Tinta Media: deforestasi
Tampilkan postingan dengan label deforestasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label deforestasi. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 13 April 2024

Analis: Deforestasi Meningkat Setiap Lima Tahun

Tinta Media - Analis Kebijakan Lingkungan Agung Wibowo menuturkan, peningkatan deforestasi terjadi setiap 5 tahun.

"Peningkatan ini bersifat siklis. Setiap 5 tahun terjadi peningkatan deforestasi, kurang lebih seperti itu," ujarnya dalam Kabar Petang Deforestasi Dahulu, Bencana Kemudian di kanal Youtube Khilafah News, Rabu (10/4/2024).

Menurut Agung, hal ini sesuai dengan kajian KPK bahwa ternyata deforestasi dan degradasi hutan itu berkorelasi dengan adanya event kontestasi Pilpres maupun Pilkada.

"Para Bupati, Gubernur itu berupaya untuk memberikan konsesi hutan kepada para pengusaha dengan imbal balik berupa mungkin bantuan untuk memuluskan mereka dalam kegiatan Pilkada," ungkapnya.

Oleh karena itu, ujarnya, pemerintah menarik kembali perizinan-perizinan terkait kehutanan ke pusat  sehingga upaya  angka deforestasi dan degradasi di hutan itu bisa di ditekan kembali.

Jadi Bancaan

Agung menuturkan mengatakan, deforestasi dan degradasi itu  sekitar 0,1 juta hektar/tahun. Beberapa kajian, ucapnya, tidak menyebutkan begitu, karena memang kawasan hutan yang layak ditebang yang di sekitar sungai itu sudah semakin menipis.

"Sehingga kalau mereka melakukan penebangan itu harus masuk ke dalam hutan lebih dalam lagi lebih jauh lagi dan itu tentu saja akan meningkatkan biaya produksi mereka," ulasnya.

Menurutnya, kegiatan ilegal logging ini beberapa tempat tidak ada lagi, tidak lagi menarik, itulah yang menyebabkan menurun angka deforestasi dan degradasi.

Ia menyebutkan penurunan deforestasi dan degradasi hutan yang merusak kawasan hutan itu memang menurun tetapi dari sisi kualitas kerusakan ini hampir tidak ada penurunan yang signifikan.

Adanya kerugian sekitar 271 triliun baru-baru ini ungkapnya, diakibatkan kegiatan penambangan di dalam dan di luar kawasan hutan di daerah Sumatera.

"Artinya meskipun di dalam kawasan hutan itu tidak ada lagi pohon, tetapi sumber daya yang lain itu tersedia dan itu tidak luput dari penjarahan orang-orang yang memiliki kuasa, balik kuasa dalam artian kewenangan yang bersifat publik maupun modal koneksi dan lain-lain," ulasnya.

Menurut Agung, sektor kehutanan itu masih menjadi bancaan. "Menjadi rebutan para pihak merasa masih banyak terdapat potensi ekonomi di dalam kawasan hutan," pungkasnya.[] Muhammad Nur

Kamis, 01 Februari 2024

DEFORESTASI MENINGKAT, PETAKA BAGI RAKYAT



Tinta Media - Awal tahun seharusnya dibuka dengan berita menggembirakan dengan segudang pencapaian atas perubahan terbaik yang telah dilakukan sesama setahun penuh. Namun tidak dalam sistem kapitalisme. Seiring bertambahnya tahun, kian bertambah pula deretan masalah dan kerusakan yang terjadi. 

Awal Januari 2024 dibuka dengan fakta mengejutkan yang dilansir dari cnn.indonesia.com   menuliskan, berdasarkan catatan akhir tahun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) region Sumatera menunjukkan bahwa Riau mengalami deforestasi hutan hingga 20.698 hektare sepanjang 2023, yang mana deforestasi hutan tersebut juga akibat dari kebijakan pemerintah yang memberikan izin terhadap 273 perusahaan kelapa sawit, 55 Hutan Tanaman Industri, 2 Hak Pengusahaan Hutan serta 19 pertambangan. Direktur Eksekutif Walhi Riau, Boy Jerry Even Sembing menilai bahwa Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja juga turut memfasilitasi keberadaan perusahaan kebun kelapa sawit di kawasan hutan. 

