Akuntabilitas Keuangan, Mungkinkah Ada dalam Sistem Kapitalisme?
Tinta Media - Pembangunan desa saat ini sedang jor-joran dilakukan pemerintah dengan anggaran fantastis yang telah digelontorkan, yakni Rp609 triliun. Harapannya, akan terwujud kesejahteraan masyarakat desa. Namun faktanya, masyarakat desa belum sepenuhnya merasakan manfaat dari anggaran yang besar itu.
Hal inilah yang menjadi topik pembahasan dalam kegiatan Workshop Evaluasi Pengelolaan Keuangan dan Pembangunan Desa Tahun 2024. Dicky Achmad Sidik sebagai Pejabat sementara (Pjs) Bupati Bandung mengatakan bahwa pengelolaan keuangan yang akuntabel di desa-desa menjadi prasyarat utama untuk mencapai pembangunan yang efektif dan berdampak. Kabupaten Bandung memiliki 270 desa yang tersebar di 31 kecamatan. Setiap desa memegang peranan vital dalam mendukung pembangunan daerah.
Workshop tersebut mengambil tema 'Pengelolaan Keuangan Desa yang Akuntabel Dalam Rangka Percepatan Transformasi Keuangan yang Inklusif dan Berkelanjutan'. Acara yang dihadiri oleh jajaran organisasi perangkat daerah, para camat, dan kepala desa di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bandung ini memberikan pembekalan kepada para kades terkait tata kelola keuangan yang baik serta praktik-praktik terbaik dalam melaksanakan pembangunan desa.
Desa adalah tombak pembangunan nasional. Oleh karena itu, pemerintah menggelontorkan anggaran yang tak sedikit. Sejak periode 2015-2024, total anggaran sudah mencapai Rp609 triliun. Sayangnya, angka yang besar tak banyak mengubah kondisi pembangunan di desa.
Faktanya, masih banyak jalan dan jembatan yang rusak, bangunan sekolah yang jauh dari kata layak, rutilahu pun masih banyak, minim fasilitas kesehatan, banyak kasus gizi buruk, kemiskinan, dan minimnya fasilitas publik lainnya. Tercatat dalam PDTT pada tahun 2023, jumlah desa tertinggal masih 7.154 dan desa sangat tertinggal sebanyak 4.850. Lantas, ke mana anggaran sebesar itu?
Bagaimana mungkin target percepatan pembangunan desa bisa terwujud jika anggarannya tak sepenuhnya digunakan untuk kemaslahatan rakyat? Jangan-jangan, anggaran tersebut masuk ke kantong-kantong pribadi demi memakmurkan diri dan kelompoknya?
Faktanya, banyak kasus korupsi yang terjadi pada anggaran dana desa, di antaranya:
(1) Mantan Kades di Sukabumi melakukan korupsi dana desa ratusan juta rupiah.
(2) Mantan Kades di Tanggerang diduga melakukan korupsi dana desa untuk hiburan malam.
(3) Kades Tambakrejo Tulungagung Selatan, korupsi Rp721 juta.
(4) Mantan Kades di Tapsel buron dua tahun karena melakukan korupsi dana desa Rp595 juta.
(5) Dll.
Menurut ICW (Indonesian Corruption Wacth), pada tahun 2022 setidaknya ada 155 kasus korupsi di tingkat desa dengan tersangka sebanyak 252 orang.
Banyaknya kasus korupsi membuktikan betapa sulitnya merealisasikan pengelolaan keuangan yang akuntabel. Harus kita ketahui bahwa penyebab dari persoalan ini adalah imbas dari penerapan sistem sekuler kapitalisme. Sistem ini berorientasi pada keuntungan dan manfaat duniawi saja dan tidak melibatkan agama untuk mengatur kehidupan dan bernegara. Maka, segala cara akan dilakukan untuk mendapatkan kebahagian dalam bentuk materi. Halal dan haram tidak jadi soal, bahkan tidak peduli banyak orang yang terzalimi karena penerapan sistem ini.
Selain korupsi, tata kelola pembangunan desa patut dievaluasi ulang. Saat ini, pembangunan di desa maupun di kota tak mampu mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat. Penyebabnya adalah pembangunan ala kapitalisme. Buktinya, pembangunan hanya bertumpu pada investasi, bukan pada kemaslahatan masyarakat di desa. Pembangunan hanya melanggengkan kepentingan kapitalis.
Salah satu contohnya adalah pembangunan tempat wisata yang seharusnya menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat setempat. Faktanya, yang meraup keuntungan adalah para pemilik modal yang berinvestasi. Mereka membangun restoran dan resort mewah. Akhirnya, usaha kecil masyarakat setempat tak mampu bersaing dan hanya mendapat sedikit keuntungan saja.
Penyebab lainnya adalah negara abai dalam memberikan fasilitas publik. Penguasa malah menyerahkan urusan fasilitas publik kepada pihak swasta. Akhirnya, pembangunan hanya difokuskan di area-area yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, sedangkan fasilitas di desa seperti jalan, dan jembatan dibiarkan rusak.
Sistem yang memberikan kebebasan dalam berekonomi ini adalah sistemnya para oligarki, lebih berpihak pada konglomerat dan menindas rakyat bawah. Oleh karena itu, sampai kapan pun dan apa pun upaya yang dilakukan penguasa untuk memakmurkan rakyat, tidak akan pernah berhasil.
Sebenarnya yang dimakmurkan adalah rakyat kalangan atas, bukan kalangan bawah. Ketimpangan ekonomi antara si kaya dan si miskin jelas menjadi ciri khas penerapan sistem ekonomi kapitalisme.
Kalau sudah seperti itu, masihkan kita berharap pada sistem kapitalisme untuk mengelola keuangan secara akuntabel? Sungguh mustahil!
Berbeda halnya saat sistem Islam diterapkan oleh negara khilafah dalam mewujudkan kesejahteraan umat. Khilafah bertanggung jawab penuh atas segala kebutuhan rakyat. Pembangunan pun akan dilakukan secara adil dan sesuai kebutuhan daerah tersebut. Begitu pun kebutuhan sandang, pangan, papan, juga kebutuhan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Syariat Islam diterapkan sebagai landasan dalam mengatur seluruh aspek kehidupan dan bernegara. Negara fokus pada kemaslahatan rakyat bukan kepentingan korporasi. Seluruh kebijakan dilaksanakan dengan ketentuan syariat, termasuk dalam hal mengelola keuangan.
Prinsip keadilan, kejujuran, transparansi, dan akuntabel adalah pilar berekonomi dalam Islam. Kehidupan ekonomi yang berkeadilan, dan akuntabel menjauhkan manusia dari kepemilikan harta secara zalim.
Pemerintah khilafah bersifat sentralisasi atau terpusat. Setiap kebijakan termasuk pembiayaan pembangunan di daerah harus diketahui dan mendapat persetujuan dari khalifah. Pembiayaan pembangunan desa maupun kota dilakukan secara mandiri, tanpa ada intervensi dari pihak luar, seperti skema investasi ataupun utang luar negeri.
Sistem ekonomi Islam menjadikan negara mampu membiayai seluruh kebutuhan rakyat. Kekuatan baitul mal akan meniscayakan hal tersebut. Khilafah tidak akan berlepas tangan dan berupaya keras agar seluruh rakyat mampu mengakses fasilitas publik dengan mudah dan gratis.
Maka, hanya negara khilafah yang menerapkan sistem Islam, yang bisa mewujudkan pengelolaan keuangan yang akuntabel demi kemaslahatan seluruh rakyat. Wallahu'alam bishawab.
Oleh: Neng Mae
Sahabat Tinta Media