Tinta Media: angan
Tampilkan postingan dengan label angan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label angan. Tampilkan semua postingan

Rabu, 30 Oktober 2024

Realita Tak Seindah Angan



Tinta Media - Sebelum pergantian kepemimpinan, sudah menjadi kebiasaan untuk menyurvei kepuasan masyarakat terhadap kinerja pejabat. Bukan sekadar melihat seberapa besar dampak kebijakan negara terhadap kepentingan rakyat, tetapi terkait kesan apa yang ditinggalkan oleh pemangku kekuasaan selama periode jabatannya, apakah mendapatkan cap baik atau label buruk di mata masyarakat? 

Namun, semua itu hanya berdasarkan data statistik tanpa mendeskripsikan realita di tengah rakyat. Benarkah angka survei kepuasan publik menunjukan realita kehidupan bangsa ataukah hanya angan yang tercipta dari imajinasi penguasa?

Kinerja Baik atau Pencitraan Baik?

Oligarki, sebuah kata yang sering digunakan dalam mengapresiasi kinerja penguasa saat ini. Kata yang bermakna dalam, tetapi terkesan biasa di pandangan warga negara. Mengapa demikian? Sebab, penguasa telah menormalisasi oligarki melalui berbagai media. 

Sebut saja 'buzzer'. Sekelompok orang ini bertugas memuja-muja pejabat dalam semua tindakannya. Padahal, kebijakan yang dibuat melanggar aturan dan norma hukum. Salah satu contoh kebijakan tersebut, seperti pengesahan aturan 'omnibuslaw'. 

Tidak hanya kebijakan, kehidupan pejabat juga dijunjung tinggi oleh para 'buzzer'. Gaya hidup yang 'membumi' tapi rasa selebriti, 'kerja, kerja, kerja' bagai kuda dengan menaikkan pajak, menjalankan bisnis tambang berkedok UMKM, hingga melestarikan budaya 'Asian Value' dalam kehidupan bernegara.

Alhasil, ketika sekelompok elit telah menduduki sebuah jabatan, maka publik harus memaklumi tindakan mereka, mulai dari memberikan fasilitas terbaik dalam hidup, mengutamakan urusan atau kepentingan pribadi mereka hingga membuat aturan sendiri demi melanggengkan kekuasaan. 

Tidak heran, banyak warga negara yang menjadi pragmatis ketika hal tersebut terjadi. Pengaruh lebih buruknya adalah tidak sedikit yang ingin bergabung ke dalam golongan elit tersebut, baik melalui hubungan keluarga sampai kerja sama dalam pengelolaan suatu bisnis usaha. 

Selain normalisasi yang masif di media massa, pengalihan isu menjadi hal yang umum dilakukan. 'Buzzer' yang bertugas tidak segan-segan membuat berita 'hoax' hingga berani memberikan somasi ke rakyat yang menyuarakan penderitaannya. 

Pengalihan isu dapat memberikan dampak besar terhadap pecahnya konsentrasi rakyat dalam mengawasi kinerja penguasa. Kebijakan yang tidak sesuai hukum serta perilaku menyimpang para pejabat menjadi tertutup bahkan hilang seperti ditelan bumi. Akhirnya, ini meringankan kerja pejabat untuk menaikkan citra baiknya di mata publik. 

Pelayanan Aparat Negara

Dalam aturan sistem demokrasi, segala cara yang dilakukan guna menaikkan citra baik di mata publik adalah hal yang sah. Tidak ada aturan hukum yang membatasi proses membangun citra seseorang pejabat selama tidak melanggar HAM dan merugikan orang lain. Itu pun masih dapat mengajukan banding di pengadilan tinggi. Jadi, para pejabat diberikan keleluasaan yang sangat besar di negeri ini, baik di hadapan hukum maupun masyarakat. 

Berbeda dengan sistem Islam, yang menganut asas 'negara mengurus semua urusan rakyat'. Aparat negara adalah pelayan rakyat yang ditugaskan mengurus hajat hidup warga negara. Pengaturan dalam pelayanan kepada rakyat, antara lain:

Pertama, aturan dibuat sederhana sehingga memudahkan secara administrasi. 

Kedua, cepat dalam pelayanan publik sehingga rakyat tidak perlu menunggu lama dalam menyelesaikan urusan. 

Ketiga, aparat negara adalah orang yang ahli atau profesional yang memenuhi kualifikasi di bidangnya. 

Ketiga asas ini, sangat jauh berbeda dengan aparat negara saat ini. Fenomena yang terjadi saat ini yaitu:

Pertama, pengaturan administrasi yang terlalu rumit hingga muncul istilah 'untuk apa dipermudah jika dapat dipersulit'. 

Kedua, antrean yang tak kunjung berakhir dan lambat dalam penanganan persoalan publik, mulai dari pelayanan kesehatan, izin usaha, hingga pendaftaran pendidikan. 

Selain itu, pengaduan kriminalitas di tengah masyarakat lambat ditanggapi.  Infrastruktur banyak yang 'mangkrak' sehingga menambah daftar panjang kesulitan rakyat. 

Ketiga, pemilihan aparat negara yang berbau KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), sampai muncul istilah ' orang dalam atau ordal' menjadi 'momok' bagi masyarakat. 

Amanah

Amanah merupakan prinsip mendasar yang seharusnya dipegang teguh oleh para penguasa. Namun, nampaknya sikap ini selalu diabaikan oleh pemangku jabatan. Amanah adalah sikap tanggung jawab dalam menjaga kepercayaan yang telah diberikan kepadanya. Sikap amanah ini, mampu memberikan ketenangan kepada orang yang telah memberikan suatu kepercayaan. Jika amanah dijalankan dalam ranah kepemimpinan, maka seorang pemimpin diberikan kepercayaan untuk mengatur apa dan siapa saja yang dipimpin. 

Dalam Islam, amanah dalam kepemimpinan memiliki pengertian yang luas dan mendalam. Sebab, amanah tidak hanya sekadar menjalankan suatu tugas menjaga atau mengatur suatu urusan rakyat, tetapi juga mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan selama mendapatkan kepercayaan tersebut. Tidak hanya bertanggung jawab terhadap rakyat, tetapi juga pada Sang Pencipta yang akan menanyakan amanah tersebut. Jika tidak menjalan amanah tersebut, maka akan ada balasan keburukan yang akan diterima oleh pemimpin tersebut. 

Berbeda halnya dengan sistem demokrasi saat ini, pertanggungjawaban amanah seorang penguasa hanya sebatas moral. Jika masa jabatan telah selesai, maka selesai pula tugas dan tanggung jawabnya tanpa melihat kembali dampak buruk yang ditinggal. 

Yang lebih mengkhawatirkan adalah para pejabat berkoalisi dalam menutupi kerusakan yang telah terjadi. Hal ini terjadi berulang kali, tanpa ada perubahan yang berarti. Puaskah dengan kinerja penguasa saat ini? Masihkah berharap pada sistem demokrasi yang menciptakan kondisi saat ini ataukah beralih ke sistem Islam yang lebih mumpuni?




Oleh: Sarah 
(Aktivis Muslimah) 

Kamis, 16 November 2023

Regenerasi Pertanian demi Wujudkan Ketahanan Pangan, Nyata atau Sekadar Angan?



Tinta Media - Pemerintah Kabupaten Bandung secara terus-menerus melakukan berbagai upaya untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan demi memajukan wilayah Kabupaten Bandung di berbagai sektor, termasuk di antaranya sektor pertanian. Sebagai upaya menjaga ketahanan pangan, Bupati Bandung Dadang Supriatna mengusulkan agar membentuk generasi muda petani di Kabupaten Bandung sehingga ada regenerasi di sektor pertanian. 

Untuk menciptakan generasi muda petani itu, Bupati Bandung menginstruksikan pada Distan (Dinas Pertanian) Kabupaten Bandung melaksanakan kerja sama dengan Universitas Padjadjaran (Unpad), Babinsa (Bintara Pembina Desa), dan TNI sehingga akan lebih bersinergi dan sukses.

Terkait anggaran, Bupati Bandung akan bekerja sama dengan BUMD secepatnya sehingga tahun depan sudah ada inovasi baru, mulai dari persiapan demplot sampai marketing atau suplai pasar. 

Disebutkan pula, agar terjadi multiplayer efect secara ekonomi mikro, maka dibutuhkan ASN. ASN akan diwajibkan membeli hasil produksi pertanian yang dijual oleh para petani sehingga uang akan tetap berputar secara sehat di wilayah Kabupaten Bandung,

Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah demi kemaslahatan masyarakat tentunya senantiasa disambut baik oleh masyarakat. Namun, sehebat apa pun program yang melibatkan generasi muda untuk memajukan pertanian, faktanya ketahanan pangan terus mengalami penurunan. Sebab, bertani itu butuh pengalaman yang banyak, tidak bisa instan dengan program dadakan. Petani yang sudah ada sejak dulu harus diberi dukungan penuh, mulai dari modal hibah (bukan pinjaman), saprotan, kepemilikan tanahnya, dll. Petani muda sudah semestinya magang ke petani senior, atau menjadi profesi yang turun temurun. Akan tetapi, saat ini sangat  jarang.

Sering kali orang tuanya petani, sementara anaknya tidak mau menjadi petani. Hal ini karena mereka mengetahui bagaimana sulitnya menjadi petani di zaman ini. Selain itu, gaya hidup pemuda saat ini lebih meniru pada gaya hidup Barat, hedon, gengsi tinggi, enggan untuk bersusah payah dalam menggapai sesuatu yang diinginkan. Mereka lebih memilih cara instan. 

Belum lagi pemerintah yang hanya membuat regulasi saja tanpa perlindungan dan support yang penuh untuk pertanian, mulai intensifikasi sampai ekstensifikasi, sehingga menjadikan profesi tani sebagai profesi yang tidak menjanjikan. 

Ada banyak faktor yang membuat rendahnya pendapatan para petani dan jauh dari kata sejahtera, di antaranya, etidakstabilan harga komoditas dan infrastruktur pertanian yang kurang memadai. Yang menjadi faktor terbesarnya adalah kepemilikan lahan. Di sini, banyak terjadi alih fungsi lahan sehinggaahan tani menjadi sempit. Di tambah dengan kebijakan impor yang menyebabkan harga pangan lokal kalah bersaing, alhasil upaya meningkatkan ketahanan pangan itu hanya sekadar wacana. Maka jelas, para milenial pun enggan menjadi petani. 

Semua ini adalah akibat diterapkannya kebijakan ekonomi yang bercorak kapitalistik, yang telah memberikan jalan bagi pemodal asing untuk memiliki lahan seluas-luasnya.

Beda halnya dengan Islam yang mampu menjaga dan mendukung penuh sektor pertanian untuk mewujudkan ketahanan pangan yang kuat. Petani dalam sistem Islam merupakan profesi yang mulia. Dalam sistem Islam, negara bertanggung jawab penuh terhadap kesejahteraan para petani, mulai dari aspek hulu yaitu menjamin berjalannya proses produksi dan menjaga stok pangan. 

Hal itu dilakukan dengan memberikan kemudahan-kemudahan dalam proses pertanian, mulai dari bibit terbaik disertai dengan teknologi pertanian yang modern, bantuan subsidi yang senantiasa tersalurkan dengan tepat sasaran, kemudahan infrastruktur pertanian, jalan, komunikasi, mengadakan  riset-riset, pendidikan, pelatihan, pengembangan dalam pertanian, dsb. 

Selain itu, negara akan menerapkan hukum pertanahan sesuai aturan Islam. Lahan akan terjaga dalam hal kepemilikannya dan akan dikelola secara maksimal. 

Negara pun akan menjaga  distribusi dan stabilisasi harga tanpa adanya intervensi negara lain. Pemerintah melakukan pengawasan agar kondisi senantiasa normal. Jika terjadi kenaikan pada harga, maka pemimpin dalam Islam akan mengambil dua kebijakan utama, yaitu menghilangkan penyebab distorsi pasar, seperti penimbunan, kartel, dsb. Kedua, dengan menjaga keseimbangan supply dan demand. 

Dengan begitu, negara benar-benar telah menjalankan fungsinya yaitu menjamin pemenuhan pangan rakyat secara merata. Negara memberikan berbagai kemudahan dalam mengakses, sehingga petani hidup dengan penuh kesejahteraan karena negara senantiasa mengawal dan menciptakan pasar yang sehat dan ketahanan pangan pun kuat. Wallahu'alam bishawaab.

Oleh: Tiktik Maysaroh
Aktivis Muslimah Bandung
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab