Tinta Media: bergulir
Tampilkan postingan dengan label bergulir. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label bergulir. Tampilkan semua postingan

Senin, 04 November 2024

Kemplang Pajak Terus Bergulir, Bukti APBN Berasas Kapitalistik


Tinta Media - Kabinet merah putih sudah dibentuk. Presiden dan wapres terpilih pun sudah menjalani prosesi sumpah jabatan, menunjukkan bahwa pemerintahan baru sudah berjalan. Ironis, baru saja diresmikan, sudah memikul warisan problem menggurita.

Anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Drajat Wibowo menyampaikan bahwa terjadi pengemplangan pajak yang mengakibatkan negara mengalami kerugian mencapai kisaran Rp300 triliun. (Cnbc.Indonesia, 9/10/24).

Berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ditemukan empat sumber potensi penerimaan negara di sektor sawit yang hilang, di antaranya dari denda administrasi terkait dengan pelanggaran pemenuhan kewajiban plasma dan sawit dalam kawasan hutan, serta dari ekstensifikasi dan intensifikasi pajak dari sektor ini. (Cnbc.Indonesia, 12/10/24).

Berdasarkan Undang-Undang nomor 19 tahun 2023, sumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah penerimaan perpajakan, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), serta penerimaan hibah.

Sedangkan data yang dikeluarkan oleh Kementrian Keuangan Republik Indonesia, per 31 Juli 2024, tercatat realisasi penerimaan pajak mencapai Rp1.045,32 triliunan atau 52,56 persen dari target. Data ini menunjukkan bahwa pajak memang menjadi sumber pemasukan utama di negeri ini. Ironis, pengemplangan pajak malah terjadi secara kronis.

Realitasnya, pengemplangan pajak ini bukan kali pertama, dan terjadi secara bergulir. Bahkan, case terbaru ketika pelaku pengemplangan pajak [RH] hanya dijatuhi hukuman pidana berupa kurungan penjara selama 8 bulan, serta denda sebesar Rp191,84 juta. (regional.espos.id, 22/03/24)

Case ini menunjukkan bahwa ternyata pungutan pajak berlaku untuk seluruh rakyat hanya untaian kata, tanpa penerapan nyata. Para pemilik modal, pengusaha, pemangku kekuasaan, terlihat mencolok seperti anak emas, ada perlakuan istimewa yang nampak privat. Meski setelah terkuak, dibalut dalam kedok korupsi. Miris, hal ini sudah berjalan lama bahkan mereka sudah kenyang menikmati uang rakyat lewat pajak. Tragis, ternyata mereka bebas pajak!

Meskipun majelis hakim menyatakan bahwa jika terdakwa tidak membayar denda dengan durasi waktu paling lama satu bulan sesudah putusan pengadilan dan mempunyai kekuatan hukum tetap, maka harta benda yang dimiliki berhak disita oleh jaksa, kemudian dilelang untuk membayar denda. 

Bergulirnya case serupa menunjukkan bahwa hukuman yang diberikan tidak memberi efek jera, terlebih ternyata keringanan demi keringanan memberi kemudahan.

Analogi sederhana, bahwasanya menggunakan uang rakyat untuk kesenangan pribadi dengan nominal cukup fantastis dan tentu merugikan negara merupakan kejahatan setimpal dengan kurungan penjara 8 bulan, dan denda dengan ketentuan-ketentuan berlaku. Tentunya, bagi pemilik modal  nominal tersebut tidak seberapa. Apabila terkendala dalam pembayaran denda pun, akan diganti dengan kurungan penjara selama tiga bulan. Tentu hukuman ini tidak adil untuk selevel koruptor kelas kakap.

Kalau kita tarik benang merah, akar masalahnya ada pada pungutan pajak tersebut, lalu mengerucut pada sistem yang mengatur di dalamnya. Menarik, ketika Dr. Riyan, M.Ag, seorang pengamat politik Islam mengatakan bahwa APBN yang ada di negeri ini berasas kapitalistik, dengan acuan keuntungan.

Sejatinya, kesejahteraan untuk rakyat hanyalah ilusi semata, selalu terkendala untuk menyentuh taraf sejahtera dan akar problematika. Ini karena dalam asas kapitalistik, pengelolaan SDA dilimpahkan kepada pihak swasta, bukan negara. Sehingga, menjadi wajar ketika salah satu pendapatan negara diambil melalui pungutan pajak.

Padahal, negeri ini memiliki kekayaan alam limpah ruah. Misalnya, perbandingan antara lautan dengan daratan yaitu 70 persen dibanding 30 persen, dengan beragam spesies 4.720 jenis. Namun, kenapa justru keadaan berbalik, rakyat justru mengonsumsi suplemen ikan, bukan ikan fresh? Bahkan, tidak semua rakyat bisa merasakan kelezatan ikan karena tergolong mahal untuk dinikmati.

Semenjak itu, pengelolaan SDA dalam Islam adalah menjadi tanggung jawab negara sebagai wakil rakyat, bukan diserahkan kepada swasta asing dan aseng.

Rasulullah pernah bersabda, yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad, bahwasanya umat Islam berserikat pada tiga perkara, ialah air, padang rumput, serta api.

Sehingga, pengelolaan SDA tidak boleh dilakukan secara privatisasi, karena merupakan kepemilikan umum. Artinya, pengelolaan ini dilimpahkan kepada negara dalam rangka kesejahteraan seluruh rakyat.

Sehingga, langkah strategis yang bisa dilakukan adalah mengganti Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang  berasas kapitalistik menjadi APBN dengan asas syariah sesuai hukum syara.

APBN asas syariah ketika sudah diterapkan akan terlihat secara moneter. Negara akan beralih mata uang kertas ke mata uang emas dan perak. Secara fiskal, negara tidak lagi membebani rakyat dengan pajak. Namun, dalam APBN, pengelolaan kepemilikan umum, termasuk SDA dilakukan oleh negara dan dikembalikan hasilnya untuk kesejahteraan rakyat. 

Kemudian langkah selanjutnya memperbaiki penegakan hukum yang adil dengan standar agama. Sistem hukum dalam Islam menekankan keadilan yang tidak memihak kepada segelintir orang, yaitu para pemilik modal. 

Para penegak hukum harus memenuhi syarat dan ketentuan Islam, sehingga menjunjung tinggi nilai keadilan dan tidak mudah disuap. Penerapan hukum yang adil dalam segala bidang dilakukan guna menciptakan masyarakat yang harmonis serta menghindari praktik-praktik korupsi dan berbagai macam problematika.

Contoh kasus, pemberantasan korupsi dalam pengemplangan pajak, bisa lebih efektif jika disertai dengan sanksi yang tegas dan pendekatan berbasis moral agama sehingga memberi efek jera.

Paket komplit tersebut hanya ditemui dalam agama Islam, karena Islam mengatur secara rinci sistem pemerintahan yang kompleks. Wallahu'alam Bisawab.




Oleh: Novita Ratnasari, S.Ak., 
Penulis Ideologis
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab