ANTROPOSENTRISME DEMOKRASI DAN DISORIENTASI POLITIK
Tinta Media - Ketika seorang pemimpin negara telah mulai memasukkan anggota keluarganya masuk dalam dunia politik. Apakah masyarakat khususnya generasi milenial dan generasi z secara tidak langsung, sedang 'dipaksa' menyaksikan praktik politik dinasti ? Saat ini, apakah indonesia sedang baik-baik saja?
Tentu saja iya, pertama, sebab terlihat gamblang mulai dinamika di MK soal batas usia capres dan cawapres hingga pencalonan cawapres Gibran. Kedua, Sebagaimana pengakuan Prabowo, dia sendiri mengatakan saat pidato di depan partai PSI bahwa politik dinasti itu hal yang wajar dengan menyinggung partai-partai lain yang juga mempraktekkan politik dinasti.
Pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat capres dan cawapres berusia 40 tahun atau memiliki pengalaman menjadi kepala daerah. Putusan 90 mempunyai kecacatan konstitusional yang mendasar, dan karenanya dinilai tidak sah.
Denny menjelaskan, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman telah mengatur, "seorang hakim... wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa."
Selain pelanggaran benturan kepentingan, putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 juga dinilai mempunyai cacat konstitusional lain. Salah satunya terkait legal standing pemohon "Pemohonnya sebenarnya tidak mempunya legal standing, dan karenanya, permohonan wajarnya dinyatakan tidak diterima, sebagaimana dengan baik dijelaskan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo," pungkasnya.
Dari dua faktor ini sebenarnya tengah terjadi sebuah praktek politik yang tidak sehat yang akan ditonton oleh generasi z, tentu saja hal ini tidaklah merupakan pendidikan politik, sebagaimana disampaikan oleh Prabowo. Apa yang dimaksud pendidikan politik ketika yang terjadi adalah dinasti politik. Dalam filsafat, pernyataan Prabowo bisa disebut sebagai apologi.
Indonesia, jelas tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja. Sebab demokrasi yang telah dikenal dalam kendali oligarki, kini malah ditambah seolah politik hukum itu dikendalikan oleh keluarga. Keputusan MK terbukti memunculkan berbagai polemik di masyarakat. Indonesai sedang tidak baik-baik saja, sebab masa depan hukum di negeri ini semakin suram.
Apakah hukum demokrasi tidak melarang, bahkan menyatakan sah-sah saja terhadap ada dinasti politik? Apa dampak dan ancaman dinasti politik jika terjadi di Indonesia? Demokrasi itu kan bersifat antroposentrisme di mana manusia menjadi penentu segalanya, sementara manusia dipenuhi oleh kepentingan pragmatis. Inilah yang sesungguhnya menjadikan demokrasi dalam prakteksnya mengalami disorientasi politik, karena salah sejak dari paradigmanya.
Karena itu politik dinasti yang akan dianggap bukan masalah selama masih sejalan dengan kepentingan pragmatisnya. Kuliatas dan kualifikasi calon pemimpin menjadi no dua, inilah awal kerusakan politik demokrasi.
Politik dinasti ini tentu saja akan berdampak buruk bagi kemajuan bangsa ini. Sebab kriteria pemimpin yang berkualitas menjadi tidak berlaku di negeri ini. Generasi muda bangsa ini juga akan putus asa untuk meningkatkan kualitas diri, jika para pemimpin hanya diambil dari orang-orang dekat, meski secara kualitas masih dipertanyakan.
Politik dinasti yang hanya mengutamakan kedekatan keluarga, bukan karena kualifikasi personal akan berdampak buruk pada kemajuan negeri ini dalam jangka panjang. Sebab kompleksitas masalah bangsa ini bukan hanya harus diselesasikan oleh pemimpin yang punya kualifikasi, namun juga soal sistem yang harus diperbaiki.
Ada beberapa watak antroposentrisme demokrasi kapitalisme sekuler. Karena hasrat yang selalu tidak terpuaskan, manusia melalui akal pengetahuannya berusaha memenuhi hasratnya dengan berbagai gagasan yang mengindikasikan eksploitasi kapitalis.
Karakter antroposentrisme kapitalis yakni opresif/eksploitatif, reduksionis, kuasa-menguasai (kolonialisme), berwawasan ilmu pengetahuan modern dan berteknologi. Antroposentrisme kapitalis melihat alam sebagai objek, alat, komoditas, dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia.
Antroposentrisme kapitalis hadir sebagai ideologi untuk menggerakkan kaki tangan proyek-proyek pembangunan yang bermisikan ‘pembangunan peradaban’. Antroposentrisme berkonspirasi dengan ilmu pengetahuan modern dengan mengabaikan cara-cara pengetahuan ekologi dan pendekatan holistik, serta mengebirikan kaum perempuan sebagai ahli.
Apakah dinasti politik membuat orang yang tidak kompeten bahkan kemaruk akan berkuasa? Iya jelas, sudah saya tekankan di awal tadi, bahwa dinasti politik ini tidak mengutamakan kualifikasi kepemimpinan, namun hanya karena kedekatan keluarga. Hal ini tentu saja mengkonfirmasi adanya kerakusan atas kekuasaan. Dinasti politik juga sangat mengabaikan kompetensi, maka hal ini menunjukkan rasa kemaruk dan tak peduli kepada masa depan bangsa dan Negara.
Apakah jika dibiarkan, gurita kekuasaan keluarga akan menjalar ke semua bidang kenegaraan, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif? Dan jika gurita kekuasaan terjadi, yang akan muncul kemudian adalah gurita korupsi, jamaah keluarga berkorupsi, hingga berlanjut munculnya industri hukum, mafia hukum, dan mafia peradilan? Dan apakah ini bisa dicegah?
Benar sekali, sebab mereka yang hari ini punya kuasa akan bisa mengatur dengan kekuasaan dan uangnya untuk sebanyak-banyaknya mengajak anggota keluarga untuk ikut berkuasa. Sementara kekuasaan itu sangat dekat dengan kerakusan dan rasa kemaruk karena pragmatism, sehingga berpotensi akan terjadi tindak korupsi, kolusi dan nepotisme.
Pencegahannya tentu saja menjadikan hukum sebagai panglima dimana hukum dirumuskan berdasarkan kepentingan bangsa yang lebih besar, bukan bisa dipermainkan sesuai kepentingan segelintir orang. Antroposentrisme demokrasi berpotensi terjadinya disorientasi politik. Dalam Islam, syariat Islam adalah hukum yang didasarkan oleh firman Allah, tak bisa diubah oleh manusia.
Pencegahan kedua tentu saja kembali kepada individu yang harus memiliki orientasi yang lurus dan benar. Setiap individu pemimpin harus menyadari bahwa kepemimpinan adalah amanah berat yang kelak harus dipertanggungjawabkan di hadapan pengadilan akhirat. Jika paham ini, maka seorang pemimpin akan takut berebut jabatan, apalagi mewariskan jawaban kepada keluarganya.
Pencegahan ketiga adalah dengan adanya kendali dari masyarakat dengan terus melakukan proses kontroling dan pengawasan. Masyarakat harus memiliki kesadaran politik agar para pemimpin di negeri ini tidak melakukan penyimpangan. Terlebih pada intelektual dan ulama yang harus terus memberikan arah dan pencerahan bagi perjalanan bangsa ini.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 28/10/23 : 08.40 WIB)
Oleh : Dr. Ahmad Sastra
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa