Wajah Asli Demokrasi
Tinta Media - Masyarakat Indonesia selalu disuguhi berbagai fenomena demokrasi yang mengecewakan dan membuat patah hati. Meski sebetulnya kesalahan dan kejahatan sudah ada sejak dahulu kala, tetapi gempuran rayap yang kian memperlihatkan sisi rapuhnya kayu mulai terlihat jelas sehingga masyarakat lebih mudah mengindra.
Belum lama ini, masyarakat Indonesia menyaksikan pelanggaran pemerintah terhadap apa yang dianutnya, yakni demokrasi. Polemik tersebut membuat masyarakat geram dan melakukan protes dengan demo yang dilakukan oleh mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi, bahkan oleh siswa menengah di beberapa wilayah Indonesia. Unjuk rasa dilakukan di gedung DPR sebagai bentuk protes dan mengingatkan pemerintah terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh negara.
Tagar #PeringatanDarurat menjadi trending topik awal bulan ini dalam menyikapi pelanggaran negara mengenai RUU Pilkada. Protes dan nasihat untuk pemerintah dilakukan di berbagai media sosial, selain unjuk rasa di lapangan. Tidak hanya sekali, unjuk rasa selalu berujung bentrok dengan aparat keamanan di lokasi.
Pemerintah mengerahkan gabungan TNI-Polri di lokasi unjuk rasa. Terlapor, satu mahasiswa terancam kehilangan penglihatan akibat serangan gas air mata yang dilakukan oleh aparat guna meredam keributan di lokasi.
Kasus gas air mata ini pernah menggemparkan dunia, terkhusus Indonesia di lapangan sepak bola yang menyebabkan kehilangan nyawa. Serangan yang dilakukan oleh sebagian oknum tidak seharusnya dibalas dengan serangan membahayakan oleh aparat yang berdampak kepada banyak orang.
Hal demikian membuktikan bahwa sebetulnya demokrasi tidak memberikan ruang kepada rakyat untuk memberikan saran dan kritik atau bisa disebut ‘antikritik’. Selain itu, setelah kejadian unjuk rasa, dilaporkan ratusan mahasiswa hilang atau tidak pulang, alias ditangkap oleh aparat. Ini semakin membuktikan bahwa demokrasi tidak mau dikritik oleh siapa pun, dan barang siapa yang tidak sependapat dengan demokrasi maka akan dihilangkan.
Padahal, demokrasi memperkenalkan diri dengan sangat elegan, yakni ‘dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat’. Tentu semua mengenal hal itu saat pendidikan di bangku sekolah dasar. Kita tidak pernah dijelaskan mengenai filosofi atau asasnya. Tidak dijelaskan pula bahwa para kapitalis dan oligarki juga termasuk rakyat. Hanya saja, rakyat jelata tidak memiliki uang, kekayaan, dan kekuasaan. Inilah wajah asli demokrasi.
Demokrasi sendiri berasal dari bahasa Yunani yang berarti kedaulatan berada di tangan rakyat. Jika kita bedah, satu prinsip ini sudah salah. Rakyat memiliki keterbatasan dalam hal akal. Masing-masing rakyat memiliki kepentingan yang berbeda, sehingga setiap berganti kepemimpinan, akan lahir hukum yang baru alias tidak paten. Hukum akan dibuat sesuai dengan kepentingan masing-masing, tidak ada batasan dalam hal ini. Sementara itu, akal manusia terbatas dan harus ada sesuatu di atas akal untuk membatasi segala risiko kerusakan akibat kebebasan akal.
Demokrasi tidak sering memperkenalkan asasnya, yakni ‘vox populi, vox dei’ yang artinya ‘suara rakyat, suara Tuhan’. Asas ini tidaklah berbeda jauh dari arti demokrasi itu sendiri yang sering kita dengar, yakni kedaulatan di tangan rakyat. Secara logika dan fitrah, asas ini bertentangan dengan akal sehat dan fitrah manusia. Bagaimana manusia bisa disandingkan dengan Tuhan? Asas ini pula yang melahirkan sekularisme alias pemisahan agama dari kehidupan.
Tuhan adalah Zat yang tidak bisa disandingkan dengan manusia. Secara fitrah, manusia membutuhkan Zat yang lebih tinggi darinya sebagai sandaran hidup. Sekuler ini menjadikan agama hanya sebagai ritual peribadatan semata, dan Tuhan seakan tidak hadir dalam kehidupan di luar ritual ibadah. Sejatinya, manusia tidak bisa dipisahkan dari agama dalam segala hal.
Dalam demokrasi, sering kali kita mendengar ‘voting’. Namun, tahukah Anda esensi dari kata tersebut? Esensinya, penetapan hukum didasarkan pada voting atau pemilihan suara terbanyak, bukan yang paling benar. Bagaimana seseorang memilih pilot untuk mengemudikan pesawat berdasarkan banyaknya pilihan, bukan berdasarkan keahlian? Akankan pesawat terbang itu aman dan bisa sampai tujuan? Tidakkah kita berpikir bahwa pesawat akan jatuh?
Dalam voting pula, apabila 99 orang dari 100 orang berkata bahwa ayah dari seorang anak adalah perempuan sedangkan hanya 1 orang yang berkata bahwa ayah dari seorang anak adalah lelaki, maka disimpulkan bahwa ayah dari seorang anak adalah perempuan. Sungguh hal ini tidak masuk akal. Inilah yang tidak dijelaskan dalam demokrasi bahwa kekeliruan dalam setiap aspek tidak dapat diterima oleh logika dan akal sehat.
Maka wajar, jika demokrasi lahir dari ideologi kapitalisme. Pada praktiknya, penerapan demokrasi-sekularisme telah mengabaikan hak-hak rakyat dan menggantinya dengan kepentingan korporasi. Oleh karena itu, voting dalam demokrasi merupakan hasil seting yang dilakukan oleh para penguasa dan pengusaha atas nama oligarki.
Islam menempatkan syariat di atas akal. Kedaulatan berada di tangan syariat. Hanya Allah yang berhak menentukan hukum. Hukum bukan bersandarkan berdasarkan voting, melainkan syariat yang telah ditetapkan oleh Allah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Allah adalah Zat yang jauh lebih tinggi dari manusia, yang tidak memiliki batas seperti manusia. Ilmu Allah meliputi segala hal yang ada di bumi, di langit, dan di antara keduanya.
Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an, surat at-Talak ayat 12, yang artinya:
“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.”
Sistem Islam memiliki satu mekanisme yang dapat digunakan sebagai solusi atas pelanggaran yang dilakukan oleh negara, yakni muhasabah lil hukam untuk menjaga agar pemerintah atau negara tetap berada pada syariat Allah.
Selain itu, ada lembaga yang disebut Majelis Ummah dan Qadli Mazalim. Kedua lembaga ini memiliki fungsi, salah satunya adalah mengawasi jalannya pemerintahan dengan menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai tolok ukurnya. Apakah pemerintahan berjalan sesuai syariat Allah, atau mulai menyimpang, maka kedua lembaga ini berkewajiban menasihati pemimpin supaya segera kembali kepada syariat Allah.
Islam juga menjadikan amar ma’ruf dan nahi munkar sebagai kewajiban dari Allah untuk setiap individu, baik untuk dirinya sendiri, kelompok, masyarakat, ataupun negara. Sebuah sistem yang tidak memiliki batasan dan menjadikan akal sebagai pembuat hukum, maka akan berujung pada pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan demi mewujudkan hukum yang dibuat sendiri untuk kepentingan diri dan golongannya.
Sedangkan Islam tidak menempatkan akal sebagai pembuat hukum, sehingga syariat Allah adalah hukum paten yang tidak dapat diubah sesuai dengan kepentingan manusia. Sudah saatnya manusia kembali kepada fitrahnya, yakni diatur oleh Pencipta manusia, bukan diatur oleh hukum buatan manusia.
Oleh: Syiria Sholikhah
Mahasiswi Universitas Indonesia