memenuhi syarat afdholiyah sebagai Khalifah. Para calon hanya diwajibkan untuk memenuhi syarat in’iqad untuk menjadi kepala negara yaitu laki-laki, muslim, merdeka, baligh, berakal, adil dan memiliki kemampuan. 

Seperti inilah hasil dari sistem sahih jika diterapkan. Sudah saatnya umat sadar dan bangkit dari keterpurukan saat ini. It’s time to be one ummah!
Waallahua’lam bisshawab. []

Oleh: Shiera Kalisha Tasnim
(Aktivis Muslimah)

Kamis, 14 Desember 2023

Ruang Isolasi untuk Caleg Depresi



Tinta Media - Perhelatan pemilu tahun 2024 semakin ketat. Para kandidat semakin gencar melakukan berbagai kegiatan guna meraih suara masyarakat. Masyarakat merasa dilema, siapa caleg yang akan mereka pilih di antara sekian banyak kandidat. Para kandidat pun harus siap dengan segala konsekuensi yang akan dihadapi, termasuk jika pada akhirnya mereka tidak terpilih untuk menjadi pejabat pemerintahan. 

Namun pada faktanya, jika kita melihat rekam jejak pada tahun-tahun sebelumnya, banyak dari para caleg yang tidak mampu menghadapi kenyataan yang ada. Dengan tidak terpilihnya mereka sebagai pejabat pemerintahan, akhirnya jiwa mereka mengalami tekanan mental yang berujung pada depresi. Maka dari itu, sebagai langkah untuk mengantisipasi caleg gangguan jiwa, pemerintah Kabupaten Bandung Jawa Barat berinisiatif untuk menyiapkan kurang lebihnya 10 ruangan khusus bagi caleg yang kejiwaannya terganggu akibat gagal pada pemilu 2024 mendatang.

Adapun rumah sakit yang ditunjuk oleh pemerintah adalah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Oto Iskandar Dinata (Otista), Soreang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Untuk menjaga privasi para caleg yang depresi, pihak rumah sakit akan merahasiakan identitas caleg gagal saat menjalani perawatan di RSUD Otista Kabupaten Bandung tersebut dan memberikan sosialisasi sebelum para caleg mendaftar guna mempersiapkan kejiwaan apabila gagal dalam pemilihan legislatif tersebut.

Pemilu sejatinya hak masyarakat, mau memilih ataupun tidak memilih. Itu dikembalikan kepada individu yang ada di masyarakat. Akan tetapi, yang saat ini terjadi ketika pemilu adalah masyarakat dihadapkan pada calon aktor politik dengan berbagai pencitraan yang dihadirkan, seperti blusukan ke sana kemari, mengucurjan dana atas nama bantuan sosial ke berbagai pelosok desa ataupun ke instansi-instansi yang ada di masyarakat, atau bentuk serangan pajar ke setiap individu yang kesemuanya itu dipoles oleh partai politik. 

Oleh sebab itu, pastinya butuh biaya yang sangat mahal  untuk mencalonkan diri sebagai kandidat di pemerintahan. Tidak tertutup kemungkinan adanya kongkalikong antara kandidat dengan pemilik modal. Di sinilah awal permasalahan itu dimulai, yaitu selalu ada politik transaksional antara si calon dengan parpol. 

Tidak ada makan siang gratis. Ada dukungan, di situ harus ada cuan. Jika kandidat memenangkan pemilu, maka ada harga yang harus dibayar. Jika kandidat kalah dalam pemilu, harga itu tetap harus dibayar. Modal pun tetap harus kembali.

Akan tetapi, untuk membayar harga dan mengembalikan modal merupakan sesuatu yang dirasa sulit, sehingga pada akhirnya kekalahan itu mengakibatkan depresi. Alhasil, sudah biasa kita lihat fenomena bagaimana para pemenang kekuasaan lupa terhadap rakyat yang suaranya telah berhasil memenangkannya. Begitu pula para calon yang kalah, mereka memendam dendam dan tak pernah peduli keadaan, bahkan jiwa mereka kena beban mental.

Fenomena caleg depresi memang kerap terjadi. Mereka yang kalah dalam kontestasi pemilu tak mampu menghadapi kenyataan, sebab pencalonan mereka didasarkan pada asas manfaat semata tanpa memiliki kapabilitas dan kualitas, yang penting punya modal besar dan berani mempertaruhkan kemenangan. 

Inisiatif pemerintah menyiapkan ruang isolasi bagi calon kandidat yang mengalami depresi tentu tidak bisa menjadi solusi, malah semakin menambah permasalahan dan beban perekonomian, sebab dalam perawatannya akan dibutuhkan biaya yang sangat mahal. Pada akhirnya, asas manfaat jugalah yang dijadikan sandaran.

Inilah bukti cacatnya sistem demokrasi, secara teori ataupun realisasi. Demokrasi lahir dari akidah sekularisme, akidah yang menafikkan peran agama dalam sistem pemerintahan. Sehingga, tidak heran banyak kita jumpai para caleg yang depresi karena memang pada dirinya tak dibentengi oleh akidah Islam. 

Dari sini sangat jelas bahwa demokrasi adalah produk akal manusia yang meminggirkan peran agama dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sementara dalam sistem Islam, berpolitik itu harus diawali dari dorongan keimanan. Seorang politikus muslim akan berpolitik sebagaimana ajaran Islam. Dalam sistem Islam, berpolitik berarti mengurusi urusan rakyat, bukan sebatas manfaat dan hanya mengharap rida Allah Swt. semata. Mereka memahami bahwa seorang pemimpin mempunyai tanggung jawab yang sangat besar, baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, mereka tidak akan berlomba-lomba demi meraih kekuasaan karena nafsu.

Pemilu dalam Islam hanyalah sebagai uslub (cara) untuk memilih pemimpin yang dilakukan secara sederhana, mudah, dan murah. Semua yang terlibat dalam pelaksanaannya akan menjalankan amanah dengan dorongan keimanan, bukan keuntungan. 

Walhasil, pemilu akan berjalan dengan aman, damai, dan jujur. Siapa pun yang menang akan amanah dengan kepemimpinannya, dan yang kalah akan menerima dengan qanaah (rela) tanpa ada beban mental, apalagi sampai depresi. Sebab, pada dirinya tertanam akidah Islam yang kuat. Pemilihan pemimpin melalui pemilu yang simpel ini hanya akan terealisasi di bawah satu institusi, yaitu sistem pemerintahan Islam.

Wallahu'alam bishawaab

Oleh: Tiktik Maysaroh 
(Aktivis Dakwah Bandung)
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab