Tinta Media: buruk
Tampilkan postingan dengan label buruk. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label buruk. Tampilkan semua postingan

Minggu, 31 Maret 2024

Jembatan Tol Retak, Bukti Pembangunan Buruk dalam Kapitalisme

Tinta Media - Jembatan merupakan salah satu infrastruktur yang berfungsi sebagai penghubung antara suatu daerah dengan daerah lainnya. Selain itu, adanya jembatan akan memudahkan laju pertumbuhan ekonomi serta pergerakan manusia. Maka, infrastruktur yang baik akan meningkatkan konektivitas antarwilayah tersebut. Namun, bagaimana kalau ada sebuah jembatan tol yang menjadi penghubung mengalami keretakan? Tentu akan sangat membahayakan.  

Sebagaimana dilansir dari AYOBANDUNG.COM, jembatan tol Purbaleunyi penghubung Kabupaten Bandung dengan Kota Bandung mengalami keretakan. Keretakan tersebut terdapat pada bagian penyangga bawah masuk wilayah Kota Bandung. Tentu ini menjadi kekhawatiran para pengguna jalan, terlebih retakan tersebut jelas terlihat karena menjadi akses warga kedua daerah tersebut.  

Setiap warga yang melintasi jembatan tol tersebut berharap ada tindakan dari pihak terkait untuk segera memperbaikinya.  Apalagi, retakan jembatan tol tersebut menganga cukup lebar. Setiap hari, ribuan warga melintasi jembatan, bahkan tidak jarang dilalui truk yang bermuatan banyak. Akan tetapi sangat disayangkan, hal itu tidak direspons oleh pihak jasa marga.

Hal ini menjadi bukti  buruknya pembangunan jembatan tol, mulai dari perencanaan hingga realisasi. Ya, karena dalam sistem kapitalisme sekuler, yang diutamakan hanyalah ingin mendapatkan keuntungan. 

Karena tujuan membangun jembatan tol hanya ingin mendapatkan keuntungan besar, maka sering kali digunakan bahan-bahan yang kurang berkualitas tanpa memikirkan akibat yang akan terjadi nantinya. Mungkin anggaran dana yang diberikan pemerintah pusat sudah sesuai, tetapi dana tersebut disalahgunakan alias dikorupsi oleh pihak yang diberi tanggung jawab itu. Terlebih, kurangnya pengontrolan dari pihak pemerintah pusat ketika pengerjaan proyek tersebut, mulai dari bahan hingga pengerjaannya. Negara menyerahkan pengelolaan proyek pembangunan jembatan tol kepada swasta yang hanya mementingkan keuntungan semata. 

Berbeda halnya dengan Islam. Dengan sistem politik dan ekonominya yang unggul, Islam menjadikan proyek pembangunan semata demi kepentingan rakyat sehingga perencanaan dilakukan dengan matang, tidak asal-asalan. 

Dalam Islam, negara adalah pengurus urusan rakyat, sehingga pembangunan tidak dilakukan dengan orientasi bisnis, apalagi hanya demi kepentingan pemilik modal. 

Khalifah sebagai kepala negara mempersiapkan pembangunan dengan dana dari baitul mal, bukan dari utang. Ini tidak seperti di Indonesia ini yang mengandalkan hutang. 

Negara Islam tidak hanya membangun, tetapi jaminan keselamatan dan kenyamanan rakyat menjadi prioritas. 

Ini dibuktikan oleh Khalifah Umar bin Khattab yang merealisasikan berbagai proyek. Sekalipun pada saat itu Khalifah Umar menghabiskan dana besar, tetapi beliau tidak mencukupinya dengan utang.  Semua pembangunan dirancang dengan cermat. Anggarannya juga sesuai dengan syariah berdasarkan ketentuan wahyu Allah. Sehingga negara cukup aman dari pembangunan yang mengakibatkan dharar (bahaya) Wallahu'alam bishshawab.


Oleh: Sumiati
Sahabat Tinta Media

Sabtu, 16 Maret 2024

Harga Pangan Naik, Tradisi Buruk Setiap Jelang Ramadhan



Tinta Media - Menarik napas akhir-akhir ini terasa berat mengetahui harga-harga bahan pangan saat berbelanja di pasar.  Harga sayuran, bumbu dapur, telur, daging ayam, apalagi beras naik semua. Kegembiraan datangnya bulan suci Ramadan terkikis oleh kenyataan naiknya harga semua bahan pangan, tetapi pendapatan tetap. 