Fakta yang lebih miris, dalam kurun waktu 5 tahun terakhir Indonesia sendiri telah kehilangan  dalam laporan Global Forest Review dari World Resource Institute (WRI), Indonesia juga tercatat sebagai salah satu negara yang paling banyak kehilangan hutan primer tropis ( humid tropical primary forest ) dalam dua dekade terakhir yang mencapai angka 10,2 juta hektare. ( databooks.katadata.co.id  ) 

Menanggapi arus derasnya alih fungsi hutan tentu tidak lepas dari perpanjangan tangan para penguasa dan keterkaitannya terhadap kebijakan ke pemerintahan. Pasalnya, hutan termasuk sumber daya alam yang pengelolaannya berada penuh di tangan pemerintah. Namun, bukan pemecahan masalah yang menjadi fokus utama pemerintah saat ini, nyatanya masih banyak deforestasi di bawah tangan para pemilik modal yang dilegalkan oleh pemerintah. Dalam hal ini, sikap pemerintah seolah menunjukkan dua sikap yang saling bertolak belakang. 

Tanpa sadar, tindakan maupun sikap yang di ambil oleh pemerintah saat ini malah mengundang berbagai bencana yang lebih luas serta merugikan masyarakat. Kesulitan hidup makin terasa di berbagai lapisan masyarakat. Seperti kehilangan ruang hidup akibat perampasan lahan demi investasi asing, menjadi korban bencana alam yang berkepanjangan. Baik masyarakat yang hidup di kota besar maupun desa pun ikut merasakan imbasnya. Seperti bencana banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, kehilangan sumber air bersih, kenaikan suhu yang meningkat secara global. Saat ini bumi bukan lagi mengalami global warming, namun telah mencapai tingkat global boiling atau disebut pendidihan global. Bukan hanya itu, bahkan akibat dari masifnya deforestasi ini, ekosistem alam pun kian rusak dan mengalami kepunahan. 

Pada saat yang sama, para pemilik modal atau kapitalis yang memiliki ataupun diberikan akses untuk terus mengeruk kekayaan sumber daya alam semakin gencar menjalankan proyek raksasa mereka. Menari di atas penderitaan rakyat yang menjadi korban dari ulah tangan mereka. 

Bukan hanya tindakan atau sikap pemerintah yang di anggap pasif. Namun, undang-undang yang dibuat saling bertentangan dalam proses pelaksanaannya serta terkesan menguntungkan sebagian kalangan. Tentu, dalam negara yang menganut sistem kapitalisme seluruh hukum yang ditetapkan tidak akan pernah jauh dari rencana memberikan karpet merah bagi para penguasa untuk membuka investasi sebesar-besarnya demi meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dengan cara apa pun. 

Alih-alih meninjau permasalahan deforestasi yang kian kompleks, justru pemerintah yang berwenang dan bertanggung jawab atas masalah tersebut nyatanya juga banyak yang terlibat dalam jaringan perusakan hutan tersebut. Seperti tindakan pemutihan lahan sawit di kawasan hutan yang sudah jelas akan merusak ekosistem yang ada di sana. 

Kebijakan-kebijakan yang diambil para pemegang kekuasaan juga tidak terlepas dari sistem yang diemban oleh suatu negara saat ini. Sekularisme bersandarkan pada nilai materi dan kebebasan yang menjadi wadah untuk keberlangsungan tindakan sewenang-wenang. Melupakan tanggung jawab dan dampak atas perilakunya. 

Tentu permasalahan ini akan kian merembet dan berkepanjangan apabila penyelesaiannya tidak pernah berubah. Hanya berkutat pada satu hal yang menjadikannya berputar pada pusaran yang sama. Bukan memperbaiki keadaan malah mengulur waktu serta menambah deretan kerusakan yang terjadi.  

Oleh karena itu permasalahan sistemik yang terjadi tidak mungkin dapat terselesaikan melalui kebijakan yang sama setiap tahunnya. Diperlukan perubahan total hingga mampu membawa pada kesejahteraan yang diimpikan. Kegagalan pemerintah dalam upaya memperbaiki keadaan saat ini juga harus disertai dengan perbaikan sistem yang mengatur berjalannya suatu institusi ke pemerintahan. Sehingga masalah yang hadir bisa terselesaikan dengan sikap yang seharusnya serta mewujudkan cita-cita tertinggi membawa masyarakat dan alam menuju kesejahteraan yang hakiki.


Oleh : Olga Febrina 
( Mahasiswi, Pegiat Literasi & Aktivis Dakwah ) 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab