Fenomena Banjir di Negeri Ini Layaknya Air Isi Ulang
Tinta Media - Pemerintah Kabupaten Bandung menetapkan status tanggap darurat per tanggal 13-26 Januari 2024 setelah terjadi bencana banjir bandang di Kecamatan Dayeuhkolot. Banjir bandang terjadi akibat jebolnya tanggul penahan sungai Cigede di Kampung Lamajang Peuntas, Desa Citeureup, dikarenakan hujan terus-menerus pada hari Kamis, 11 Januari 2024 lalu. Ketinggian air banjir di tempat yang paling dekat ke sungai mencapai lebih dari 2 meter atau sampai atap rumah. Warga diungsikan ke gedung sekolah SD Pasigaran. Bersyukur tidak ada korban jiwa dalam bencana ini. Namun, ada ribuan rumah terdampak di seluruh Kabupaten Bandung, (Kompas.com, 14/1/2024).
BPBD Kab. Bandung akan melakukan koordinasi dan pengkajian situasi serta kebutuhan penanganan darurat bencana secepatnya. Sayangnya, bantuan kepada para korban banjir berjalan lambat. Setelah satu minggu (18/1/2024), pihak desa baru mengadakan pendataan dan pengumpulan KTP serta KK untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah. Bagaimana kalau segala surat penting itu hilang terbawa arus banjir?
Banjir di Kec. Dayeuhkolot adalah kondisi yang selalu berulang setiap musim hujan dan tahun ini merupakan banjir bandang terbesar yang dialami oleh warga. Wawan (43 th), warga Bojongasih mengatakan bahwa banjir di Dayeuhkolot ini seperti air isi ulang. Hujan besar pasti banjir, lalu disedot airnya dengan folder agar tidak menggenangi perumahan warga. Akan tetapi, begitu hujan lagi, banjir lagi. Belum ada solusi yang tepat sejak puluhan tahun lalu. Warga sudah pasrah dengan banjir tahunan ini (Kompas.com).
Seperti itulah penanganan banjir oleh penguasa dalam sistem kapitalis. Di sistem ini, kepemimpinan berbasis untung rugi, bukan ri'ayah (mengurus urusan umat). Hal ini dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan yang diambil seperti:
Pemerintah tetap melakukan pembangunan infrastruktur dan perumahan di kota yang sudah padat penduduk karena minat investor ingin dekat dengan konsumen. Sentralisasi pembangunan di kota mendorong terjadinya arus urbanisasi dari desa ke kota. Tata kelola pemukiman tidak teratur dan sistem drainase buruk sehingga menimbulkan genangan saat hujan turun.
Prinsip kebebasan kepemilikan dalam sistem kapitalisme membuat para pemilik modal besar (oligarki) bebas menguasai sumber daya alam di negeri ini, bahkan mereka melakukan alih fungsi lahan tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan. Hutan dan gunung-gunung menjadi gundul sehingga daerah hilir terdampak banjir dan longsor setiap musim hujan. Pemerintah hanya berperan sebagai regulator, pembuat peraturan. Mirisnya, peraturan itu berpihak kepada oligarki, bukan kepada rakyat.
Ini sangat berbeda dengan sistem Islam (khilafah). Pada sistem Islam, pemerintah berfungsi sebagai pengurus segala urusan rakyat (raa'in). Sesuai sabda Rasulullah saw. bahwa imam atau khalifah adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang diurusnya (HR al Bukhari).
Untuk mengatasi banjir, khalifah akan menetapkan upaya preventif atau pencegahan bencana dan kuratif atau penanganan saat terjadi bencana. Upaya preventif tersebut misalnya dengan memetakan daerah rendah dan rawan terjadi banjir atau longsor.
Khalifah akan melarang rakyat bermukim di situ. Jika sudah terlanjur ada yang tinggal di daerah tersebut, maka akan direlokasi ke tempat yang lebih baik. Upaya lainnya adalah dengan memetakan hutan sebagai daerah penyerapan air dan penahan tanah. Tidak akan diizinkan alih fungsi lahan secara berlebihan. Dibuat danau, kanal dan bendungan yang kuat untuk menampung air hujan. Selain itu, dilakukan pula pemeliharaan sungai dan daerah sekitarnya agar tidak terjadi pendangkalan atau penyempitan sungai.
Upaya kuratif dilakukan bila terjadi juga bencana banjir atas izin Allah Swt. Upaya tersebut misalnya dengan evakuasi para korban ke tempat aman oleh Biro At Thawari dengan cepat. Para ulama diminta khalifah untuk membina warga terdampak agar kuat nafsiahnya. Kebutuhan para korban bencana ditanggung oleh khialjfah, orang per orang dengan dana dari baitul mall. Selanjutnya, akan dievaluasi penyebab terjadinya banjir sehingga diperoleh solusi tuntas dan banjir tidak dialami lagi oleh warga. Dalam Khilafah, tidak ada fenomena banjir berulang. Wallahu a'lam bish shawwab.
Oleh: Wiwin
Sahabat Tinta Media