Benturan Antarkubu Jelang Pemilu, Potret Rusaknya Parpol pada Sistem Demokrasi Kapitalisme
Tinta Media - Partai merupakan wadah dan simbol pergerakan kelompok yang menginginkan perubahan di tengah-tengah masyarakat atas kondisi yang telah menjerat mereka. Namun, apa jadinya ketika wadah yang diopinikan kenyataannya tidak sebagaimana yang digambarkan? Terlebih, adanya fanatisme golongan oleh para simpatisan yang menjadikan citra partai mulai dipertanyakan keberadaan dan tujuannya. Sungguh miris ketika keberadaan partai hanya dijadikan untuk mengungguli kelompok satu dengan yang lain atau malah saling melemahkan satu dengan yang lainnya.
Seperti halnya kasus yang terjadi di Magelang, Jawa Tengah, dikabarkan bahwa ada sebanyak 11 sepeda motor dan tiga rumah warga mengalami kerusakan akibat bentrok antar simpatisan PDIP dengan GPK. Ruruh menyatakan bahwa kejadian itu bermula ketika salah satu kelompok yang terlibat bentrok mengadakan kegiatan di Lapangan Soepardi, Sawitan, Magelang. Setelah berakhirnya kegiatan tersebut, kelompok ini terlibat gesekan dengan kelompok lain di Jalan Batikan, Mungkid, Magelang, kemudian berlanjut di simpang tiga Tape Ketan Muntilan.
Hal ini menunjukkan bahwa hadirnya partai tak cukup menjelaskan tujuan keberadaan dan lahirnya partai sehingga terjadi kerusuhan yang diakibatkan oleh para simpatisan. Benturan ini menunjukkan bahwa perbedaan kelompok maupun partai memiliki kesenjangan yang tidak mampu untuk diajak berjalan bersama. Jika bukan karena alasan kepentingan dan ikatan tertentu, maka apa yang melatarbelakangi perseteruan tersebut?
Kepercayaan rakyat pada partai hari ini hanya karena adanya faktor emosional, simbol dan tokoh, tanpa pemahaman yang benar akan arah dan tujuan partai. Keterikatan demikian memudahkan terjadinya gesekan antarindividu/kelompok lantaran kuatnya sentimen/ego kelompok dengan pemicu yang sangat sepele.
Mirisnya, perselisihan lazim terjadi di akar rumput, padahal para elit partai justru bekerja sama demi tercapainya tujuan. Hal ini selaras dengan pernyataan ‘tidak ada teman sejati, yang ada adalah kepentingan abadi’.
Perlu di garis bawahi, masyarakat harus memahami bahwa realitas parpol dalam demokrasi kebanyakan bersifat dan bersikap realistis/pragmatis ketimbang idealis. Bukan idealisme yang menjadi pertimbangan atas setiap kebijakan yang dibuat oleh parpol, melainkan lebih kepada manfaat apa yang bisa diterima parpol dari setiap keputusan politik yang akan mereka buat.
Fenomena bentrok antarkubu adalah hal biasa dalam politik demokrasi. Pandangan parpol tentang politik memang lebih condong pada upaya meraih kekuasaan setinggi-tingginya, baik saat pilkada, pileg, ataupun pilpres.
Jika masyarakat mengamati secara betul, benturan antarkelompok hanya terjadi untuk mempertahankan eksistensi dari keberadaan partai itu sendiri. Ini dilakukan demi menunjukkan eksistensi yang muncul setiap jelang kontes pemilu yang pasti berwajah dinamis.
Ada kalanya benturan terjadi di satu wilayah untuk saling bersaing, tetapi di wilayah lain bersatu. Artinya, upaya untuk saling dukung paslon hanya dinilai dari seberapa besar peluang mereka untuk menang dan seberapa besar keuntungan yanga akan mereka dapatkan. Prinsip “tidak ada kawan dan lawan abadi” seolah menjadi jargon bagi parpol demokrasi.
Jadi, sungguh merugi jika kita sebagai masyarakat terlalu mengutamakan fanatisme terhadap golongan/partai, apalagi hingga terjadi bentrokan yang tidak memperhatikan ikatan persaudaraan dan persatuan. Dalam hal ini, kita harus peka bahwa akan banyak pihak tertentu yang akan memanfaatkan suara rakyat demi meraih dukungan sebanyak-banyaknya dengan cara yang beraneka ragam. Oleh karenanya, umat harus tahu kenyataan tentang politik demokrasi yang berkaitan saat ini agar tidak terjebak polarisasi yang memunculkan perselisihan.
Berbeda ketika Islam memandang makna sebuah parpol. Dalam Islam, parpol berdiri bukan sekadar ada untuk memuaskan nafsu berkuasa dan memenangkan suara semata. Lebih dari itu, parpol memiliki peran strategis dalam melakukan perubahan di tengah masyarakat, yakni membentuk kesadaran dan pemahaman politik yang benar kepada khalayak luas. Dalam hal ini, politik memiliki makna mengurus urusan rakyat.
Tujuan berdirinya parpol dalam Islam adalah untuk membina dan mendidik umat dengan pemahaman yang lurus sesuai pandangan Islam, bukan sekadar sebagai wadah yang menampung aspirasi dan suara rakyat. Mereka juga harus melakukan koreksi terhadap kebijakan penguasa, tidak membela kezaliman, dan tidak bersikap manis hanya untuk mendapat perhatian penguasa. Sudah menjadi keharusan bagi parpol untuk hadir dan membela urusan-urusan rakyat, baik menyangkut kepentingan ataupun kemaslahatan rakyat. Itulah peran parpol yang dijelaskan dalam Islam.
Islam membolehkan banyaknya pembentukan parpol dalam rangka mewujudkan kritik penyadaran kepada penguasa. Dalam Islam, berpolitik merupakan aktivitas amar makruf nahi mungkar. Artinya, peran parpol adalah sebagai penyalur aspirasi masyarakat dalam rangka membangun kesadaran penguasa ketika menjalankan tugas dan amanahnya dalam bernegara yang bermuara pada kemaslahatan hidup bersama berdasarkan standar keimanan.
Dengan kata lain, napas perjuangan parpol haruslah sejalan dengan aturan Islam, bukan kepentingan individu atau golongan. Dengan begitu, parpol tidak akan mudah berbelok arah karena bersandar pada ikatan yang benar, yakni akidah Islam. Wallahualam.
Oleh: Erna Nuri Widiastuti S.Pd.
Aktivis