Siaga Darurat Kekeringan di Kabupaten Bandung, Efektifkah Upaya Mencegah Dampak yang Ditimbulkan?
Tinta Media - Fenomena El Nino yang terjadi di Indonesia mengakibatkan kekeringan panjang yang diperkirakan oleh BMKG terjadi pada bulan Juli hingga akhir taun 2023. El Nino adalah fenomena alam ketika iklim menjadi lebih hangat dari periode biasanya. Fenomena ini menyebabkan kemarau panjang karena menurunnya curah hujan. Hal ini merupakan salah satu dampak perubahan iklim yang sudah sejak beberapa tahun digaungkan oleh para pemerhati lingkungan.
Kekeringan yang diakibatkan oleh fenomena alam ini tentu saja membawa dampak buruk bagi masyarakat. Menurunnya curah hujan secara signifikan sudah tentu akan berpengaruh pada pasokan air bersih bagi masyarakat. Selain itu, cuaca panas juga dapat menyebabkan gangguan kesehatan.
Saat cuaca panas, suhu tubuh akan mengalami peningkatan secara drastis dan mendorong sistem imun tubuh agar bekerja lebih keras untuk mempertahankan keseimbangannya. Dalam hal ini, anak-anak dan lansia menjadi kelompok usia yang lebih rentan terkena gangguan kesehatan karena sistem imun tubuh yang tidak sekuat orang dewasa.
Begitu pula yang terjadi di Kabupaten Bandung. Seluruh kecamatan di Kabupaten Bandung beresiko mengalami kekeringan. Dilansir dari pikiranrakyat.com, Bupati Bandung Dadang Supriatna mengungkapkan bahwa kekeringan mengancam 31 kecamatan di Kabupaten Bandung.
Lebih lanjut diungkapkan bahwa Pemkab Bandung sudah melakukan rapat koordinasi untuk mengantisipasi dampak dari El Nino ini. Selanjutnya, Pemkab Bandung melakukan pencegahan berupa inventarisasi tangki air, inventarisasi petugas, dan peralatan dari masing-masing organisasi perangkat daerah. Hal ini diharapkan dapat mengantisipasi krisis air bersih yang menjadi dampak utama dari fenomena ini.
Selain itu, BPBD juga menetapkan Status Siaga Darurat Bencana Kekeringan Serta Kebakaran Lahan selama 30 hari, mulai dari tanggal 24 Agustus sampai 23 September 2023. Dengan penetapan status tersebut, juga direkomendasikan untuk perlunya tim siaga dalam menghadapi kekeringan agar dalam pelaksanaannya, koordinasi dan penanganan menjadi lebih terarah.
Air adalah sumber kehidupan bagi seluruh manusia. Pada saat kondisi cuaca panas seperti ini, tentu kebutuhan masyarakat akan air bersih menjadi lebih meningkat, sedangkan ketersediaannya terus berkurang.
Kekeringan yang melanda Kabupaten Bandung dan sekitarnya, berimbas pada menurunnya kapasitas air baku yang dirasakan merata di sumber-sumber air baku utama Tirta Raharja.
Sejak memasuki bulan Agustus saja, tercatat penurunan kapasitas air baku berkisar 40-60 persen. Hal ini tentu berdampak pada tersendatnya pasokan air bersih bagi masyarakat di sebagian wilayah Soreang, Banjaran, Baleendah, Bojongsoang, dan Pameungpeuk. (Jabar.antaranews.com)
Sementara itu, antisipasi dampak kekeringan yang dilakukan oleh Pemkab Bandung hanya sebatas inventarisasi atau pendataan, bukan langkah nyata yang bisa membantu masyarakat agar mendapat pasokan air bersih seperti biasanya.
Pada akhirnya, masyarakat mencari solusi sendiri dengan membeli air bersih pada pihak lain, yang pada saat kondisi ekonomi belum pulih pasca Covid-19 ini, dirasa memberatkan dan menambah beban tersendiri bagi masyarakat.
Selain itu, cuaca panas juga menimbulkan potensi berbagai penyakit yang menyerang masyarakat. Kementrian Kesehatan menyebutkan, beberapa penyakit yang banyak dikeluhkan masyarakat terutama anak-anak saat ini adalah demam tinggi, dehidrasi (kekurangan cairan), sakit kepala, dan panas dalam.
Tak ayal, terlihat banyaknya antrean masyarakat di berbagai fasilitas kesehatan. Masalah lain timbul manakala banyak masyarakat ekonomi menengah ke bawah yang sulit mengakses fasilitas kesehatan karena keterbatasan ekonomi.
BPJS Kesehatan mencatat, pandemi Covid-19 telah membuat peserta, baik peserta penerima upah maupun bukan penerima upah yang kesulitan membayar iuran. Sehingga, banyak masyarakat yang kesulitan mengakses fasilitas kesehatan melalui BPJS.
Sekelumit problematik di atas memang selayaknya terjadi dalam sistem kapitalisme yang mengukur segala sesuatu hanya dari keuntungan semata.
Persoalan air bersih dan pelayanan kesehatan diposisikan sebagai lahan bisnis yang tentu berfokus pada keuntungan.
Berbeda halnya dengan Islam yang memosisikan pemimpin sebagai pelayan masyarakat yang harus menjamin terpenuhinya seluruh kebutuhan masyarakat. Dalam Islam, pengelolaan air tidak boleh diberikan pada pihak swasta, seperti halnya yang terjadi pada sistem kapitalisme. Negara mengelola secara langsung dalam produksi dan distribusi air bersih, sehingga masyarakat dapat menikmati air bersih secara gratis dan merata.
Seperti yang disebutkan dalam hadis Rasulullah saw. bahwasanya kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api.
Selain itu, kesehatan dalam pandangan Islam adalah kebutuhan yang harus dijamin langsung pemenuhannya oleh negara. Prinsip pelayanan kesehatan dalam Islam adalah diberikan kepada seluruh rakyat tanpa pandang bulu, tanpa membedakan ras, suku, warna kulit, kedudukan, serta muslim atau non muslim.
Selain itu, pelayanan kesehatan juga harus diberikan secara gratis dan berkualitas, dan mudah diakses oleh seluruh masyarakat.
Dengan prinsip itu, tentu negara harus menyediakan anggaran yang besar. Akan tetapi, masyarakat tidak perlu khawatir sebab Islam memiliki berbagai sumber pendapatan yang telah ditetapkan dalam syari'at, seperti hasil pengelolaan SDA, kharaj, jizyah, ghanimah, fai, dsb.
Jelas, hanya Islamlah yang mampu menyelesaikan seluruh problematik kehidupan. Hanya Islam yang mampu membawa kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh masyarakat karena seluruh peraturan bersumber dari Sang Pencipta dan pelaksanaannya didasari oleh ketakwaan dan rasa takut kepada Allah Swt. Wallahua'lambissawab.
Oleh: Ana Ummu Rayfa
(Aktivis Muslimah)