Bagaimana bisa memenuhi kecukupan gizi keluarga kalau uang yang ada hanya cukup untuk membeli beras dan sayur tanpa sumber protein? Jelang Ramadan rupanya bukan hanya ada tradisi nyadran, berziarah kubur, tetapi harga pangan naik pun jadi tradisi?  Sungguh tradisi buruk yang tidak diharapkan.

Dilansir dari Pikiran Rakyat (28/2/24),  Pemerintah Kabupaten Bandung mengakui selalu terjadi kenaikan harga Kebutuhan Pokok Masyarakat (Kepokmas)  menjelang bulan Ramadan. Untuk itu, Pemkab Bandung telah melakukan langkah-langkah pengendalian harga Kepokmas. 

Langkah-langkah tersebut antara lain melakukan koordinasi lintas sektoral dengan instansi terkait seperti Bulog, Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disperdagin), dan Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan (Dispangtan)  Kab. Bandung. Selain itu, mengadakan monitoring harga Kepokmas secara berkala dan mengadakan Operasi Pasar Murah (OPM).

OPM sedang gencar dilakukan oleh Bulog dan Dispangtan dengan memasarkan beras kemasan 5 kg dalam program Stabilisasi Pasokan Harga Pangan (SPHP)  atau  Gerakan Pangan Murah (GPM),  serta Bantuan Pangan bagi kelompok rentan (pendapatan rendah), seperti tukang ojek, guru ngaji, dan budayawan.  

Ada pertanyaan yang menggelitik, mengapa orang yang mendapat bantuan harus dipilah-pilah? Bukankah setiap warga negara merasakan akibat kenaikan harga ini? Profesi lain pun terdampak dan terpuruk, seperti bidan, guru, ASN, dan lain-lain.

Begitulah kebijakan dalam sistem yang diterapkan di negeri ini. Solusi atas masalah hanya bersifat praktis dengan manfaat sesaat. Ibarat orang sakit nyeri sendi, hanya diberi obat pereda sakit saja, hanya mengobati gejalanya, bukan menumpas akar masalah. Maka, bila obat habis, akan terasa sakit lagi.

Kebijakan operasi pasar murah dll. pun tidak menyelesaikan masalah, hanya memberi hiburan sesaat agar rakyat tidak protes, seakan-akan penguasa perhatian pada mereka. Kebijakan seperti itu tidak menyentuh akar masalah.

Emilda Tanjung, M.Si. seorang Pengamat Kebijakan Publik menyatakan bahwa akar masalah naiknya harga bahan pangan yang berulang tiap menjelang Ramadan adalah dalam pengelolaan pangan.  

Pengelolaan pangan dalam sistem kapitalisme dilakukan oleh pihak swasta yang berorientasi pada keuntungan, bukan oleh pemerintah. Pemerintah saat ini hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator. Sedang pihak swasta yang memiliki modal besar, bertindak sebagai operator, pelaksana dengan kewenangan mengatur pengelolaan pangan mulai dari produksi, distribusi, sampai konsumsi.
 
Selama pengelolaan pangan dilakukan oleh swasta, maka rakyat akan menderita karena swasta tidak mengenal konsep meriayah ( mengurus, melayani ) rakyat. Yang ada, rakyat adalah target pasar bagi produknya. Bisnis ini harus menguntungkan bagi pengusaha.  Maka, dengan kewenangan dari hulu sampai hilir di tangan swasta, harga pangan tidak dapat dikendalikan oleh pemerintah sekali pun. 

Berbeda dengan sistem Islam dalam naungan khilafah saat mengelola pangan. Pengelolaan pangan ditujukan untuk kesejahteraan rakyat. Maka, pengelolaan pangan dikendalikan sepenuhnya oleh negara, bukan swasta. 

Negara mempunyai kendali di semua tahap pengelolaan pangan, mulai dari pendataan jumlah penduduk dan kebutuhan pangannya, produksi pangan apa yang diutamakan serta jumlahnya, sistem distribusi pangan yang menyeluruh ke seluruh negeri, sampai tahap konsumsi berupa kemudahan bagi rakyat untuk mendapatkan bahan pangan dengan harga yang stabil dan terjangkau. 

Paradigma pemerintah dalam sistem Islam adalah meriayah umat, mengurus urusan umat, dan melayani kebutuhannya karena Allah. Dia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. 

"Ketahuilah, setiap dari kalian adalah pemimpin dan kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya” (HR Al Bukhari).

Wallahu a'lam bish shawwab


Oleh: Wiwin
Sahabat Tinta Media

Kamis, 08 Februari 2024

Buruknya Pelayanan Rumah Sakit, Paradigma Sistem Sekuler-Kapitalis



Tinta Media - Pelayanan kesehatan di sebuah negara menjadi salah satu acuan  dalam mendeteksi perkembangan dan kemajuan pengurusan negara kepada rakyatnya. Dalam hal ini, peran negara begitu besar. Di Indonesia, upaya untuk meningkatkan pelayanan ini dilakukan dengan menetapkan beberapa kebijakan. Salah satunya adalah dengan diluncurkannya jaminan kesehatan, seperti KIS (Kartu Indonesia Sehat) dan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan).

KIS diperuntukkan bagi masyarakat kurang mampu guna memperoleh layanan kesehatan secara gratis, sedangkan BPJS adalah BUMN yang bergerak di bidang asuransi kesehatan, sebelumnya bernama Askes.  

Di sini, ada tingkatan penggolongan status sosial masyarakat yang berdampak pada perbedaan pelayanan. Hal ini menyebabkan jurang pemisah antara si miskin dan si kaya semakin lebar. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), masyarakat Indonesia termasuk kategori miskin, bahkan di bawah garis kemiskinan. Hal ini mengakibatkan gizi dan nutrisi tidak terpenuhi sehingga kerap terjangkit penyakit. Hasil analisa menunjukkan bahwa sekitar 68% populasi Indonesia atau 183,7 juta jiwa tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi harian.

Semakin masyarakat terpuruk dengan kemiskinan, maka kebutuhan akan akses rumah sakit atau klinik semakin besar sehingga negara harus  mengeluarkan aset yang lebih besar. Sayangnya, dalam paradigma sekuler-kapitalis, negara hanya berperan sebagai regulator. Penyelenggaraan infrastruktur kesehatan dan jasa nakes dilakukan oleh para pemilik modal atau pihak swasta (oligarki) sehingga pelayanan pun bersifat bisnis (materialis). 

Semisal adanya keluhan pelayanan seorang perawat di RSUD Otista Soreang dan fasilitasnya seperti toilet yang tidak layak, padahal rumah sakit ini baru dibangun dan mulai beroperasi 2021.

Keluhan pelayanan ini sangat wajar karena pemerintah beberapa kali menaikkan iuran BPJS kesehatan tidak diikuti dengan perbaikan kualitas pelayanan yang dijanjikan. 

Sudah tagihannya naik, pelayanan pun memburuk.  Kenyataan ini memang sesuai dengan fakta yang terjadi di masyarakat. Hal ini disampaikan oleh Koordinator Advokasi BPJS Wacht Timboer Siregar.

BPJS kesehatan ialah korporasi yang menetapkan sejumlah ketentuan bernilai bisnis atau syarat komersialisasi kesehatan. Buktinya, adanya pembayaran premi dengan sejumlah prasyaratnya sebagai pengaktifan kartu BPJS jika pelayanan kesehatan akan dibayarkan BPJS. Konsep layanan ini mengedepankan logika bisnis, bukan kesehatan, apalagi keselamatan jiwa pasien. Negara menjamin komersialisasi tersebut karena berperan sebagai regulator.

Hanya sistem Islamlah satu-satunya yang bisa menjamin kesehatan masyarakat steril dari komersialisasi. Hal ini dapat diketahui dari paradigma Islam dalam pelayanan kesehatan, yakni dengan mengedepankan kesehatan sebagai kebutuhan pokok yang diharamkan untuk dikomersialkan.

Peran negara bukan sekadar regulator, melainkan pihak yang bertanggung jawab penuh atas pemenuhan kebutuhan kesehatan masyarakat. Negara memberikan pelayanan secara gratis dan berkualitas dengan mendirikan rumah sakit sesuai kebutuhan, disertai fasilitas lengkap tanpa membedakan antara desa dan kota. Negara juga menyediakan para dokter dan obat-obatan.  

Pembiayaan kesehatan tidak membebani masyarakat, rumah sakit, maupun para dokter sekalipun. Pembiayaannya berbasis Baitul maal yang bersifat mutlak. Sumber-sumber pemasukan serta pengeluaran berdasarkan ketentuan syariat (Nizhamul Iqtishadi fil Islam, hlm 245). Keberadaan lembaga-lembaga pelaksana teknis dari fungsi negara (rumah sakit atau laboratorium) dilarang menjadi sumber pemasukan kekayaan negara.

Negara sebagai pelaksana yang menjamin kesehatan serta mengeluarkan masyarakat dari berbagai masalah kesehatan hanya dapat terealisasi dengan mengganti sistem kapitalisme, yakni dengan sistem Islam dalam naungan  institusi khilafah yang di pimpin oleh khalifah. Wallahua'alam biashshawab.


Oleh: Nunung Juariah
Sahabat Tinta Media

Senin, 25 Desember 2023

MMC: Peradaban Sekuler Kapitalistik Ruang Buruk bagi Perempuan



Tinta Media - Bertepatan dengan peringatan Hari Ibu Nasional, Narator Muslimah Media Center (MMC) mengemukakan, peradaban sekuler kapitalistik telah memberikan ruang hidup yang buruk bagi perempuan sebagai kaum ibu.

"Peradaban sekuler kapitalistik telah memberi ruang hidup yang buruk bagi perempuan," ujarnya dalam tayangan Serba-serbi: Hari Ibu, Saatnya Revitalisasi Peran Ibu sebagai Pendidik Generasi, di kanal Youtube MMC, Jumat (22/12/2023).

Menurutnya, negara dalam peradaban sekuler kapitalistik berlepas tangan dalam menjaga kehormatan, kemuliaan dan jaminan kesejahteraan perempuan.

"Hingga membiarkan perempuan terjebak dalam pusaran ekonomi kapitalistik," ucapnya.

Bukan tanpa alasan, terang Narator, penerapan sistem kapitalisme di negeri ini telah membuat kehidupan keluarga terhimpit. 

"Harga kebutuhan pokok mahal, pendidikan mahal, kesehatan mahal, ditambah pajak yang semakin mencekik rakyat. Mengandalkan suami bekerja untuk memenuhi seluruh kebutuhan tersebut pun dianggap mustahil," tuturnya.

Narator lantas mengungkapkan, peran perempuan sebagai kaum ibu yang berfungsi sebagai pendidik generasi akhirnya kini mulai tergerus. 

"Ibu dipandang telah memenuhi hak-hak terhadap anaknya sebatas ketika pemenuhan aspek materi telah diberikan," ungkapnya.

Akibatnya, lanjut Narator, kewajiban utama seorang ibu, yaitu mengasuh dan mendidik anak hingga memahami makna hidup yang benar kemudian menjadi terabaikan.

"Alhasil, berbagai persoalan kini menimpa generasi, seperti maraknya seks bebas, narkoba, mental illness, tawuran, bullying, hingga (maraknya) remaja sebagai pelaku kriminalitas," sesalnya.

Narator pun membeberkan bahwa Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) memiliki catatan buram perilaku bebas remaja hari ini.

"Data tahun 2022 menunjukkan, 60% remaja usia 16 hingga 17 tahun sudah melakukan hubungan seksual. Sementara pada usia 14 hingga 15 tahun sebesar 20%. Dan usia 19 hingga 20 tahun sebesar 20%," bebernya.

Dan pada tahun 2022, sambung Narator, angka kriminalitas remaja juga meningkat sebanyak 7,3% dari tahun sebelumnya 

"Adapun berkaitan dengan mental illness, laporan Indonesia - National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) pada tahun 2022 menunjukkan, 1 dari 3 remaja Indonesia usia 10 hingga 17 tahun memiliki masalah kesehatan mental," ungkapnya memprihatinkan.

Oleh karena itu, Narator menegaskan, sudah seharusnya, perlu adanya revitalisasi peran ibu sebagai pendidik generasi untuk mengembalikan peran ibu yang sesuai dengan perintah Allah SWT.  "Demi mewujudkan generasi yang berkepribadian mulia," jelasnya.

Namun menurutnya, perlu dipahami, bahwa peran ibu yang hakiki tidak akan pernah terwujud dalam sistem kapitalisme demokrasi.

"Kembalinya fitrah ibu dan peran mulianya sebagai pendidik generasi hanya akan terwujud dalam penerapan aturan Islam secara sempurna di bawah institusi Khilafah Islam," pungkasnya mengingatkan. [] Muhar.
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab