Tinta Media: cegah
Tampilkan postingan dengan label cegah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cegah. Tampilkan semua postingan

Kamis, 31 Oktober 2024

Dampak Program Cegah Kawin Anak bagi Umat Islam



Tinta Media - Belakangan ini program pencegahan perkawinan anak menjadi sorotan utama di berbagai media dan forum nasional. Isu ini kerap diangkat sebagai salah satu hambatan terbesar dalam mewujudkan generasi berkualitas. 

Pernikahan anak sering kali dianggap sebagai penyebab berbagai permasalahan sosial, seperti putus sekolah, tingginya angka perceraian, kematian ibu dan bayi, serta terjadinya stunting dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Bahkan, muncul wacana untuk mengangkat remaja sebagai agen perubahan dalam upaya pencegahan pernikahan anak.

Seperti halnya pada acara Seminar Cegah Kawin Anak yang diadakan Kemenag di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Semarang, MAN 2 Semarang, dan sejumlah SMA di Semarang, Kamis (19/9/2024). Dalam kesempatan tersebut, Direktur Bina KUA dan Keluarga Sakinah, Cecep Khairul Anwar, mengungkapkan bahwa Kemenag telah mengambil sejumlah langkah untuk mencegah perkawinan anak. 

Salah satunya melalui pembinaan kepada siswa-siswi madrasah untuk menjadi agen yang aktif menyebarkan kesadaran tentang risiko nikah dini, sekaligus menginspirasi teman-teman sebaya untuk menolak perkawinan di usia mereka.

Namun, di balik narasi ini, terdapat beberapa hal yang perlu dikaji lebih dalam. Meskipun tampaknya positif dalam upaya melindungi anak-anak dari berbagai risiko, perlu dipertanyakan apakah pernikahan anak benar-benar menjadi akar dari semua masalah tersebut? Ataukah kesimpulan ini justru terburu-buru dan berbahaya, sehingga menjerumuskan masyarakat dalam pemikiran yang tidak sesuai dengan aturan Islam?

Faktanya, di tengah kampanye intens untuk mencegah pernikahan anak, remaja justru dihadapkan pada derasnya arus pornografi dan kebijakan yang cenderung memfasilitasi pergaulan bebas. Menikah dini dianggap keliru, sementara pergaulan bebas seolah dibiarkan tanpa batas.

Pertanyaannya, apakah pemerintah benar-benar berkomitmen untuk melindungi generasi muda dari dampak buruk pernikahan dini, ataukah ada agenda lain yang lebih besar di balik kampanye ini?

Pencegahan perkawinan anak sejatinya merupakan amanat dari Sustainable Development Goals (SDGs), sebuah program global yang turut diadopsi oleh semua negara anggota PBB, termasuk Indonesia untuk dicapai pada 2030. Program ini jelas berpijak pada paradigma Barat yang kerap kali tidak selaras dengan syariat Islam. 

Salah satu target SDGs adalah mengentaskan stunting dan menurunkan angka pernikahan anak. Hal ini tercermin dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Pemerintah menargetkan penurunan angka perkawinan anak dari 11,2% pada tahun 2018 menjadi 8,74% pada 2024.

Tidak dimungkiri bahwa kampanye ini berdampak secara signifikan terhadap angka kelahiran, khususnya dalam keluarga muslim. Jika target ini tercapai, maka akan ada penurunan jumlah generasi muslim yang lahir, yang secara tidak langsung berpotensi melemahkan kekuatan demografis umat Islam. 

Di sinilah kita perlu waspada, apakah kebijakan ini benar-benar untuk melindungi anak, ataukah ada agenda tersembunyi untuk mengendalikan populasi umat Islam?

Islam, sebagai agama rahmatan lil ‘alamiin, menjaga kesejahteraan manusia secara keseluruhan di tiap aspek kehidupan. Islam memiliki aturan yang jelas dan komprehensif terkait pernikahan. Di antaranya, menurut syariat, usia baligh menandakan kesiapan fisik dan mental seseorang untuk menikah, bukan hanya sekadar angka. 

Oleh karena itu, pengaturan usia minimum untuk menikah yang didasarkan pada standar Barat, tanpa mempertimbangkan aspek syariah, bisa jadi justru bertentangan dengan ajaran Islam.

Negara yang menerapkan Islam secara kaffah tentu akan menjamin terlaksananya aturan-aturan yang sesuai dengan syariat Allah. Dalam sistem Islam, berbagai masalah yang timbul akibat penerapan sistem sekuler kapitalisme, seperti pergaulan bebas, pornografi, dan dampak buruk lainnya, dapat diatasi dengan penegakan hukum Islam yang tegas. 

Sistem ekonomi Islam juga akan menjamin kesejahteraan rakyat sehingga keluarga-keluarga Muslim bisa hidup dengan sejahtera. 

Di samping itu, media Islam akan memperkuat kepribadian generasi muda, menjauhkan mereka dari arus hedonisme dan liberalisme yang merusak.

Oleh karena itu, daripada hanya fokus pada pencegahan pernikahan anak, pemerintah seharusnya lebih serius dalam menangani akar masalah yang sesungguhnya, yaitu derasnya arus liberalisasi dan degradasi moral yang menyerang generasi muda. 

Edukasi yang menekankan pentingnya menjaga kehormatan diri dan menghindari pergaulan bebas jauh lebih bermanfaat daripada sekadar melarang pernikahan dini yang sebenarnya menurut kategori bukan lagi termasuk anak-anak dan pernikahan mereka sah menurut syariat.



Oleh: Aisyah Nurul Afyna
Mahasiswi Universitas Gunadarma

Rabu, 30 Oktober 2024

Cegah Stunting dengan Islam


Tinta Media - Upaya penurunan angka prevalansi stunting untuk mewujudkan generasi emas Indonesia dilakukan CARE Indonesia dengan pendanaan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), melalui program percepatan penurunan stunting di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Peluncuran program percepatan penurunan stunting ini disampaikan oleh Purbaya Yudhi Sadewa selaku Ketua Dewan Komisioner LPS. Ini merupakan inisiasi yang menjadi bagian dari bantuan sosial LPS Peduli Bakti Bagi Negeri. Program ini menyasar anak-anak dengan kondisi stunting, underweight, wasting, serta ibu hamil dengan kondisi energi kronis (KEK), anemia, dan ibu menyusui.

Penurunan prevalensi stunting ini menjadi salah satu program utama Pemerintah Kabupaten Bandung dan memerlukan dukungan dari seluruh pihak, termasuk korporasi dan lembaga masyarakat.

Jika diteliti lebih lanjut, negeri ini memang kaya sumber daya alam, tetapi miskin pemimpin amanah yang bertanggung jawab menyejahterakan rakyat.

Aneh jika masalah stunting yang sistemik malah ditangani lembaga seperti LPS. Stunting ini masalah global, bukan Kabupaten Bandung saja. Ada 22% balita (sekitar 149 juta balita) di dunia mengalami stunting. Enam jutaan ada di Indonesia. Jadi, tidak logis jika negara tidak berperan utuh menyelesaikannya.

Lebih aneh lagi, karena masalah stunting belum juga selesai, pemerintah malah minta keterlibatan masyarakat untuk menyelesaikannya. Padahal, tata ekonomi yang rusak dan perilaku korup penguasalah yang menyebabkan urusan gizi masyarakat ini tidak kunjung beres. 

Jika ingin generasi terutama di Kabupaten Bandung ini baik, maka stunting harus diselesaikan dengan serius, karena selain berpengaruh pada kondisi fisik, juga akan berpengaruh pada intelektualitas anak-anak. Ujung-ujungnya, generasi lemah dalam menguasai bermacam- macam keahlian.

Kasus stunting yang disebabkan kurang gizi sangat berkaitan erat dengan kemiskinan. Mirisnya, kemiskinan masih menjadi masalah utama di Indonesia yang belum terselesaikan hingga saat ini, terlebih di tengah naiknya berbagai sembako dan pasca pandemi. 

Akibatnya, masyarakat tak mampu memenuhi kebutuhan gizi secara lengkap. Maka, wajar jika angka stunting masih tergolong tinggi ketika negara menerapkan sistem kapitalisme.

Sistem yang berorientasi pada materi ini telah menyebabkan banyaknya warga miskin. Mirisnya lagi, penyelesaian masalah stunting dalam negara yang menerapkan sistem kapitalisme justru dikembalikan kepada masyarakat dengan menganjurkan pemenuhan kebutuhan gizi secara mandiri.

Hal ini berbeda dengan sistem Islam. Islam akan menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat dengan baik. Dalam sistem Islam, untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, negara akan menjamin terpenuhinya kebutuhan asasi manusia, seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Selain itu, negara juga mendistribusikan kekayaan alam secara merata ke seluruh pelosok negeri. Sehingga, tidak akan terjadi kemiskinan atau ketimpangan sosial seperti saat ini.

Untuk mencegah terjadinya stunting, pusat pelayanan kesehatan akan memberikan konsultasi gizi dan penyuluhan gratis. Negara juga akan membangun pos-pos makanan untuk mengolah bahan-bahan menjadi makanan yang memiliki kandungan gizi, ataupun memberikan bantuan seperti susu, telur, minyak, dan lain sebagainya. 

Semua ini pastinya didukung oleh sistem ekonomi Islam yang mengatur kepemilikan negara dan kepemilikan umum berupa sumber daya alam yang wajib dikelola untuk menyokong kesejahteraan rakyat. Karena pengelolaan itulah, negara Islam akan sangat mampu memenuhi kebutuhan dasar dan hak-hak rakyat sehingga bisavhidup dalam keadaan sejahtera dan bahagia.

Semua ini bisa diwujudkan dan diatasi secara tuntas ketika negara menerapkan Islam secara kaffah (menyeluruh) di seluruh bidang kehidupan. Wallahu A'lam Bisshawwab.



Oleh: Rukmini
Sahabat Tinta Media

Kamis, 16 November 2023

Operasi Pasar, Solusi Buntu Cegah Inflasi dalam Ekonomi Kapitalis



Tinta Media - Dengan alasan untuk menjaga stabilitas harga bahan pokok utama beras dan menekan laju inflasi, pemerintah di berbagai daerah melakukan Operasi Pasar Murah. Hal ini disebabkan oleh kenaikan harga  komoditas bahan pokok yang semakin meroket,  terutama beras yang  menjadi komoditas penting di negeri ini, yang sekarang mencetak harga eceran tertinggi hingga 15 ribu / kg untuk beras premium dan 13,5 ribu/ kg untuk beras medium. 

Melalui operasi pasar yang telah disubsidi oleh pemerintah, maka masyarakat bisa membeli paket sembako yang harga normalnya 120 ribu, dapat ditebus dengan 59 ribuan saja. Bahkan beras berkualitas bisa ditebus dengan harga lebih rendah dari harga pasaran, yaitu pada kisaran Rp 10.200/kg melalui operasi pasar tersebut. 

Namun yang menjadi permasalahan, untuk siapakah operasi pasar tersebut diadakan? Bukankah seluruh rakyat merasakan efek kenaikan harga beras tersebut? Jika subsidi hanya  untuk rakyat miskin, lantas mengapa kuotanya sangat terbatas? Dan kriteria miskin itu, seperti apa, sehingga berhak mendapatkan subsidi?

Miris, hal tersebut terjadi di negeri yang sangat besar dan kaya sumber daya alamnya ini, serta dikenal dengan sebutan negara agraris. Padahal dahulu Indonesia bisa mewujudkan swasembada pangan hingga bisa mengekspor beras ke negeri-negeri tetangga. Namun kini Indonesia malah harus impor beras dari Cina mencapai hingga 1 juta ton untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri. Anehnya lagi, kebijakan impor ini dilakukan di tengah fakta di lapangan bahwa terjadi panen raya di berbagai daerah di Indonesia sehingga stok beras dalam negeri bisa memenuhi kebutuhan masyarakat, bahkan lebih. Walaupun demikian, lalu mengapa harus impor dan mengapa harga beras masih tinggi? Bahkan Presiden Jokowi pun turun langsung memastikan ketersediaan beras cadangan pemerintah (CBP) yang ada di gudang Perum Bulog dan menyatakan bahwa stok beras di dalam negeri diprediksi aman sampai akhir tahun 2023. [CNBC, Jakarta, Senin (11/9/2023)]

Kenaikan harga beras saat ini ternyata disebabkan oleh penerapan sistem ekonomi kapitalistik neo liberal di negeri ini. Hal tersebut tampak dari dilahirkannya kebijakan yang selalu berpihak kepada korporasi. Peran pemerintah yang minim sebatas regulator saja, sehingga sangat minim dalam mengatur urusan rakyat, bahkan cenderung menyengsarakan. Selain itu,  tidak ada upaya serius dari pemerintah untuk menstabilkan harga beras dan ini berefek kepada sulitnya masyarakat memenuhi kebutuhan beras.  Padahal sejatinya beras merupakan makanan pokok utama masyarakat Indonesia.

Negara tidak bertindak sebagai pelayan rakyat, tetapi sebagai pelaku bisnis serta menyerahkan harga setiap komoditas pada mekanisme pasar bebas yang dituntut sistem saat ini dengan mengabaikan kemampuan rakyat untuk memenuhi hak tersebut. Negara hanya fokus pada produksi atau penyediaan komoditas masyarakat, tetapi mengabaikan distribusi. Stok beras berlimpah namun tidak ada pemastian beras tersebut sampai ke tengah masyarakat dengan mudah sehingga mampu dibeli oleh setiap individu masyarakat. Terlebih banyak masyarakat tidak mampu membeli karena rendahnya daya beli.

Tak ayal terjadi banyak kasus kematian yang disebabkan oleh kelaparan. Masyarakat yang memiliki daya beli tinggi melakukan “panic buying”. Selain itu, para oknum nakal melakukan penimbunan untuk meraup keuntungan di tengah terus naiknya harga beras, hingga stok beras habis, sehingga dipandang bahwa pemerintah telah melakukan distribusi.

Penerapan sistem ekonomi kapitalis yang dianut negeri ini terbukti telah gagal dalam menyejahterakan rakyat, karena kebijakan yang tidak pro rakyat dan lebih mengutamakan para kapitalis (pemilik modal).

Tentu hal ini berbanding terbalik dengan sistem Islam yang memosisikan negara sebagai pengatur urusan umat bukan sebagai regulator yang memandang rakyat sebagai objek bisnis seperti saat ini. Dalam Islam pemerintah wajib menjamin seluruh kebutuhan umat. Melalui penerapan Islam secara kaffah, termasuk di dalamnya sistem ekonomi Islam, perekonomian akan  stabil dan anti resesi serta terhindar dari inflasi. Hal tersebut karena ditopang oleh sistem moneter yang berbasis dinar dan dirham yang bernilai stabil, dan negara berdaulat dalam menentukan berbagai kebijakannya. 

Selain itu, Islam memandang bahwa distribusi komoditas kebutuhan rakyat harus diatur dengan baik, sehingga mudah sampai kepada masyarakat, apalagi bahan makanan pokok, termasuk beras. Jika ada individu-individu yang membutuhkan beras dan tidak mampu mengaksesnya dikarenakan miskin, cacat atau tidak ada kerabat yang menanggung nafkah mereka atau lainnya, maka negara harus hadir dan menjamin seluruh kebutuhan mereka,  termasuk sandang, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan.

Negara wajib memastikan mekanisme pasar sesuai dengan syariat dengan menerapkan hukum ekonomi Islam terkait produksi, distribusi, perdagangan dan transaksi sehingga tidak akan terjadi kelangkaan dan mahalnya harga barang seperti saat ini. Operasi pasar dengan menentukan harga tertentu bagi komoditas, tidak akan dilakukan oleh negara. Selain akan mengganggu pasar, juga karena syariat Islam melarang hal tersebut, seperti sabda Rasulullah SAW ketika diminta untuk menentukan harga, Beliau bersabda:

"Sesungguhnya Allah SWT Dzat Yang Maha Menetapkan harga, Yang Maha Memegang, Yang Maha Melepas, dan Yang Memberikan rezeki. Aku sangat berharap bisa bertemu Allah SWT tanpa seorang pun dari kalian yang menuntutku dengan tuduhan kezaliman dalam darah dan harta. (HR. Abu Dawud, dan dinyatakan shahih oleh At-Thirmidzi dan Ibnu Hibban).

Karena itulah hanya dengan penerapan Islam dalam bingkai Khilafah rakyat akan sejahtera dan semua kebutuhannya tepenuhi secara sempurna. Wallahu’alam bishawwab

Oleh : Thaqiyunna Dewi, S.I.Kom.
Sahabat Tinta Media
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab